(Vibiznews – Economy & Business) Walaupun data inflasi AS menunjukkan perlambatan dan Menteri Perdagangan menegaskan adanya stabilitas kebijakan tarif, pasar saham AS tetap melemah pada Rabu (11/6). Fakta ini mengungkap satu hal penting: kabar baik dari sisi makro ekonomi dan kebijakan kini tidak otomatis diterjemahkan sebagai sentimen positif oleh pasar. Investor semakin berhati-hati, jika bukan skeptis, terhadap sinyal-sinyal ekonomi dan politik yang dulu dianggap sebagai katalis utama penguatan pasar.
Inflasi Terkendali, Tapi Pasar Tidak Terkerek
Indeks harga konsumen (CPI) AS untuk Mei 2025 naik hanya 0,1%, lebih rendah dari ekspektasi konsensus sebesar 0,2%. Secara tahunan, inflasi berada di level 2,4%, mendekati target The Fed yang selama ini menjadi tolok ukur stabilitas harga. Bahkan core CPI, indikator yang lebih mencerminkan tekanan harga struktural (dengan mengeluarkan makanan dan energi), juga naik hanya 0,1% bulanan dan 2,8% tahunan, di bawah ekspektasi 2,9%.
Dalam kondisi normal, biasanya data seperti ini akan disambut pasar dengan semangat. Inflasi yang jinak biasanya membuka peluang bagi bank sentral untuk melonggarkan kebijakan moneter. Namun, respons pasar justru berkebalikan:
- S&P 500 turun 0,27%,
- Nasdaq Composite turun 0,5%,
- Dow Jones Industrial Average hanya naik tipis dan cenderung stagnan.
Lalu, hal apa yang menyebabkan kabar baik ini tidak mendorong pasar?
Jawabannya ada pada keraguan pasar terhadap stabilitas ekonomi jangka menengah, ditambah dengan ketidakpastian politik dan struktural yang lebih besar. CEO JPMorgan Chase, Jamie Dimon, menyampaikan pandangan pesimistis: “Saya rasa angka riil akan mulai memburuk.” Ia menyoroti berakhirnya efek stimulus pandemi dan meningkatnya beban utang sebagai faktor yang akan memperlambat pertumbuhan dalam beberapa kuartal ke depan.
Tarif Tetap, Tapi Investor Tetap Waspada
Kementerian Perdagangan AS melalui Howard Lutnick memastikan bahwa tarif atas produk-produk impor dari China tidak akan berubah. Hal ini seharusnya menjadi angin segar bagi pelaku pasar yang khawatir terhadap potensi eskalasi perang dagang. Namun, kepastian tersebut gagal membangkitkan semangat investor.
Faktanya, sebagian besar analis kini menilai bahwa konsistensi kebijakan jauh lebih penting daripada sekadar pernyataan kebijakan. Seema Shah dari Principal Asset Management menekankan bahwa tekanan inflasi akibat tarif belum sepenuhnya hilang dari horizon. “Kenaikan harga akibat tarif bisa baru akan muncul di data CPI dalam beberapa bulan ke depan,” katanya.
Kondisi saat ini memperlihatkan bahwa meskipun Gedung Putih menegaskan tidak akan ada perubahan tarif, pasar masih belum menganggapnya sebagai jaminan. Ketidakpastian terhadap masa depan kebijakan fiskal dan perdagangan semakin tinggi menjelang pemilu AS 2026.
Kondisi Pasar Tenaga Kerja Menjadi Red Flag
Laporan ketenagakerjaan bulan Mei yang sebelumnya terlihat kuat justru dibayangi oleh revisi ke bawah untuk data Maret dan April. Artinya, kekuatan pasar tenaga kerja AS tidak sekuat yang semula diperkirakan. Dalam kondisi ini, bank sentral idealnya akan mempertimbangkan pemangkasan suku bunga untuk mendukung daya beli dan konsumsi domestik.
Namun seperti yang diungkapkan oleh analis CNBC, Jeff Cox, ini bukanlah masa yang “biasa”. The Fed masih sangat berhati-hati, terutama karena takut memicu gelombang inflasi baru jika pelonggaran dilakukan terlalu cepat.
