Indonesia Masuk Kategori Memiliki Risiko Paling Kecil Terpapar Krisis Moneter

861

(Vibiznews – Economy & Business) – Fluktuasi nilai tukar rupiah akhir-akhir ini membuat berbagai pihak khawatir mengenai perekonomian nasional. Menurut berbagai pengamat ekonomi kita tidak perlu khawatir Indonesia mengalami krisis ekonomi seperti yang terjadi di tahun 1998 karena saat ini perekonomian Indonesia lebih baik, namun pemerintah tetap harus waspada dengan melakukan monitoring terhadap perbankan melalui sejumlah kebijakan yang diambil BI maupun OJK.

Perlu diketahui, dalam riset Nomura Holdings disebutkan bahwa Indonesia masuk dalam 8 negara dengan risiko krisis paling kecil. berita tersebut menjadi terpopuler belakangan ini. Analisis yang dilakukan Nomura Holdings Inc menunjukkan ada delapan negara berkembang yang dipandang memiliki risiko paling kecil terpapar krisis moneter. Negara-negara tersebut antara lain Indonesia, Brasil, Bulgaria, Kazakhstan, Peru, Filipina, Rusia, dan Thailand. Dalam analisis Nomura, delapan negara tersebut memperoleh skor nol terkait risiko krisis moneter. Artinya, negara-negara itu memiliki risiko yang sangat kecil untuk mengalami krisis. Analisis Nomura didasarkan pada model peringatan awal krisis yang dinamakan Damocles. Model tersebut memeriksa sejumlah faktor, termasuk cadangan devisa, tingkat utang, suku bunga, dan impor.

Berikut ini penjelasan terkait 8 negara berkembang yang memiliki risiko paling kecil terpapar krisis moneter.

  1. Indonesia

Nilai tukar rupiah beberapa waktu terakhir mengalami pelemahan terhadap dollar AS. Namun, pelemahan tersebut dipandang cenderung gradual dan sejalan dengan kebijakan pengetatan moneter yang dilakukan bank sentral AS Federal Reserve. Meski begitu, Indonesia dipandang cukup resilien dalam menghadapi kondisi tersebut, terlihat dari cadangan devisa yang cukup tinggi untuk menahan pelemahan nilai tukar lebih lanjut. Selain itu, pemerintah pun telah melakukan  serangkaian upaya untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan. Rasio utang Indonesia pun dipandang masih cukup baik. Dengan cadangan devisa yang tercatat 117 miliar dollar AS dan rendahnya rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB), Indonesia masih cukup kuat dalam menahan pelemahan nilai tukar.

  1. Brasil
    Nilai tukar real Brasil terpuruk terhadap dollar AS selama 2,5 tahun terakhir. Hal ini disebabkan kenaikan suku bunga di AS dan ketidakpastian politik di Negeri Samba tersebut. Namun, di sisi lain, perekonomian Brasil sedang mengalami pemulihan meski masih cenderung underperform, yang didorong konsumsi dalam negeri. Pertumbuhan ekonomi Brasil sejauh ini mencapai 1,1 persen, jauh di bawah ekspektasi sebelumnya, yakni 2,7 persen.
    Bank sentral Brasil pun telah melakukan serangkaian upaya stabilisasi real, antara lain kebijakan swap valas. Awal Agustus 2018 lalu pun suku bunga acuan ditahan di level 6,5 persen.
  2. Kazakhstan
    Sama seperti negara-negara berkembang lainnya, nilai tukar mata uang tenge Kazakhstan juga melemah terhadap dollar AS. Bank sentral Kazakhstan menyebut, nilai tukar tenge melemah lantaran ketegangan geopolitik, kebijakan proteksionisme AS, dan sanksi yang diterapkan terhadap Rusia, China, dan Turki. Namun, bank sentral tetap mempertahankan rezim nilai tukar mengambang dan siap melakukan intervensi untuk stabilisasi tenge. Selain itu, negara tersebut juga terus mengembangkan pariwisata. 4. Bulgaria
  3. Bulgaria
    Pemerintah Bulgaria tengah mengusahakan keanggotaan mata uang euro dan uni perbankan Uni Eropa hingga Juni 2019 mendatang. Oleh karena itu, ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi perekonomian Bulgaria. Hal ini turut membuat perekonomian negara tersebut cenderung solid. Beberapa syarat itu antara lain perbaikan bingkai kerja keuangan makro, memperkuat pengawasan sektor keuangan non-bank, serta upaya lebih keras dalam memberantas pencucian uang. Reuters mewartakan, inflasi Bulgaria cenderung rendah. Selain itu, anggaran Bulgaria pun mengalami surplus dan rasio utang pemerintah cenderung rendah.
  4. Peru

