(Vibiznews-Economic) Pasar global kembali menyoroti Jepang , bukan karena kekuatan industrinya atau kebangkitan yen, tetapi karena sesuatu yang jauh lebih mendasar: krisis utang yang kian mengakar dan sulit diurai. Setelah pandemi, dunia menyaksikan banyak negara kehilangan kendali atas kebijakan fiskal mereka. Namun, di antara semua negara dengan beban utang tinggi, Jepang menempati posisi paling ekstrem, dengan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) yang telah menembus 240 persen, level tertinggi di antara negara maju mana pun.
Fenomena ini mencerminkan tema besar yang kini mendominasi sentimen pasar global: ketidaksabaran terhadap kebijakan fiskal yang boros dan tidak berkelanjutan. Investor semakin khawatir bahwa pemerintah di berbagai negara akan memilih jalan pintas, membiarkan inflasi “menghapus” utang mereka. Inilah yang dikenal sebagai “debasement trade”, strategi di mana pelaku pasar memburu aset-aset yang dianggap tahan terhadap pelemahan nilai mata uang, mulai dari logam mulia hingga mata uang dengan beban utang rendah.
Gelembung Logam Mulia dan Pelarian ke Aset Aman
Lonjakan harga emas dan perak dalam beberapa bulan terakhir bukan sekadar respons terhadap ketidakpastian geopolitik, tetapi juga bagian dari fenomena “perdagangan pelemahan nilai” tersebut. Investor mencari perlindungan dari risiko inflasi dan utang yang membengkak. Selain emas, mata uang seperti franc Swiss dan krona Swedia yang dikenal memiliki disiplin fiskal ketat juga mengalami apresiasi tajam.
Di sisi lain, imbal hasil obligasi pemerintah di berbagai negara melonjak karena pasar menuntut premi risiko yang lebih besar untuk mengompensasi potensi penurunan nilai mata uang. Singkatnya, dunia kini sedang menuntut harga atas kebijakan fiskal yang longgar.
Jepang: Pusat dari Ketegangan Utang Global
Namun, di jantung dari ketegangan ini terdapat Jepang negara dengan utang publik raksasa dan suku bunga ultra-rendah yang telah berlangsung selama dekade. Satu-satunya alasan mengapa imbal hasil obligasi pemerintah Jepang (JGB) tidak melonjak lebih tinggi adalah karena Bank of Japan (BoJ) menjadi pemegang hampir separuh dari seluruh utang tersebut.
Selama bertahun-tahun, BoJ membeli JGB dalam jumlah masif untuk menjaga agar biaya pinjaman pemerintah tetap rendah dan mendukung inflasi. Kebijakan ini menciptakan rezim pembatasan imbal hasil (yield cap) de facto, yang menahan kurva imbal hasil tetap stabil. Namun, langkah ini juga membawa konsekuensi berat: transmisi kebijakan moneter menjadi tidak efektif.
Kini, BoJ berupaya perlahan menarik diri dari ketergantungan pada pembelian obligasi. Bank sentral itu berencana mengurangi pembelian bulanan JGB menjadi ¥2 triliun pada awal 2027, turun dari ¥3,5 triliun pada September 2025. Sekilas, rencana “tapering” ini tampak realistis dan terukur. Tetapi kenyataannya jauh lebih rumit.
Bayangan Likuiditas: BoJ Sebagai Penjual Bersih
Masalah utama yang dihadapi BoJ adalah besarnya portofolio obligasi yang sudah dimilikinya. Dengan porsi kepemilikan yang sangat besar, jumlah obligasi yang jatuh tempo setiap bulan pun luar biasa tinggi. Itu berarti, meskipun BoJ masih aktif membeli obligasi secara bruto, secara bersih bank sentral ini justru menjadi penjual bersih di pasar.
Data menunjukkan bahwa hingga kuartal II tahun 2025, BoJ mencatat penjualan bersih JGB senilai sekitar -2,6 persen dari PDB. Selama periode tersebut, pembelian bruto BoJ rata-rata mencapai ¥4,7 triliun per bulan. Bila angka ini benar-benar dikurangi menjadi ¥2 triliun, maka penurunan bersih kepemilikan BoJ akan sangat besar — dan hampir pasti akan mendorong imbal hasil obligasi jangka panjang Jepang naik lebih tajam lagi.
Kenaikan imbal hasil ini bukan sekadar risiko teknis, melainkan guncangan struktural yang dapat merembet ke seluruh sistem keuangan Jepang. Dengan sektor publik dan swasta yang sama-sama terbiasa dengan biaya pinjaman rendah selama bertahun-tahun, setiap kenaikan kecil pada yield dapat memperburuk tekanan fiskal dan membebani neraca keuangan pemerintah.
Pelajaran untuk Dunia: Bahaya Menahan Yield
Situasi Jepang menjadi peringatan bagi bank sentral lain di dunia. Kebijakan menahan yield dengan pembelian obligasi besar-besaran tampak efektif di awal, tetapi menciptakan jebakan jangka panjang yang sulit dilepaskan. Begitu pasar terbiasa dengan suku bunga rendah permanen, setiap upaya normalisasi akan memicu gejolak besar.
Bagi Jepang, keluar dari jebakan ini hampir mustahil tanpa menanggung biaya ekonomi dan politik yang signifikan. Untuk menurunkan beban utang, pemerintah perlu menahan defisit fiskal dan membiarkan imbal hasil JGB naik secara bertahap. Namun, langkah itu berisiko memicu penolakan politik, mengingat suku bunga yang lebih tinggi akan menambah beban bunga utang negara yang sudah sangat besar.
Selain itu, kenaikan yield bisa mengancam independensi Bank of Japan. Jika BoJ dianggap bertanggung jawab atas lonjakan biaya pinjaman pemerintah, tekanan politik untuk menurunkan suku bunga kembali bisa meningkat menempatkan bank sentral dalam posisi yang serba salah antara menjaga stabilitas fiskal dan menjaga kredibilitas moneter.
Krisis Utang Jepang Jadi Cermin Dunia
Krisis utang Jepang bukanlah fenomena baru, tetapi kini memasuki babak yang lebih genting. Setelah tiga dekade kebijakan moneter ultra-longgar dan stimulus fiskal yang tak kunjung berhenti, negara ini kini menghadapi konsekuensi jangka panjang dari utang besar dan pertumbuhan ekonomi stagnan.
Dengan populasi yang menua, produktivitas yang melambat, dan pengeluaran sosial yang terus meningkat, ruang fiskal Jepang semakin menyempit. Dalam kondisi ini, kebijakan moneter tidak lagi mampu menjadi penyelamat tunggal.
Satu-satunya jalan keluar tampaknya adalah perpaduan kebijakan disiplin fiskal dan reformasi struktural, yang memungkinkan pemerintah mengurangi ketergantungan pada utang tanpa menghancurkan pertumbuhan ekonomi. Namun, seperti diakui banyak ekonom, langkah tersebut menuntut keberanian politik yang luar biasa sesuatu yang masih jarang terlihat di Tokyo.
Satu hal yang pasti: Jepang kini berada dalam krisis utang de facto. Negara itu sudah lama kehabisan opsi mudah, dan setiap langkah menuju normalisasi kebijakan berpotensi memicu turbulensi baru di pasar global.
Dalam pandangan pasar, kisah Jepang bukan sekadar persoalan domestik, melainkan cermin bagi seluruh dunia, peringatan bahwa ketika utang publik terus menumpuk tanpa batas, pada akhirnya bahkan negara dengan mata uang terkuat pun akan menghadapi hari perhitungannya.



