Lembaga pemeringkat kredit global Moody Investors Service percaya perusahaan non-keuangan Indonesia, khususnya yang bergerak di sektor komoditas akan memperoleh peningkatan pendapatan perusahaan pada 2017 karena kenaikan harga komoditas dan pemulihan ekonomi Amerika Serikat.
Dalam sebuah laporan yang dirilis pada hari Senin (21/11), Moody menyatakan bahwa harga komoditas diperkirakan akan terus bergerak ke atas pada tahun 2017. Ini akan memicu investasi di sektor pertambangan, minyak & gas dan minyak kelapa sawit mentah (CPO).
Gary Lau, Managing Director Moody Corporate Finance Group, memperkirakan laba perusahaan non-keuangan di Indonesia tumbuh di kisaran 2-6 persen pada 2017. Hal ini juga didukung oleh pertumbuhan makroekonomi Indonesia dengan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) diperkirakan dipercepat untuk kecepatan 5,2 persen (y / y) pada tahun 2017, dari sekitar 5,0 persen (y / y) pada tahun 2016.
Moody lebih lanjut menyatakan adalah hal positif tentang upaya pemerintah Indonesia untuk meningkatkan pembangunan infrastruktur di seluruh daerah karena ini akan memicu efek multiplier, maka permintaan untuk jasa konstruksi, bahan bangunan, dan alat berat akan meningkat sesuai dalam perekonomian terbesar di Asia Tenggara ini.
Pemerintah Indonesia telah mengalokasikan Rp 387.3 triliun dalam anggaran negara 2017 untuk pembangunan infrastruktur, sampai sekitar 30 persen dari anggaran sebelumnya, menunjukkan keseriusan dalam memperbaiki jalan negara, kereta api, pelabuhan dan bandara.
Sementara itu, Moody juga melihat barang-barang konsumen Indonesia, akomodasi, sektor otomotif dan sektor elektronik meningkat setelah penurunan baru-baru ini. Peningkatan ini datang di belakang meningkatnya daya beli dan kepercayaan konsumen masyarakat.
Mengenai proteksionisme global, Moody menyatakan Indonesia kurang rentan sebagai ekspor negara itu kurang dari 20 persen dari PDB pada tahun 2015. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan nagara di kawasan regional seperti Thailand, Vietnam, Singapura, Malaysia dan Filipina.
Namun, refinancing perusahaan dapat menimbulkan beberapa tantangan untuk Indonesia pada tahun 2017 karena kenaikan suku bunga Federal Reserve menjulang dan perlambatan lebih lanjut dalam perekonomian Tiongkok. Hal ini akan menyebabkan volatilitas yang parah (terutama arus modal keluar dari pasar negara berkembang), maka menempatkan tekanan pada aset Indonesia.
Doni/ VMN/VBN/ Analyst-Vibiz Research Center Editor: Asido Situmorang