(Vibiznews – Economy & Business) – Kondisi perekonomian global dibayangi ketidakpastian yang meningkat dengan kecenderungan risiko pertumbuhan yang melambat. Dan kebijakan suku bunga moneter di negara maju yang lebih tinggi.
Pertumbuhan ekonomi global diprakirakan sebesar 2,7% (yoy) dengan risiko perlambatan terutama di Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Di AS, tekanan inflasi masih tinggi terutama karena keketatan pasar tenaga kerja.
Sementara kondisi ekonomi yang cukup baik dan tekanan stabilitas sistem keuangan (SSK) yang mereda. Sehingga mendorong kemungkinan kenaikan Federal Funds Rate (FFR) ke depan.
Kebijakan moneter juga masih ketat di Eropa, sedangkan di Jepang masih longgar. Sementara itu, di Tiongkok pertumbuhan ekonomi juga tidak sekuat prakiraan di tengah inflasi yang rendah sehingga mendorong pelonggaran kebijakan moneter.
Pemulihan ekonomi di negara berkembang lain, seperti India, tetap kuat didorong oleh permintaan domestik dan ekspor jasa. Kondisi ekonomi di negara maju dan berkembang tersebut mendorong nilai tukar dolar AS cenderung melemah terhadap mata uang negara maju. Tetapi menguat terhadap mata uang negara berkembang.
Perkembangan tersebut memerlukan penguatan respons kebijakan untuk memitigasi risiko rambatan terhadap ketahanan eksternal di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap baik didukung oleh permintaan domestik dan positifnya kinerja ekspor.
Kenaikan konsumsi rumah tangga berlanjut didorong oleh terus naiknya mobilitas, membaiknya ekspektasi pendapatan, dan terkendalinya inflasi. Investasi juga tetap kuat terutama investasi nonbangunan sejalan dengan kinerja ekspor yang positif dan berlanjutnya hilirisasi.
Kinerja pariwisata juga membaik sejalan dengan kenaikan kunjungan wisatawan mancanegara. Perbaikan ekonomi Indonesia dikonfirmasi oleh hasil survei Bank Indonesia tentang keyakinan konsumen yang meningkat dan penjualan eceran yang tumbuh positif. Serta indikator dini Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur yang masih berada di zona ekspansi.
Ke depan, pertumbuhan ekonomi 2023 diprakirakan tetap berada dalam kisaran proyeksi Bank Indonesia pada 4,5-5,3%. Bank Indonesia akan terus memperkuat sinergitas stimulus fiskal Pemerintah dengan stimulus makroprudensial Bank Indonesia untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, khususnya dari sisi permintaan.
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia didukung oleh:
Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) yang positif diprakirakan berlanjut didukung transaksi berjalan yang diprakirakan terjaga sehat. Yaitu dalam kisaran surplus 0,4% sampai dengan defisit 0,4% dari PDB..
Transaksi berjalan triwulan II 2023 diprakirakan surplus didukung oleh berlanjutnya surplus neraca perdagangan, dimana sampai dengan Mei 2023 tercatat sebesar 4,4 miliar dolar AS. Sementara itu, aliran masuk modal asing dalam bentuk portofolio pada triwulanan II 2023 sampai dengan 20 Juni 2023 masih mencatat net inflows. Yaitu sebesar 0,13 miliar dolar AS, meskipun pada Juni 2023 tercatat outflows sebesar 0,87 miliar dolar AS. Hal ini akibat peningkatan ketidakpastian pasar keuangan global.
Nilai tukar Rupiah terkendali sejalan dengan kebijakan stabilisasi yang ditempuh Bank Indonesia.
Ketidakpastian pasar keuangan global menyebabkan nilai tukar Rupiah pada Juni 2023 (sampai dengan 21 Juni 2023) secara rerata sedikit melemah sebesar 0,56%. Dibandingkan dengan rerata kurs Mei 2023.
Namun demikian, Rupiah secara point-to-point, baik dibandingkan dengan akhir Mei 2023 maupun akhir tahun 2022, menguat masing-masing sebesar 0,30% dan 4,17%. Dengan perkembangan tersebut, penguatan Rupiah dibandingkan dengan level akhir tahun 2022 lebih baik. Dari apresiasi Rupee India dan Peso Filipina masing-masing sebesar 0,85% dan 0,15% sedangkan Thai Baht mencatat depresiasi 0,70%.
Ke depan, Bank Indonesia memprakirakan apresiasi nilai tukar Rupiah berlanjut ditopang oleh surplus transaksi berjalan dan aliran masuk modal asing. Hal ini seiring prospek pertumbuhan ekonomi yang kuat, inflasi yang rendah, serta imbal hasil aset keuangan domestik yang menarik.
Bank Indonesia terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah khususnya melalui triple intervention dan twist operation. Ini untuk mengendalikan inflasi barang impor (imported inflation) dan memitigasi risiko rambatan ketidakpastian pasar keuangan global.
Operasi moneter valas terus diperkuat, termasuk optimalisasi TD Valas DHE serta penambahan frekuensi dan tenor lelang TD Valas jangka pendek.
Tekanan inflasi menurun ke dalam sasaran 3,0±1% lebih cepat dari prakiraan.
Inflasi IHK pada bulan Mei 2023 tercatat 4,00% (yoy) atau berada di batas atas sasaran 3,0±1%. Penurunan inflasi terjadi di semua kelompok.
Inflasi inti Mei 2023 tercatat 2,66% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan inflasi pada bulan sebelumnya sebesar 2,83% (yoy). Ini sejalan dengan berakhirnya periode HBKN Idulfitri, menurunnya harga komoditas global, dan rendahnya ekspektasi inflasi.
Inflasi kelompok volatile food tercatat 3,28% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan inflasi bulan sebelumnya yang sebesar 3,74% (yoy). Inflasi kelompok juga menurun dari 10,32% (yoy) menjadi 9,52% (yoy).
Menurunnya inflasi ke dalam sasaran sebagai hasil positif dari konsistensi kebijakan moneter serta eratnya sinergi pengendalian inflasi. Antara BI dan Pemerintah (Pusat dan Daerah) dalam TPIP dan TPID melalui penguatan GNPIP di berbagai daerah. Ke depan, Bank Indonesia meyakini inflasi tetap terkendali di dalam sasaran 3,0±1% pada sisa tahun 2023.
Belinda Kosasih/ Partner of Banking Business Services/Vibiz Consulting