(Vibiznews – Economy & Business) – Saat menyampaikan keputusan Dewan Gubernur Bank Indonesia untuk menaikkan suku bunga acuan BI7DRR, Gubernur BI menyampaikan juga beberapa hal penting.
Stabilitas nilai tukar Rupiah tetap terjaga di tengah meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global.
Nilai tukar pada 21 September 2022 terdepresiasi 1,03% (ptp) dibandingkan dengan akhir Agustus 2022. Perkembangan nilai tukar yang tetap terjaga tersebut ditopang oleh pasokan valas domestik dan persepsi positif terhadap prospek perekonomian domestic. Serta langkah-langkah stabilisasi Bank Indonesia.
Nilai tukar Rupiah sampai dengan 21 September 2022 terdepresiasi 4,97% (ytd) dibandingkan dengan level akhir 2021. Relatif lebih baik dibandingkan dengan depresiasi mata uang sejumlah negara berkembang lainnya, seperti India 7,05%, Malaysia 8,51%, dan Thailand 10,07%.
Ke depan, Bank Indonesia terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah sesuai dengan nilai fundamentalnya. Hal ini untuk mendukung upaya pengendalian inflasi dan stabilitas makroekonomi.
Tekanan inflasi meningkat didorong oleh masih tingginya harga energi dan pangan global, serta dampak dari penyesuaian harga BBM di dalam negeri.
Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) Agustus 2022 tercatat sebesar 4,69% (yoy). Seiring dengan meningkatnya inflasi kelompok harga diatur Pemerintah (administered prices) yang sebesar 6,84% (yoy) dan inflasi inti yang menjadi 3,04% (yoy). Sementara itu, inflasi kelompok pangan bergejolak (volatile food) menurun menjadi 8,93% (yoy) sejalan dengan peningkatan pasokan dari daerah sentra produksi.
Tekanan inflasi IHK diprakirakan meningkat, didorong oleh penyesuaian harga BBM subsidi di tengah masih tingginya harga energi dan pangan global. Inflasi inti dan ekspektasi inflasi diprakirakan meningkat akibat dampak lanjutan (second round effect) dari penyesuaian harga BBM. Dan tentu saja menguatnya tekanan inflasi dari sisi permintaan.
Berbagai perkembangan tersebut diprakirakan mendorong inflasi tahun 2022 melebihi batas atas sasaran 3,0±1%. Itu sebabnya diperlukan sinergi kebijakan yang lebih kuat antara Pemerintah Pusat dan Daerah dengan Bank Indonesia. Baik dari sisi pasokan maupun sisi permintaan untuk memastikan inflasi kembali ke sasarannya pada paruh kedua 2023.
Belinda Kosasih/ Partner of Banking Business Services/Vibiz Consulting