Pandangan ini diperkuat oleh pernyataan Wakil Presiden JD Vance yang mengkritik The Fed secara terbuka, menyebut keputusan untuk mempertahankan suku bunga tinggi sebagai “malpraktik moneter”. Ini mencerminkan adanya tekanan politik yang semakin besar terhadap independensi The Fed,terutama menjelang tahun-tahun politik yang intens.
“Ketua Bayangan” The Fed dan Ketidakpastian Moneter
Munculnya kabar bahwa mantan Presiden Donald Trump mempertimbangkan pengganti Jerome Powell ,padahal masa jabatan Powell baru akan berakhir pada Mei 2026 semakin menambah ketidakpastian. Sosok ini, yang belum diungkapkan secara resmi, diperkirakan akan bertindak sebagai semacam “shadow chair”, memberikan sinyal arah kebijakan moneter alternatif dari kubu politik tertentu.
Kehadiran tokoh bayangan semacam ini membuat investor global lebih berhati-hati terhadap kredibilitas jangka panjang kebijakan The Fed. Hal ini dapat memperbesar volatilitas di pasar obligasi dan valuta asing, mengingat suku bunga jangka panjang sangat bergantung pada ekspektasi kebijakan.
De-dolarisasi Asia: Strategi Kolektif Hadapi Ketidakpastian
Salah satu tren jangka menengah yang kini semakin relevan adalah langkah de-dolarisasi, khususnya di kawasan Asia. ASEAN baru-baru ini menyatakan komitmennya untuk memperkuat penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan dan investasi lintas negara, sebagai bagian dari Rencana Strategis Komunitas Ekonomi ASEAN 2026–2030.
Langkah ini tidak hanya bertujuan mengurangi ketergantungan pada dolar AS, tetapi juga menekan volatilitas nilai tukar yang sering kali mengganggu stabilitas makro negara berkembang. Jika tren ini berlanjut, efek domino terhadap pasar komoditas pun bisa semakin terasa.
Langkah ini bukan hanya soal diversifikasi risiko, melainkan strategi adaptif terhadap era multipolar, yakni di mana dominasi dolar AS mulai melemah. Data dari IMF menunjukkan bahwa pangsa dolar dalam cadangan devisa dunia turun dari 70% pada tahun 2000 menjadi hanya 57,8% pada 2024.
Asia, terutama melalui inisiatif seperti QR code payment cross-border, local currency settlement bilateral, dan integrasi sistem keuangan digital, sedang membangun fondasi untuk mengurangi eksposur terhadap fluktuasi dolar dan ketergantungan terhadap arah kebijakan moneter AS.
Strategi alokasi di pasar komoditas mencerminkan dinamika ini, yakni Emas (XAU/USD)
Potensi bullish jangka menengah seiring meningkatnya ekspektasi pemangkasan suku bunga oleh The Fed. Daya tarik sebagai aset safe haven meningkat di tengah ketegangan geopolitik, de-dolarisasi, dan volatilitas pasar mata uang. Alokasi aset yang disarankan mempertahankan posisi long dalam emas untuk lindung nilai terhadap ketidakpastian global dan risiko inflasi terselubung.
Kegaduhan Politik Tambahan: Musk dan Trump
Elon Musk juga menjadi sorotan setelah menyatakan penyesalan atas komentar pedasnya terhadap Trump. Meskipun sempat menyulut tensi politik karena kritik terhadap “One Big Beautiful Bill Act”, kini hubungan keduanya membaik. Bahkan, Trump disebut ingin menjadikan layanan Starlink milik Musk sebagai mitra teknologi strategis di Gedung Putih jika terpilih kembali.
Meski terlihat remeh, ketegangan semacam ini punya dampak sistemik. Hubungan antara sektor swasta teknologi dan otoritas negara berpotensi membentuk arah baru kebijakan industri strategis, terutama di bidang AI, satelit, dan infrastruktur digital nasional.
Pasar Tidak Lagi Bisa Bersandar pada Kabar Baik Saja
Pasar kini bergerak dalam lingkungan yang lebih kompleks . Di mana berita baik seperti inflasi yang melambat dan kestabilan tarif tidak cukup untuk menenangkan investor. Keterbatasan respons pasar terhadap kabar positif menandakan pergeseran paradigma: dari pasar yang reaktif terhadap headline ekonomi menjadi pasar yang lebih fokus pada risiko jangka panjang dan stabilitas struktural.



