Lebih dari 2 (dua) bulan berlalu, bencana kebakaran hutan dan kabut asap di Pulau Sumatera dan Kalimantan belum juga usai, bahkan kini titik api menyebar ke wilayah timur Indonesia. Dengan demikian, berdasarkan data yang diterima BNPB per 21 Oktober 2015, maka jumlah titik api di seluruh Indonesia meningkat drastis menjadi lebih dari 3.000 titik dengan Jumlah terbanyak masih di kawasan Kalimantan Tengah dengan 910 titik api. Dengan jumlah tersebut, kabut asap di ibu kota Kalteng, Palangkaraya, memasuki fase terburuk sepanjang terjadinya bencana kabut asap di Indonesia.
Di wilayah barat Indonesia, jumlah terbanyak berada di Sumatra Selatan dengan 797 titik api. Sementara daerah yang titik apinya mencapai lebih dari 150 adalah Kalimantan Selatan (231), Jambi (175), dan Kalimantan Timur (160). Sisanya ialah Riau (39), Kepulauan Riau (2), Bangka Belitung (39), Lampung (8), Kalimantan Barat (22), Jawa Timur (20), dan Jawa Barat (4) yang jumlah titik apinya di bawah 50. Total titik api di barat Indonesia berjumlah 2.407.
Sedangkan untuk kondisi di wilayah timur Indonesia berdasarkan data satelit Terra Aqua, terdapat 819 titik api yang mayoritas terdapat di Provinsi Papua. Sementara untuk penyebaran api di lokasi lain, Maluku terdeteksi memiliki 88 titik api, Maluku Utara 36 titik api, Nusa Tenggara Timur 13 titik, Nusa Tenggara Barat 11 titik, Sulawesi Selatan 23 titik, Sulawesi Barat 9 titik, Sulawesi Tengah 6 titik, dan Sulawesi Utara 1 titik.
Menanggapi data tersebut, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia kali ini merupakan yang terparah. Dampak EL Nino tahun 2015 adalah yang terparah dalam sejarah Indonesia. El Nino adalah bentuk anomali iklim di Pasifik Selatan. Fenomena ini terjadi antara pesisir barat Amerika Latin dan Asia Tenggara, namun efeknya bisa dirasakan ke seluruh penjuru dunia dan seringkali berujung pada bencana alam.
Saat fenomena El Nino terjadi, perairan sekitar Indonesia umumnya tak seperti biasanya karena suhunya turun. Akibatnya, terjadi perubahan pada peredaran masa udara yang berdampak pada berkurangnya pembentukan awan-awan hujan di Indonesia. Hal ini berdampak pada pengurangan jumlah curah hujan yang signifikan di Indonesia.
Luhut mengakui, kebakaran di lahan gambut, merupakan kesalahan kebijakan yang dibuat pemerintah selama sepuluh tahun terakhir dengan membagikan tanah gambut menjadi perkebunan. Menurutnya, sekitar 4,8 juta hektare lahan gambut yang dijadikan perkebunan selama sepuluh tahun belakangan ini menjadi masalah utama, sebab kebakaran di lahan gambut sulit dipadamkan.
Dampak yang ditimbulkan dari bencana kabut asap berkepanjangan ini tidak hanya dirasakan mereka yang menjadi korban langsung di lokasi bencana, tetapi juga bagi perekonomian Indonesia. Pembakaran hutan yang lekat kaitannya dengan industri sawit, terancam diboikot produknya oleh negara tetangga, yaitu Singapura. Sebelumnya Singapura juga sudah lebih dulu memboikot produk salah satu perusahaan pulp terbesar di Indonesia. Tentu saja jika pemboikotan ini berlangsung lama dan diikuti negara lainnya, perekonomian Indonesia bisa terganggu mengingat sawit merupakan salah satu komoditi ekspor andalan Indonesia.
Stephanie Rebecca/VM/BNV/ Analyst at Vibiz Research Center
Edior: Asido Situmorang