Nilai tukar peso Peru turut melemah terhadap dollar AS, mengikuti negara-negara berkembang lainnya sejalan dengan krisis keuangan yang terjadi di Argentina. Meski demikian, perekonomian negara di Amerika Selatan tersebut terus memperlihatkan peningkatan yang signifikan. Pertumbuhan ekonomi Peru didukung investasi swasta yang terus meningkat porsinya. Pada tahun 2019 mendatang, pertumbuhan investasi swasta diprediksi mencapai 7,9 persen, naik dari 5 persen pada tahun 2018 ini. Salah satu pendorong utama investasi swasta adalah proyek-proyek pertambangan. Adapun investasi pemerintah diperkirakan tumbuh 14 persen tahun ini.

  1. Filipina
    Pertumbuhan ekonomi Filipina dihantui beberapa risiko, antara lain inflasi yang tinggi dan risiko eksternal. Namun demikian, pertumbuhan ekonomi negara tetangga Indonesia tersebut masih cukup tinggi, yakni 6 persen pada kuartal II 2018. Bank sentral Filipina menyatakan, perekonomian Filipina cukup resilien menghadapi risiko eksternal, termasuk krisis di sejumlah negara berkembang, seperti Turki dan Argentina. Gubernur Banko Sentral Ng Filipinas Nestor Espenilla mengungkapkan, fundamental ekonomi Filipina sangat bagus. “Pertumbuhan (ekonomi) kita sangat kuat, posisi fiskal kita tersusun rapi, dan posisi eksternal kita cenderung baik meski defisit, serta rasio utang rendah,” kata Espenilla seperti dikutip dari Philippines Star.
  2. Rusia
    Perekonomian Rusia dihantui sejumlah risiko, seperti dijatuhkannya sanksi oleh AS hingga krisis. Akan tetapi, pertumbuhan ekonomi negara tersebut dipandang memiliki prospek yang cukup baik, meski diyakini tak akan terlalu tinggi.   Menurut Perdana Menteri Rusia Dmitry Medvedev, ada sejumlah indikator perekonomian Rusia yang tercatat baik. Rasio utang luar negeri telah mencapai level minimun.   Selain itu, daya saing industri manufaktur Rusia juga menguat, serta substitusi impor terjadi di sejumlah segmen. Kemudian, ekspor non-migas juga tumbuh positif, termasuk peningkatan peran sektor keuangan.
  3. Thailand
    Berkebalikan dengan negara-negara berkembang lainnya, nilai tukar baht Thailand justru menguat. Bahkan, baht merupakan mata uang berkinerja terbaik di Asia dan nilainya terus stabil sepanjang tahun.   Perkasanya baht merupakan dampak dari fundamental ekonomi Thailand yang kuat. Inflasi di Negeri Gajah Putih tersebut rendah dan surplus transaksi berjalannya pun besar.   VOA mewartakan, besarnya surplus transaksi berjalan Thailand sebagian didorong pertumbuhan sektor pariwisatanya yang sangat kuat. Surplus transaksi berjalan mendukung kuatnya nilai mata uang suatu negara dan berarti negara tersebut kurang bergantung pada mata uang asing.   Selain itu, Thailand adalah eksportir besar mobil dan barang-barang lainnya, yang juga memberikan kontribusi penting terhadap surplus transaksi berjalan.

Belinda Kosasih/Coordinating Partner of Banking Business Services/Vibiz Consulting Group

Editor: Asido Situmorang

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here