Pasar Global Bergejolak: Ketegangan Israel-Iran Picu Ketidakpastian Baru bagi Stabilitas Keuangan Dunia

429
middleeast

(Vibiznews-News Insight) Konflik geopolitik kembali menjadi pusat perhatian pasar global setelah terjadi penyerangan terhadap fasilitas nuklir dan target militer Iran oleh Israel. Langkah ini memicu lonjakan tajam harga minyak, penurunan di bursa saham Asia dan Eropa, serta perburuan aset safe haven seperti obligasi pemerintah AS, yen Jepang, dan franc Swiss.

Situasi ini menandai eskalasi serius di kawasan Timur Tengah dan menciptakan ketidakpastian yang dalam bagi pelaku pasar di seluruh dunia. Banyak investor dan analis menyatakan bahwa respons Iran dalam beberapa hari ke depan akan menjadi penentu utama arah pasar. Jika konflik meluas atau mempengaruhi jalur distribusi energi global seperti Selat Hormuz, pasar bisa mengalami guncangan yang jauh lebih besar.

Reaksi Cepat Pasar Global

Tak lama setelah laporan serangan Israel tersebar, harga minyak Brent melonjak tajam mendekati level psikologis $100 per barel, mencerminkan kekhawatiran pasar akan potensi gangguan pasokan energi dari kawasan Timur Tengah. Dolar AS, yang semula melemah akibat data inflasi yang lembut, justru menguat tajam karena investor kembali memburu aset aman. Indeks saham utama di Asia seperti Nikkei 225 dan Hang Seng terkoreksi, sementara kontrak berjangka untuk indeks S&P 500 dan Euro Stoxx 50 juga bergerak turun.

“Ini adalah momen risk-off klasik,” ujar Nicolas Forest, CIO Candriam, Brussels. “Jika harga minyak terus naik, dampaknya bisa meluas pada pertumbuhan ekonomi global dan memperburuk tekanan inflasi, bahkan memperkuat risiko stagflasi yang sudah muncul akibat perang tarif global.”

Perubahan Sentimen Pasar

Sebelum ketegangan ini memuncak, pasar keuangan global tengah menikmati gelombang optimisme. Inflasi inti yang mulai melandai, kinerja kuat sektor teknologi, serta ekspektasi bahwa bank sentral mendekati akhir siklus kenaikan suku bunga sempat mendorong rally di berbagai aset berisiko. Namun, narasi itu kini terganggu oleh risiko geopolitik yang nyata.

“Pasar tadi malam sangat bullish. Tapi semua itu langsung lenyap saat rudal diluncurkan,” kata Billy Leung, Investment Strategist Global X ETFs di Sydney. “Ini seperti deja vu dari insiden Soleimani 2020 atau serangan tanker 2019. Pola reaksi pasar hampir identik: minyak melonjak, Treasuries diburu, dan aset berisiko ditinggalkan.”

Apakah Selat Hormuz Akan Tertutup?

Ancaman terbesar di mata pasar saat ini bukan hanya balasan langsung dari Iran, melainkan potensi disrupsi pada jalur suplai energi global. Selat Hormuz adalah titik krusial yang dilalui lebih dari 20% pasokan minyak global yakni sekitar 13 juta barel per hari, dan menjadi rute penting bagi ekspor gas alam cair (LNG) dari Teluk.

“Jika Iran memutuskan menutup Selat Hormuz, harga minyak bisa melesat jauh di atas $100 dalam waktu singkat,” jelas Matt Maley, Chief Market Strategist di Miller Tabak. “Dan itu bukan hanya soal minyak. Gas alam juga akan terdampak. Konsekuensinya bisa sangat merusak pertumbuhan global.”

Pernyataan dari PM Israel, Benjamin Netanyahu, bahwa ini baru permulaan dan bagian dari “tindakan pembelaan diri” memperkuat ekspektasi bahwa Israel siap menghadapi respons keras dari Teheran. Banyak analis percaya bahwa skenario eskalasi besar masih terbuka lebar.

Respon Investor: Bertahan atau Ambil Keuntungan?

Di Eropa, analis seperti Alexandre Baradez dari IG Paris menilai bahwa ketegangan ini bisa menjadi katalis koreksi pasar yang sudah dalam kondisi overvalued. “Pasar saham, terutama di AS dan Eropa, sudah terlalu mahal. Ketegangan ini bisa mendorong investor untuk mulai ambil untung, terutama dari sektor-sektor sensitif terhadap energi.”

Senada dengan itu, Michael O’Rourke dari JonesTrading menyebut pasar berada dalam posisi rentan karena reli panjang tanpa koreksi berarti. “Jika Iran membalas dengan serangan yang lebih agresif, volatilitas akan melonjak. Ini bukan kondisi ideal untuk mempertahankan posisi jangka pendek yang agresif.”

Namun, sebagian pelaku pasar mengingatkan bahwa respons pasar terhadap konflik geopolitik sering kali bersifat reaktif dan berumur pendek. Seperti yang diungkapkan oleh Matthew Haupt dari Wilson Asset Management, “Sering kali pergerakan tajam ini akan memudar jika tidak ada eskalasi tambahan dalam beberapa hari ke depan. Tapi semuanya tergantung pada kecepatan dan skala respons Iran.”

Efek Terhadap Bank Sentral dan Kebijakan Moneter

Kenaikan harga energi yang signifikan berpotensi mengubah perhitungan bank sentral, yang sebelumnya mulai mempertimbangkan pelonggaran kebijakan moneter karena tekanan inflasi menurun. Jika harga minyak tetap tinggi dan inflasi kembali menguat, bank sentral seperti The Fed, ECB, dan BOE bisa dipaksa menahan suku bunga lebih lama atau bahkan melanjutkan pengetatan.

“Ini bertentangan dengan proyeksi bank sentral,” kata Alexandre Hezez, CIO Group Richelieu. “Jika harga energi melonjak, maka inflasi tidak akan turun seperti yang diharapkan, dan itu memperlambat pemulihan ekonomi.”

Peluang Bagi Trader Forex dan Investor Komoditas

Untuk pelaku pasar forex, situasi saat ini menciptakan peluang dan risiko yang besar. Dolar AS, yen Jepang, dan franc Swiss berpotensi menguat sebagai tempat perlindungan. Sementara itu, mata uang komoditas seperti AUD dan NZD bisa mengalami tekanan karena ketergantungan terhadap ekspor dan sentimen risiko.

Sementara itu, emas sebagai aset lindung nilai berpotensi menjadi primadona jika volatilitas berlanjut, terutama jika dolar tidak cukup kuat menahan arus modal dari pasar ekuitas. Minyak tentu menjadi instrumen utama yang mencerminkan eskalasi geopolitik ini, dan bisa memberikan peluang trading signifikan baik bagi investor jangka pendek maupun pelaku derivatif energi.

Menanti 48 Jam Krusial

Sebagian besar analis sepakat bahwa 24–48 jam ke depan akan sangat menentukan arah pasar. Jika Teheran merespons secara terbatas dan jalur energi tetap aman, maka gejolak ini bisa mereda. Namun, jika terjadi aksi balasan militer besar-besaran atau gangguan logistik di kawasan Teluk, risiko geopolitik bisa berubah menjadi krisis pasar yang nyata.

Seperti yang disampaikan oleh Charu Chanana dari Saxo Markets, “Jika eskalasi meluas, maka harga minyak, emas, dan aset safe haven akan terus naik. Volatilitas akan tetap tinggi, dan pasar tidak akan kembali tenang dalam waktu dekat.”