Paket Kebijakan Ekonomi Indonesia Tahap XI – Bagian 2

872

3. Pengendalian Risiko untuk Memperlancar Arus Barang di Pelabuhan (Indonesia Single Risk Management – ISRM)

Latar Belakang

1) Penyelesaian customs clearance dan cargo release di pelabuhan masih terkendala, yaitu memerlukan waktu lama; adanya perlakuan pelayanan yang berbeda-beda atas Pengguna Jasa yang sama di setiap Kementerian/Lembaga (K/L), pengelolaan risiko pada Kementerian/Lembaga belum dilakukan secara sistematis dan belum terintegrasi.

2) Posisi Indonesia dalam pemberian komitmen penerapan Trade Facilitation Agreement World Trade Organization (TFA-WTO) masih rendah, yaitu Indonesia hanya memberikan komitmen dengan kategori A (langsung diterapkan setelah perjanjian entry into force) untuk 3 point perjanjian (pre-arrival processing, use of customs broker, dan penalty discipline) dari 48 poin yang diatur dalam TFA-WTO

3) Capaian kinerja logistik belum optimal, dimana waktu dwelling time saat ini tercatat rata-rata 4,7 hari pada akhir Tahun 2015.

Tujuan dan Manfaat

1) Mempercepat pelayanan kegiatan impor/ekspor yang dapat memberikan kepastian usaha, efisiensi waktu dan biaya perizinan, serta menurunkan dwelling time.

2) Meningkatkan efektifitas pengawasan melalui integrasi pengelolaan risiko diantara Kementerian/Lembaga.

3) Meningkatkan high compliance dan mendorong pelaku usaha untuk patuh karena adanya kepastian waktu pelayanan.

4) Adanya perlakuan yang sama pada pelayanan dan pengawasan perizinan dari semua Kementerian/Lembaga terhadap setiap pelaku usaha sesuai dengan profil risiko, sehingga menciptakan kepastian proses layanan ekspor impor.

Pokok-pokok Kebijakan

1) Mewajibkan semua Kementerian/Lembaga untuk mengembangkan fasilitas pengajuan permohonan perizinan secara tunggal (single submission) melalui Portal Indonesia National Single Window (INSW) untuk pemrosesan perizinan.

2) Menetapkan penerapan Indonesia Single Risk Management dalam sistem INSW dengan melakukan penerapan identitas tunggal dan penyatuan informasi pelaku usaha dalam kegiatan ekspor impor, sebagai base profile risiko dan single treatment dalam pelayanan perizinan masing-masing Kementerian/Lembaga.

3) Untuk tahap awal meluncurkan model single risk management dalam platform single submission antar BPOM dengan Bea dan Cukai yang diperkirakan dapat menurunkan dwelling time terhadap produk-produk bahan baku obat, makanan minuman, dan produk lain yang membutuhkan perizinan dari BPOM dari 4,7 hari menjadi sekitar 3,7 hari pada bulan Agustus 2016.

4) Mewajibkan penerapan single risk management pada Agustus 2016, dan diperluas penerapannya untuk beberapa Kementerian/Lembaga seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, sehingga pada akhir Tahun 2016, diharapkan dapat berpengaruh pada penurunan dwelling time menjadi 3,5 hari secara nasional.

5) Menetapkan single risk management agar diterapkan secara penuh pada seluruh Kementerian/Lembaga penerbit perizinan ekspor/impor, sehingga akan mendorong tingkat kepatuhan Indonesia terhadap WTO Trade Facilitation Agreement menjadi 70% serta dapat menurunkan dwelling time menjadi kurang dari 3 Hari pada akhir Tahun 2017.

Lihat :  Paket Kebijakan Ekonomi Indonesia Tahap XI – Bagian 1

 4. Pengembangan Industri Kefarmasian dan Alat Kesehatan

Latar Belakang

1) Terdapat 206 industri farmasi yang mendominasi pangsa pasar obat nasional (76%), tetapi 95% bahan baku obat masih diimpor.

2) Terdapat 95 industri alat kesehatan (alkes) yang memproduksi 60 jenis dengan teknologi middle-low dengan kelas risiko rendah-menengah, dengan pertumbuhan 12% pertahun, tetapi 90% alkes masih diimpor.

