(Vibiznews – Property) – Bisnis dan investasi properti khususnya di aset apartemen tampaknya masih belum cerah, bahkan cenderung meredup. Situasi pasar properti apartemen yang sempat “booming” di periode tahun 2011 – 2015, sudah berubah. Apartemen tidak atau belum lagi menjadi pilihan investasi yang menarik dewasa ini. Sejumlah aset lain, dengan tingkat risiko lebih stabil dan aman, sekarang menjadi preferensi masyarakat.
Siklus pasar properti yang cenderung “soft”, sebagai koreksi setelah melewati fase “peak” pada 2013 – 2014, telah menekan baik pasokan maupun yield investasi properti, khususnya pada aset apartemen. Menengok ke belakang, pada era tahun 2011 hingga 2014, kenaikan rata-rata harga apartemen mencapai 16 persen per tahun. Namun, sejak 2015 sampai akhir 2018 ini kenaikan harga tinggal sekitar 5,5 persen per tahun, bahkan ada yang hanya sekitar 3 persen.
Kondisi tersebut memengaruhi minat para investor dalam membeli properti. Mereka cenderung memilih untuk menunda membeli apartemen karena imbal hasil investasi atau yield yang dianggap kurang menarik.
Colliers International Indonesia kembali merilis review pasar propertinya. Disebutkan bahwa rendahnya minat investasi pada hunian apartemen didorong imbal hasil (yield) lebih kecil dari produk SBN maupun deposito. Hal itu berdampak terhadap tingkat penjualan apartemen yang semakin melemah, demikian disampaikan Associate Director Research Colliers Ferry Salanto kepada media (9/01).
Imbal hasil yang ditawarkan dalam bisnis apartemen saat ini disebutkan hanya sebesar 5,50 persen. Angka tersebut praktisnya lebih kecil dibanding keuntungan yang ditawarkan Sukuk Ritel terbitan pemerintah seperti seri SBR004 yang menawarkan imbal hasil sebesar 7,10 persen.
Begitu juga SBN seri ORI15 yang menawarkan imbal hasil 7,00 persen, serta produk deposito yang memiliki tenor antara 1 bulan hingga 1 tahun dengan imbal hasil sekitar 6,50 persen.
Sebagai perbandingannya, imbal hasil apartemen pada tahun 2013 mencapai 10,20 persen, di atas bunga deposito saat itu yang hanya 6,39 persen.
Laporan Colliers International Indonesia di antaranya menyebutkan sepanjang tahun 2018 terdapat 17.524 unit apartemen. Jumlah ini meningkat 116% dibanding pasokan di tahun 2017. Padahal rata-rata tingkat serapan hunian apartemen 86,9%, cenderung stagnan meski jumlah proyek baru tidak banyak dan beberapa stimulus telah diberikan pemerintah. Adapun secara tahunan, pasokan hunian apartemen tumbuh 9,2% year on year (yoy), sedangkan tingkat serapannya hanya 1% yoy.
Analis Vibiznews melihat bahwa bagaimanapun sasaran dari investasi adalah yield atau imbal hasilnya. Sebenarnya untuk aset properti ada dua target investasinya. Pertama, capital appreciation, yaitu kenaikan harga aset seiring berjalannya waktu. Dan kedua, yield yaitu bila aset tersebut disewakan.
Bila investasi apartemen kurang menarik kenaikan harga jualnya kembali, ditambah sulitnya untuk disewakan karena pasar yang over-supply, maka wajar bila masyarakat menggeserkan preferensi aset investasinya.
Pilihan aset di SBN, Sukuk, atau deposito dengan suku bunga yang di atas yield apartemen memang menjadi lebih menarik. Bukan hanya karena yield yang lebih tinggi, tetapi juga tingkat risikonya yang lebih rendah karena penerbitnya adalah pemerintah, atau bank yang memiliki skema penjaminan.
Bagaimanapun, di dalam industri properti siklus recovery akan datang juga. Tahun 2019 ini, khususnya paska pilpres, atau mulai tahun 2020, diperkirakan akan memberi ruang bagi fase recovery. Strategi pembangunan infrastruktur yang gencar dan di seluruh negeri oleh Presiden Jokowi pastinya akan segera memetik dampak positifnya. Dan, satu industri yang punya korelasi sangat kuat dengan pembangunan infrastruktur, adalah properti.
Alfred Pakasi/VBN/MP Vibiz Consulting Group
Editor: Asido