(Vibiznews – Bonds & Mutual Fund) – Pasar obligasi Indonesia dibayangi kenaikan suku bunga. Banyak yang memperkirakan Bank Indonesia (BI) akan segera menaikkan suku bunga karena inflasi yang merangkak naik.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi di bulan Juni 2022 tercatat di level 4,35% secara year on year (yoy), Ini yang tertinggi sejak Juni 2017 silam.
Level tersebut juga berada melebihi target tahunan Bank Indonesia (BI) di angka 3% (+1%). Pelaku pasar banyak yang memperkirakan kenaikan suku bunga sudah di depan mata.
Apa pendapat para pakar ekonomi tentang kenaikan suku bunga?
Senior Economist Samuel Sekuritas Fikri C Permana mengatakan, BI harus menaikkan suku bunga acuan pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) Juli ini.
Menurutnya, ada beberapa alasan yang mendasari BI harus menaikkan suku bunga:
• inflasi yang sudah di atas target,
• pelemahan yield SBN,
• terjadinya capital outflow di pasar keuangan,
• hingga rupiah yang pelemahannya semakin dekat ke Rp 15.000.
• bank sentral global juga sudah agresif menaikkan suku bunga dan membuat spread dengan Indonesia semakin menyempit.
Jadi kenaikan suku bunga BI7DRR justru diperlukan dan bisa menjadi hal yang positif.(Sumber Kontan.co.id, Selasa (5/7)).
Menurut Fikri, naiknya BI7DRR akan membuat pergerakan rupiah lebih terjaga dan yield SBN juga bisa lebih tertahan. Hanya saja, yield SBN yang di bawah 10 tahun berpotensi tertekan ketika suku bunga resmi naik. Tapi, secara keseluruhan hal tersebut bisa memberi dampak positif ke investor domestik karena stabilnya rupiah dan yield.
Sementara Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas Ramdhan Ario Maruto justru melihat BI belum akan menaikkan suku bunga pada Juli ini.
Ia mengacu pernyataan Gubernur BI Perry Warjiyo yang menyebut akan mengutamakan kebijakan moneter lainnya terlebih dahulu sebelum menaikkan suku bunga acuan.
Ramdhan memperkirakan, kenaikan suku bunga berpotensi baru akan terjadi pada Agustus mendatang. Ia sendiri meyakini menaikkan suku bunga acuan adalah hal yang harus segera dilakukan sebagai penyeimbang suku bunga bank bank sentral lainnya.
“Kemungkinan, suku bunga naiknya hanya akan 25 bps karena inflasi Indonesia belum setinggi inflasi global. Dampaknya, pasar obligasi mungkin akan tertekan, tapi tidak akan terlalu lama mengingat fundamental makro ekonomi Indonesia masih cukup solid,” tambah Ramdhan.
Ramdhan menilai, downside di pasar SBN saat ini sudah cenderung terbatas mengingat posisi asing di SBN yang sudah semakin minim.
Kesimpulannya, tidak akan ada outflow besar-besaran yang pada akhirnya bisa menekan yield SBN lebih jauh. Oleh karena itu, menurutnya penting BI menstabilkan pasar sehingga bisa membuat investor domestik lebih confidence.
Proyeksi ke depan bagaimana?
Melihat kondisi terkini, sentimen utama yang akan pengaruhi pasar obligasi adalah pergerakan inflasi. Hal ini akan menentukan langkah berbagai bank sentral ke depannya. Jika inflasi bisa diredam dan terkendali, maka bank sentral tidak perlu lagi agresif.
Menurut Fikri, skenario terburuk untuk yield SBN acuan 10 tahun akan bergerak ke 8,2% pada akhir tahun nanti, tapi untuk skenario optimistis bisa ke 7,4%. Ia pun menyebut rentang tengah yield SBN akan ada di 7,8%. “
Ia memperkirakan, skenario terburuk untuk yield SBN acuan 10 tahun akan bergerak ke 8,2% pada akhir tahun nanti, tapi untuk skenario optimistis bisa ke 7,4%. Ia pun menyebut rentang tengah yield SBN akan ada di 7,8%.
Sementara Ramadhan memproyeksikan, skenario terburuknya akan ada di kisaran 7,9-8,0%. Sedangkan untuk skenario optimistis ada di kisaran 7% jika investor asing memutuskan untuk kembali masuk ke pasar SBN lagi.
Menurut Analis Vibiz Research, Bank Indonesia terus mewaspadai risiko tekanan inflasi ke depan, khususnya terkait perkembangan harga komoditas global dan pangan akibat invasi Rusia-Ukraina.
BI juga menilai rilis data inflasi inti Mei masih tergolong rendah. Kenaikan subsidi energi oleh pemerintah yang didukung pembiayaan BI akan tetap mendorong terkendalinya inflasi di Indonesia.(Laporan Perkembangan Indikator Stabilitas Nilai Rupiah (24 Juni 2022) Sehingga, BI berencana untuk tidak buru-buru menaikkan suku bunga bulan depan, karena fundamental ekonomi Indonesia masih stabil.
Hal lain yang harus diwaspadai adalah sentimen seperti pengetatan moneter The Fed serta risiko inflasi global di beberapa negara berpotensi akan memberikan tekanan terhadap pasar saham maupun obligasi.
Terkait outlook pasar obligasi saat ini, pergerakannya diperkirakan masih akan fluktuatif sejalan dengan tren kenaikan suku bunga global dan inflasi tinggi. Berbagai kebijakan yang ditempuh pemerintah saat ini belum terlalu mengurangi tekanan di pasar obligasi.
Pelaku pasar masih tetap waspada akan peluang kenaikan suku bunga The Fed maupun BI, yang bisa menjadi sentimen negatif bagi yield SBN.
Jadi sebaiknya investor masih perlu berhati-hati terlebih dahulu dan wait and see dengan kondisi saat ini.
Belinda Kosasih/ Partner of Banking Business Services/Vibiz Consulting