(Vibiznews – Economy) – Ekonomi dunia saat ini terlihat berada di jalur satu tahun terbaiknya sejak era krisis keuangan global, dengan negara-negara maju dan berkembang dalam inflasi rendah dan kondisi moneter yang tetap akomodatif.
Tapi tren yang baik itu bisa berakhir dalam dua hingga tiga tahun mendatang, demikian menurut Chairman UBS, Axel Weber, sebagaimana dirilis CNBC baru-baru ini (20/4).
“Kita berada di ujung dari pemulihan yang panjang dan, dua hingga tiga tahun dari sekarang, paling lambat, sejumlah risiko dapat terjadi. Risiko resesi saat ini meningkat,” demikian Weber mengatakan kepada CNBC dalam Pertemuan Musim Semi Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia akhir minggu lalu.
IMF minggu ini dilaporkan mempertahankan perkiraan pertumbuhan global 2018 sebesar 3,9 persen yang, jika terwujud, akan menjadi ekspansi yang tercepat sejak 2011. Tetapi lembaga tersebut memperingatkan bahwa tingkat utang global telah mencapai rekor, dan pemerintah harus mulai mengurangi utang mereka dan membangun buffer untuk “tantangan yang pasti akan datang di masa depan.”
Lembaga keuangan juga harus bersiap untuk risiko tersebut, kata Weber, menambahkan bahwa dia berpikir perbankan telah menjadi lebih siap dibandingkan saat periode krisis terakhir yang lalu.
UBS Tidak Melihat Perang Dagang Akan Datang
Weber juga mengatakan dia tidak berpikir perang perdagangan penuh akan terjadi sebagai akibat dari perselisihan yang berlangsung antara AS dan China.
Namun, ia menambahkan bahwa sudah waktunya untuk mengkaji kembali peranan Beijing dalam Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization), terutama mengingat proyeksi bahwa China suatu hari akan menjadi ekonomi terbesar di dunia. Weber menambahkan bahwa perusahaan-perusahaan dari seluruh dunia harus diizinkan untuk melakukan bisnis di China dengan lebih bebas.
Disebutkannya bahwa sudah ada sejumlah tanda China membuka diri: UBS tahun lalu menjadi bank asing pertama yang menerima lisensi yang memungkinkan unit manajemen aset yang dimiliki sepenuhnya di China untuk melayani institusi domestik dan investor penghasilan tinggi.
“Ketika kami melakukan bisnis di China, kami melakukannya dalam bentuk joint ventures. Kami harusnya bisa masuk juga sendiri atau dengan partnership anak perusahaan di China dengan kepemilikan di atas 50 persen atau bahkan 100 persen,” jelasnya.
“Demikian sebaiknya lembaga global dapat melakukan bisnis di China,” tambahnya kepada CNBC pada akhir pekan lalu (20/4).
Alfred Pakasi/VBN/MP Vibiz Consulting Group
Editor: Asido