(Vibiznews – Economy) – UBS, sebuah investment bank global, memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi global akan melambat di tahun 2019, seiring dengan kebijakan moneter yang lebih ketat, pertumbuhan pendapatan yang melemah, dan tantangan politik yang dihadapi sejumlah negara ekonomi besar dunia.
Pertumbuhan ekonomi dunia pada 2018 diperkirakan melaju 3,8 persen, sedangkan untuk tahun 2019 UBS memerkirakan prospek pertumbuhan ekonomi global melambat menjadi 3,6 persen.
“Outlook kami adalah pertumbuhan ekonomi A.S. akan dibatasi oleh tekanan stimulus fiskal dan suku bunga yang lebih tinggi,” demikian ekonom UBS mengatakan dalam sebuah catatan di awal tahun 2019 ini. Sementara itu, China menghadapi tekanan ganda melalui tarif impor AS dan rebalancing ekonomi, demikian dilansir dari CNBC (2/01).
Bagaimanapun, ada sisi terangnya. UBS perkirakan bahwa resesi tampaknya tidak akan sampai terjadi mengingat tingkat konsumsi, investasi, dan pertumbuhan lapangan kerja saat ini, “dan kami berpikir penyebab khas suatu downturn tidak mungkin terealisasi pada 2019.”
“Pertumbuhan ekonomi dan pendapatan akan berkurang secara agregat. Tetapi perlambatan ini tidak akan dirasakan secara seragam oleh setiap negara, sektor, ataupun perusahaan,” kata ekonom UBS. “Kami mengharapkan pertumbuhan yang kuat pada perusahaan-perusahaan yang terkait dengan tren sekuler seperti pertumbuhan populasi, demografi suia, dan urbanisasi,” demikian ditambahkan UBS.
Kebijakan moneter ketat
Di antara tantangan terbesar yang dihadapi ekonomi terbesar dunia adalah era baru kebijakan moneter yang lebih ketat setelah satu dekade berlaku stimulus ekonomi, atau QE, yakni setelah krisis keuangan global di tahun 2008 yang lalu.
AS disebutkan telah menghentikan program QE dan menaikkan suku bunganya empat kali pada 2018. Sementara Bank Sentral Eropa mengkonfirmasi pada Desember bahwa QE akan berakhir pada akhir bulan, dengan pembelian obligasi yang turun dari 15 miliar euro ($ 17 miliar) sebulan ke titik nol. Sementara itu, di tengah ketidakpastian Brexit yang sedang berlangsung, Bank Sentral Inggris belum mengatakan kapan program QE-nya akan berakhir, meskipun suku bunga telah dinaikkan sedikit.
Federal Reserve terakhir menaikkan suku bunga acuannya pada Desember, dari 2,25 persen menjadi 2,5 persen. UBS mengatakan pihaknya memperkirakan suku bunga AS akan naik 100 basis poin, ke level 3,5% pada akhir 2019. Ditambahkan juga bahwa tingkat pengangguran di AS yang rendah juga dapat meningkatkan risiko inflasi yang lebih tinggi, yang pada gilirannya bisa memicu kenaikan suku bunga yang lebih cepat, demikian UBS dalam proyeksinya.
Analis Vibiznews melihat bahwa kenaikan bunga the Fed dan bank-bank sentral global diperkirakan akan menjadi motor dari kenaikan suku bunga secara global, termasuk Bank Indonesia. BI sendiri tercatat telah menaikkan suku bunganya, BI 7 Day Repo Rate, enam kali di tahun 2018, dari 4,25% menjadi 6,00%. Diprediksi, kemungkinan di tahun 2019 ini BI 7 Day Repo Rate akan menyentuh setidaknya level 6,50% atau lebih. Ada beberapa analis bahkan memasang angka perkiraan 7% untuk suku bunga dari BI ini.
BI memperkirakan, di awal tahun ini, bahwa kemungkinannya the Fed akan menaikkan suku bunganya di tahun 2019 sebanyak dua kali. Dari perkiraan BI ini, maka analis Vibiznews lebih melihat kemungkinan BI 7 Day Repo Rate di level 7% pada akhir tahun ini. Skenario bisa berubah bila fluktuasi nilai mata uang rupiah bergejolak tertekan lagi.
Itu sebabnya, di tahun 2019 ini, selain prospek ekonomi, faktor politik harus terjaga kondusif di periode tahun politik ini, supaya tidak membangkitkan sentimen negatif bagi rupiah kita nantinya.
Alfred Pakasi/VBN/MP Vibiz Consulting Group
Editor: Asido