Pengamatan Ekonom: Amerika Akan Resesi pada 2019; Valuasi Tinggi Mendahului Crash

482
Trader Sal Suarino works on the floor of the New York Stock Exchange Monday, Dec. 9, 2013. The stock market is opening little changed following last week's strong U.S. jobs report. (AP Photo/Richard Drew)

(Vibiznews – Economy) – Kenaikan tajam bursa ekuitas global yang berlanjut bersamaan dengan kenaikan suku bunga membuat resesi yang tak terelakkan dalam waktu dekat, demikian beberapa analis keuangan memprediksinya (6/12).

“Kami pikir (Federal Reserve) akan terus mengencangkan kebijakannya selama beberapa tahun ke depan, tapi kami mulai berpikir bahwa itulah akhir dari siklus, Anda bisa mulai melihatnya sekarang. Kami mengatakan 2019: resesi,” demikian menurut Robin Bew, CEO Economist Intelligence Unit, mengatakan kepada CNBC (6/12).

Para bank sentral dunia secara bertahap mengetatkan kebijakan moneter dengan menaikkan suku bunga acuan. Selain itu, The Fed juga menarik stimulus yang sebelumnya dialirkan kepada perekonomian pasca-krisis keuangan 2008.

Menurut Bew, ekonomi AS tumbuh dan angka pengangguran terus menurun. Namun, ia memandang ada celah dalam perekonomian dan kapasitas ekonomi, sehingga pihaknya mulai menganalisis apa yang salah dengan ekonomi AS. “Tim kami sudah memikirkan kapan hal itu akan menjadi masalah bagi ekonomi AS.” Dia yakin tahun itu adalah 2019.

Sementara itu, kepala riset ekuitas Fidelity International Sonja Laud menyatakan, likuiditas yang disediakan oleh bank sentral harus dipahami guna mengerti reaksi pasar. Menurunnya likuiditas dapat berdampak pada aksi jual saham.

“Jika mereka mengambil likuiditas yang berlebih, Anda jelas akan melihat penyempitan pada beberapa bagian di pasar di mana Anda tidak bisa melakukan perdagangan sebebas yang Anda pikirkan. Kemudian hal normal yang dilakukan adalah menjual aset likuid yang tersedia, dan saham biasanya adalah pilihan,” ungkap Laud.

Pengetatan likuiditas dikombinasikan dengan apa yang telah banyak digambarkan sebagai pasar saham yang terlalu tinggi (overvalued) untuk beberapa waktu, sekarang telah memicu pertanyaan apakah akan ada crash di tikungan. Namun, kebijakan pengetatan fiskal tidak mengarahkan pada jatuhnya pasar (crash), dan ada analis yang percaya bahwa pasar saham akan terus terdorong kenaikannya di tahun-tahun mendatang.

Periode kepercayaan investor yang berkepanjangan dalam beberapa tahun terakhir – pasar bull terpanjang kedua dalam sejarah – telah melihat harga saham naik ke rekor tertinggi. Kata sifat seperti “inflated” dan “overstretched” digunakan setiap hari untuk menggambarkan valuasi pasar saham, menunjukkan apa yang banyak analis peringatkan akan menyebabkan koreksi pasar akhirnya atau bahkan resesi penuh.

Index Dow Jones telah melonjak 5.500 poin pada tahun lalu, dengan index acuan AS ini mencapai titik tertinggi sepanjang masa di 24.536 poin pada Senin sebelum menetap di level 24.400. Saham ritel saat ini sedang booming karena kepercayaan diri tumbuh dalam kemampuan pemerintah AS untuk mengeluarkan sebuah rencana pajak yang dipimpin oleh Partai Republik yang menjanjikan pemangkasan tingkat pajak perusahaan dari 35 persen menjadi 20 persen.

Sementara itu, indeks acuan Jerman DAX dan FTSE 100 Inggris juga mencapai puncak tertinggi sepanjang masanya di bulan November.

Sejarah menunjukkan bahwa valuasi yang tinggi selalu mendahului crash pasar. Daily Telegraph melaporkan bahwa satu-satunya waktu ketika valuasi pasar lebih tinggi daripada hari ini adalah beberapa saat sebelum “dotcom bubble” pada akhir 1990-an dan anjloknya Wall Street pada tahun 1929.

 

Source: CNBC

Editor: J. John

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here