3) Memperhatikan kondisi industri farmasi dan alkes tersebut dan adanya kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang memerlukan dukungan kemampuan produksi dalam negeri, sehingga perlu diambil langkah-langkah kebijakan yang terintegrasi (tailor-made policy) yang melibatkan dukungan semua Kementerian/Lembaga, BUMN, dan pemangku kepentingan lainnya untuk mempercepat pengembangan industri farmasi.

4) Dari 939 jenis obat dalam Rencana Kebutuhan Obat Nasional Tahun 2015 yang lalu, ternyata masih didominasi oleh kebutuhan obat-obat dasar seperti vitamin B; obat tahan sakit (analgesik) dan turun panas (antipiretik) seperti Paracetamol; dan antibiotik seperti Amoxycillin. Pada
Tahun 2015 penjualan produk-produk farmasi mencapai Rp 62,1 Triliun (sumber: survey IIMS Q4-2015)

Tujuan dan Manfaat

1) Menjamin ketersediaan sediaan farmasi dan alat kesehatan sebagai upaya peningkatan pelayanan kesehatan dalam rangka Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

2) Mendorong keterjangkauan harga obat di dalam negeri dan meningkatkan daya saing ekspor.

3) Mendorong penguasaan teknologi dan inovasi.

4) Mempercepat kemandirian dan pengembangan produksi bahan baku obat dan alat kesehatan.

Pokok-pokok Kebijakan

Menerbitkan Instruksi Presiden kepada Menteri Kesehatan, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, Menteri Badan Usaha Milik Negara, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan, dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal untuk mempercepat kemandirian dan daya saing industri obat dan alat kesehatan dalam negeri. Pokok-pokok Instruksi Presiden sebagai berikut:

1) Penyusunan road map dan action plan pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan, yang antara lain memuat langkah-langkah untuk pengembangan industri bahan baku obat dan alat kesehatan, melalui investasi swasta, kerja sama swasta dan BUMN Farmasi, serta sinergi antar BUMN, khususnya:

  • Produk Bioteknologi, seperti insulin stem cell protein, blood fractionation, interferon, monoclonal antibody;
  • Produk Vaksin seperti: dengue (demam berdarah), HB (Hepatitis B), Sabin IPV (Inactivated Polio Vaccine), HPV (Human Papiloma Virus);
  • Produk Natural, seperti ekstrak biji pala, curcumin, gingerol, ekstrak sambung nyawa, ekstrak temulawak, omega 3, isolate alga cokelat (wound care);
  • Active pharmaceutical ingredient (API) atau Bahan Baku Obat seperti: simrastatin turunan statin untuk menurunkan kadar kolesterol, garam farmasi (kadar NaCl diatas 99% yang sudah diuji coba oleh PT. Kimia Farma), ascorbic acid (vit C), dan retinol;
  • Peningkatan supply alat kesehatan produk dalam negeri, seperti: produk Disposable and consumable, hospital furniture, implant ortopedi, elektromedical devices. Diagnostics instrument, PACS (Picture Archiving and Communication Systems), Diagnostics Reagents, Point of care testing, dan sebagainya.

2) Pengembangan riset sediaan farmasi dan alat kesehatan untuk mendorong peningkatan kualitas dan ragam temuan-temuan baru.

3) Penyusunan kebijakan yang mendorong investasi industri farmasi dan alat kesehatan (a.l. membuka Daftar Negatif Investasi yang lebih terbuka bagi penanaman modal asing, yaitu untuk bahan baku obat dari 85% menjadi 100% untuk penanaman modal asing).

4) Peningkatan kapasitas kelembagaan (sinerjitas BUMN Farmasi) dan sumber daya manusia (tenaga apoteker, farmasi, kimia, biotechnology) serta pembiayaan.

5) Penyusunan kebijakan perdangangan dalam negeri dan luar negeri yang mendukung pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan, antara lain perluasan penerapan e-catalogue, standar obat di rumah sakit dalam rangka Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), penggunaan produk dalam negeri, dan pengendalian impor ekspor.

6) Penyusunan kebijakan fiskal untuk industri farmasi dan alat kesehatan, antara lain fasilitas bea masuk, tax holiday, tax allowance, incentif di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), Kawasan Industri, Pusat Logistik Berikat, dan sebagainya.

 

Freddy/VBN/VMN/Analyst Vibiz Research Center
Editor : Asido Situmorang

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here