Mata uang peso dari Filipina adalah mata uang Asia Tenggara yang berkinerja terburuk untuk tahun 2016.
Peso, yang turun 5,2 persen terhadap dolar pada tahun 2016, akan jatuh 4,4 persen lebih lanjut untuk 52 minggu kedepan sampai akhir tahun ini, demikian prediksi Joey Cuyegkeng, seorang ekonom dari sebuah bank Belanda di Manila.
Filipina membutuhkan pertumbuhan sektor domestic yang sangat kuat serta membutuhkan impor baik barang konsumsi maupun peralatan yang tahan lama mendukung pertumbuhan ekonomi yang menggerakkan pertumbuhan investasi . Kondisi internasional yang tidak pasti, menjelang pelantikan presiden baru AS, Donald Trump menimbulkan kegelisahan para pelaku pasar demikian juga dengan poros Presiden Duterte terhadap China kemungkinan akan mendorong investor untuk menuntut penguatan nilai tukar peso.
Duterte dinilai terlalu meledak-ledak dan penuh dengan ketidakpastian. Bursa Efek Filipina anjlok 16 persen dari puncaknya di pertengahan Juli 2016 dan dan ditutup turun 11,6 persen dalam satu tahun, Dari segi opini untuk pertumbuhan bursa di tahun 2017 ini terbagi dua, Deutsche Asset Management dan Nomura Holdings Inc memprediksi rebound, sementara Morgan Stanley dan Credit Suisse Group AG melihat lebih banyak kerugian.
Pemerintah memperkirakan lonjakan 10 persen dalam impor pada tahun 2017, dibandingkan dengan kenaikan 4 persen dalam jumlah pengiriman uang. Kiriman uang dari pekerja Filipina yang tinggal di luar negeri menyumbang sekitar sepersepuluh dari perekonomian bangsa dan diperkirakan untuk tahun 2017 ini akan lebih rendah dari defisit neraca perdagangan.
Alan Cayetano, kepala perdagangan valas Bank of Philipine Islands, di Manila, memproyeksikan nilai tukar peso akan berada di kisaran 51,5-52 peso per dolar pada akhir 2017, lebih rendah dibandingkan perkiraan Bloomberg, akan berada di kisaran 50,8.
Nilai tukar peso akan melemah lebih lambat tahun ini dibandingkan pada tahun 2016 dampak naiknya suku bungan pinjaman AS dan naiknya belanja dalam negeri.
Selasti Panjaitan/ VMN/VBN/ Senior Analyst Stocks-Vibiz Research Center Editor: Asido Situmorang