(Vibiznews – Bonds & Mutual Fund) – Reksadana pendapatan tetap siap menjadi primadona di tahun 2024. Obligasi pemerintah dan obligasi korporasi diperkirakan masih menawarkan imbal hasil lumayan tinggi.
Perlu diketahui, di sepanjang tahun 2023 lalu, rata-rata produk reksadana pendapatan tetap mencetak return tertinggi sebesar 4,73% year on year (YoY).
Disusul reksadana pasar uang dengan return sebesar 3,94% YoY, lalu reksadana campuran 0,86%. Sedangkan reksadana saham terpantau mencatat performa negatif yaitu minus 3.73%YoY.
Mengapa reksa dana pendapatan tetap dapat memberikan return yang lumayan tinggi?
Menurut Analis Vibiz Research karena likuiditas domestik cukup berlimpah maka produk-produk reksa dana pendapatan tetap dapat menawarkan pemberian imbal hasil tinggi.
Berdasarkan data BI pada November 2023, rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) tetap terjaga tinggi, yaitu 26,04%. Likuiditas perbankan yang tetap memadai tersebut didukung oleh kebijakan makroprudensial akomodatif, antara lain implementasi Kebijakan Insentif Likuditas Makroprudensial (KLM).
Total tambahan likuiditas dari insentif KLM mencapai Rp163,3 triliun per Desember 2023 atau meningkat sebesar Rp55 triliun sejak penerapan KLM pada 1 Oktober 2023.
Perbankan masih mengakumulasi obligasi Indonesia, ditambah juga investor yang aktif menjaring obligasi sebagai aset berisiko rendah. Namun aset kelas obligasi dinilai masih menarik karena imbal hasil masih lebih tinggi daripada bunga deposito.
Berdasarkan laporan Bank Indonesia (BI), suku bunga deposito bank dengan tenor atau jangka waktu 1 bulan pada November 2023 tercatat sebesar 4,46%.
Sedangkan return yang bisa didapatkan produk reksadana pendapatan tetap rata-rata sekitar 5%-6% di tahun 2024.
Sementara itu, aset berupa obligasi negara lebih dimanfaatkan secara taktikal, yield SUN 10 tahun diperkirakan berada dalam rentang 6.25%-6.5%.
Di sisi lain, reksadana kelas aset lainnya tengah mengalami penurunan kinerja (underperform). Aset-aset berbasis saham tidak cukup laku, sehingga aset obligasi lebih diminati karena dianggap tidak cukup volatil.
Meski sebenarnya pasar obligasi global tertekan, namun pasar surat utang tanah air masih relatif lebih baik performanya daripada negara lain.
Karena keputusan BI untuk mempertahankan suku bunga acuan 6% mengakibatkan pada selisih yield obligasi AS 10 tahun dengan SBN 10 tahun Indonesia yang semakin melebar. Hal inilah yang menarik investor untuk melakukan investasi pada surat utang pemerintah.
Jadi surat utang pemerintah ataupun surat utang korporasi sama-sama menawarkan imbal hasil menarik di tahun 2023 lalu.
Tetapi surat utang korporasi dinilai lebih stabil, dibandingkan surat utang pemerintah yang sempat fluktuatif ke level 7,%, meski akhirnya ditutup pada posisi 6.5% di akhir tahun untuk yield SUN tenor 10 tahun.
Diproyeksikan reksadana pendapatan tetap masih akan cukup menarik di tahun 2024. Karena The Fed diperkirakan baru menurunkan suku bunga di pertengahan tahun ini. Penurunan suku bunga the Fed ini berpengaruh positif pada pasar obligasi di Indonesia.
Kesimpulannya baik obligasi korporasi ataupun obligasi pemerintah masih akan memberikan tingkat pengembalian (return) positif. Namun obligasi korporasi lebih diunggulkan karena kupon yang memang lebih tinggi dan credit risk tahun ini diperkirakan jauh lebih baik dengan melihat prospek pertumbuhan kinerja para emiten.
Namun faktor risiko perlu dicermati salah satunya pemilihan umum (pemilu) yang dapat menahan aktivitas investor. Jadi pasar surat utang domestik cukup konservatif dengan potensi penurunan yield terbatas di tahun 2024.
Belinda Kosasih/ Partner of Banking Business Services/Vibiz Consulting