Perlambatan ekonomi Tiongkok yang sudah terjadi dalam beberapa waktu terakhir diprediksi akan memberi dampak negatif pada kondisi perekonomian negara-negara berkembang atau emerging market termasuk Indonesia. Melambatnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok diprediksi akan membuat para pengambil kebijakan di Indonesia lebih seksama dalam menganalisa putusan yang ditetapkan. Terlebih lagi Indonesia dan Tiongkok memiliki hubungan dagang yang cukup besar, baik dalam ekspor maupun impor. Demikian juga dengan sebagian negara-negara Asia Tenggara juga diperkirakan akan lebih rentan dari yang lain terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi di Tiongkok. Hal ini tidak mengejutkan, mengingat sudah 15 tahun terakhir ini, Tiongkok telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari rantai pasokan produsen Tiongkok, seperti Indonesia.
Namun meski ekonominya sedang melambat, para investor Tiongkok nampaknya tetap agresif menggelontorkan dananya ke Indonesia setelah merangsek masuk ke dalam lima besar negara yang merealisasikan investasi. Selama kuartal III 2015, Tiongkok berhasil menduduki peringkat ke-5 yang nilai realisasi investasinya mencapai US$ 245,75 juta dengan jumlah proyek mencapai 300 proyek. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Franky Sibarani menyampaikan bahwa nilai realisasi investasi tersebut berarti kenaikan 151 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya (Q3-2014) yang kala itu berada di level US$ 97,5 juta.
Naiknya realisasi investasi oleh Tiongkok pada Q3 lalu dinilai cukup menarik karena selama ini para investor Tiongkok dari sisi komitmen memang sudah dikenal memiliki komitmen yang selalu tinggi, namun dalam proses realisasinya rendah dimana rasio komitmen dan realisasi masih rendah dikisaran 10 persen. Menariknya lagi, Tiongkok yang selama ini berada di luar 10 besar negara sumber investasi melesat menduduki peringkat kelima dalam periode kuartal III tahun 2015. Dari data yang dirilis oleh BKPM, realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) berdasarkan asal negara (5 besar) adalah Singapura (US$ 1,24 miliar), Jepang (US$ 917 juta), Belanda (US$ 494 juta), Malaysia (US$ 322 juta) dan Tiongkok (US$ 245 juta).
Secara rinci, investasi Negeri Tirai Bambu dalam kurun periode kuartal III tahun 2015 tersebut masuk ke sektor primer seperti tanaman pangan dan perkebunan dengan jumlah investasi mencapai US$ 92 juta, diikuti oleh sektor industri logam dasar, barang logam, mesin dan elektronik dengan jumlah investasi mencapai US$ 57 juta, serta industri makanan mencapai US$ 41 juta. Terkait lokasi investasi, sejauh ini masih didominasi di Kalimantan Selatan dengan nilai investasi mencapai US$ 132,3 juta, diikuti oleh Provinsi DKI Jakarta dengan nilai investasi US$ 38,4 juta dan Provinsi Sulawesi Tenggara US$ 27,9 juta.
BKPM mencatat, secara kumulatif di sepanjang periode Januari-September 2015, realisasi investasi Tiongkok mencapai US$ 406 juta dengan jumlah proyek mencapai 705 proyek. BKPM sendiri juga sudah merilis realisasi investasi kumulatif Januari-September 2015 yang mencapai Rp 400 triliun, atau meningkat 16,7 persen jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yaitu sebesar Rp 342 triliun. Lebih lanjut, realisasi investasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), Januari-September 2015 meningkat 16,4 persen sebesar Rp 133,2 triliun, sedangkan realisasi investasi PMA naik 16,9 persen sebesar Rp 266,8 triliun. (Lihat juga: Realisasi Investasi 9 Bulan Terakhir Memuaskan, Penuhi 77% Target)
Stephanie Rebecca/VM/VBN/ Analyst at Vibiz Research Center
Edior: Asido Situmorang