Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada awal bulan Oktober 2015 ini secara resmi memangkas proyeksi pertumbuhan perdagangan dunia pada tahun ini dari yang semula ditargetkan sebesar 3,3 persen turun menjadi 2,8 persen. Pemangkasan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan sejumlah faktor yang membebani ekonomi global pada semester pertama 2015, termasuk penurunan permintaan impor di Tiongkok, Brasil dan negara berkembang lainnya, penurunan harga minyak dan komoditas primer lainnya, serta fluktuasi nilai tukar yang signifikan.
Selain itu, volatilitas di pasar keuangan, ketidakpastian atas sikap perubahan kebijakan moneter di Amerika Serikat (AS) dan data ekonomi bervariasi baru-baru ini dinilai turut mempersuram prospek ekonomi dan perdagangan dunia pada paruh kedua tahun ini serta seterusnya. Lebih jauh lagi, bahkan para petinggi WTO menyatakan dalam skenario terburuk mereka kemungkinan pemangkasan proyeksi masih dapat terjadi mengingat rentannya ekonomi global saat ini terutama jika perlambatan ekonomi di negara-negara berkembang memburuk.
Jika proyeksi saat ini terealisasi, 2015 akan menandai tahun keempat berturut-turut di mana pertumbuhan perdagangan tahunan turun di bawah tiga persen dan tahun keempat di mana perdagangan telah tumbuh di sekitar tingkat yang sama seperti PDB (produk domestik bruto) dunia, bukan dua kali lebih cepat seperti yang terjadi pada 1990-an dan awal 2000-an. Menurut WTO, lambatnya pemulihan ekonomi dari penurunan angka impor negara-negara berkembang baru-baru ini akan memangkas 0,5 persen pertumbuhan perdagangan global pada 2015.
Proyeksi dari WTO ini dirilis sebelum Dana Moneter Internasional (IMF) menyampaikan proyeksi pertumbuhan ekonomi global pekan depan. IMF diperkirakan juga akan memangkas proyeksi pertumbuhan tahun ini. Seperti diketahui, dalam beberapa dekade sebelum terjadinya krisis global, angka perdagangan selalu tumbuh dua kali lipat di atas pertumbuhan ekonomi global yang sering disebut sebagai hiperglobalisasi. Lonjakan perdagangan selama ini didorong oleh pertumbuhan Tiongkok dan beberapa negara berkembang lain.
Meski demikian, WTO memperkirakan perdagangan global akan mulai pulih pada tahun depan dan diprediksi tumbuh 3,9 persen. Pemulihan tersebut nantinya akan ditopang oleh menguatnya angka ekspor di negara-negara maju. Sedangkan untuk tahun ini WTO memperkirakan ekspor di negara maju hanya tumbuh 3 persen, sementara ekspor di negara berkembang hanya tumbuh 2,4 persen. Sementara itu, berdasarkan hasil studi Financial Times sebelumnya terlihat bahwa tren pelemahan nilai tukar mata uang (kurs) negara-negara berkembang berdampak negatif bagi perdagangan global. Adapun dalam kajian tern perdagangan Financial Times tersebut objeknya adalah 100 negara di dunia, dimana kesimpulan kajiannya adalah depresiasi kurs hanya menyebabkan impor melemah, dan tidak memberikan manfaat terhadap kenaikan volume ekspor.
Sebagai informasi, sejak Juni 2014, kurs mata uang Rusia, Kolombia, Brasil, Turki, Meksiko, dan Cile telah anjlok 20-50 persen melawan kurs dolar AS. Tidak berbeda, kurs ringgit Malaysia dan rupiah Indonesia mencapai titik terendah sejak krisis finansial Asia pada 1998. Tiongkok, yang terkonfirmasi melakukan devaluasi, mencatatkan penurunan kurs yuan 4,5 persen terhadap dolar AS, yang juga mendorong pelemahan kurs di negara-negara berkembang.
Sejauh ini, produksi global memang diprediksi masih akan terus melanjutkan ekspansi pada fase yang moderat tetapi risiko terhadap perekonomian dunia semakin di sisi negatifnya. Ini termasuk pelambatan tajam dari perkiraan di negara bertumbuh pesat dan negara berkembang, kemungkinan destabilisasi arus keuangan dari kenaikan suku bunga oleh The Fed AS, dan biaya tak terduga terkait dengan krisis migrasi di Eropa.
Stephanie Rebecca/VM/BNV/ Analyst at Vibiz Research Center
Edior: Asido Situmorang