Prospek Investasi Obligasi di 2022

1161

(Vibiznews – Bonds & Mutual Fund) – Program Pengungkapan Sukarela (PPS) atau yang awam disebut Tax Amnesty Jilid II rencananya digelar 1 Januari 2022 hingga 30 Juni 2022. Dalam program tersebut, wajib pajak (WP) berkesempatan untuk repatriasi harta dari luar negeri ke dalam negeri, dan juga diinvestasikan dalam Surat Berharga Negara (SBN) dan hilirisasi Sumber Daya Alam (SDA) dan energi terbarukan.

Dengan adanya kesempatan untuk repatriasi harta dari luar negeri ke dalam negeri dan dapat diinvestasikan dalam Surat Berharga Negara (SBN), hal ini tentu membawa dampak positif terhadap pasar obligasi Indonesia, yaitu berkurangnya volatilitas pasar SBN Indonesia. Apalagi, dana repatriasi yang diinvestasi ini pasti memiliki jangka waktu, alias tidak sedinamis dana yang masuk dari investor asing yang biasanya sangat tergantung dengan sentimen global.

Dengan kata lain, masuknya dana repatriasi ini bisa menambah ketahanan pasar obligasi di tengah ketidakpastian yang timbul akibat tapering off dari bank-bank sentral negara lain dan juga peningkatan suku bunga kebijakan mereka.

Berbagai pakar ekonomi mengatakan bahwa kinerja instrument investasi sudah cukup ideal karena mendekati target awal tahun, misalnya kinerja IHSG yang bisa mencapai level dua digit padahal pada pertengahan tahun, IHSG sempat anjlok akibat ledakan kasus Covid-19, namun Akhirnya kinerjanya bisa membaik dan ditutupi mencapaia 10% pada akhir tahun ini, inline dengan target awal tahun.

Head of Investment Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana juga meyakini hal yang serupa. Dia menambahkan, tahun ini juga menjadi fenomena baru karena kinerja IHSG justru didorong oleh saham-saham yang dari kapitalisasi sebenarnya kecil, tapi karena pertumbuhan kinerjanya sangat tinggi, pada akhirnya bisa menopang IHSG.

Fenomena lainnnya adalah tahun ini juga masih jadi periode yang sulit bagi beberapa sektor karena kinerjanya yang masih tertekan oleh pandemi Covid-19. Sementara untuk pasar obligasi, solidnya kinerja obligasi korporasi tidak terlepas dari minimnya volatilitas yang menimpa instrumen ini.

Hal yang berbeda justru terjadi pada obligasi negara yang relatif lebih volatile sehingga kinerjanya hanya berada di kisaran 5%. Namun, Wawan menyebut kinerja tersebut juga sudah cukup ideal mengingat pasar SBN diterpa sentimen tapering dan wacana kenaikan suku bunga acuan sepanjang tahun ini.

Menyambut tahun depan, sentimen seperti tax amnesty dan implementasi Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) juga akan jadi sentimen positif. Hanya saja, kenaikan suku bunga AS pada tahun depan akan jadi tantangan karena akan ikut membuat Bank Indonesia turut naikkan suku bunga acuan.

Namun, diprediksi, BI hanya akan menaikkan sebanyak 50 basis poin dan itu pun dilakukan di akhir tahun. Sehingga dinilai tidak akan mengganggu pertumbuhan ekonomi tahun depan.

Kesimpulannya prospek pemulihan ekonomi masih akan mendorong tren positif kinerja IHSG, obligasi korporasi & obligasi negara. Menurut Analis Vibiz Research, tahun 2020 merupakan fase pandemi, kemudian 2021 fase pemulihan dan dilanjutkan fase normalisasi pada pasar global dan akselerasi di tahun 2022.

Proses akselerasi ini pada akhirnya akan menjadi katalis positif untuk instrumen saham dan pada akhirnya akan membuat saham jadi kelas aset yang unggul dibanding obligasi. Walaupun para pelaku ekonomi diharapkan akan lebih agresif untuk melakukan ekspansi dan mencari pembiayaan dengan menerbitkan obligasi korporasi, keputusan The Fed menaikkan suku bunga acuan bisa menjadi katalis negatif untuk pasar obligasi.

“Obligasi korporasi secara imbal hasil masih akan tetap tinggi di tahun depan, namun risikonya juga lebih tinggi dibanding obligasi negara. Pasar keuangan masih berpotensi mengalami volatilitas yang tinggi seiring dengan kebijakan tapering dan perubahan suku bunga dari the Fed maupun US Treasury,” imbuhnya.

Analis Vibiz Research memproyeksikan IHSG pada tahun depan bisa mencapai level 7.300 dan 7.500.

Mempertimbangkan hal tersebut, maka investor diharapkan untuk memanfaatkan momentum diversifikasi guna memaksimalkan investasi pada tahun mendatang. Dengan laju pertumbuhan kredit yang masih relatif rendah dan imbal hasil obligasi yg menarik, momentum ini bisa dimanfaatkan para investor untuk masuk pada reksadana yang memiliki unsur obligasi.

Lalu, ketika momentum kenaikan suku bunga dan tapering dari The Fed, investor bisa memanfaatkannya untuk masuk pada produk reksa dana pasar uang. Namun setelah ekonomi berangsur pulih, investor bisa langsung memanfaatkan momentum untuk masuk pada reksa dana saham.

 

Belinda Kosasih/ Partner of Banking Business Services/Vibiz Consulting

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here