(Vibiznews – Bonds & Mutual Fund) – Pasar obligasi pemerintah Indonesia terpantau anjlok pada pekan lalu, sejalan dengan pergerakan pasar keuangan RI lainnya.
Sepanjang pekan lalu, imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN) acuan tenor 10 tahun meningkat 5,1 basis poin (bp) menjadi 6,674%. Angka ini melonjak dari 6,623% pada perdagangan dua pekan lalu.
Sebagai informasi, imbal hasil yang naik menandai harga SBN yang jatuh karena investor menjual SBN.
Adapun sepanjang tahun ini, yield SBN tenor 10 tahun sudah mengalami kenaikan yang signifikan yakni mencapai 13,8 basis poin.
Melonjaknya yield SBN terjadi di tengah masih tingginya yield obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS), US Treasury. Bahkan minggu lalu, yield US Treasury tenor 10 tahun juga mengalami kenaikan yakni sebesar 1,4 bps menjadi 4,16%.
Mayoritas ekonom menyoroti data ekonomi AS sebagai salah satu penyebab melonjaknya yield SBN, US Treasury, bahkan pasar keuangan RI lainnya.
Sebagai informasi, AS melaporkan ekonomi mereka pada kuartal IV-2023 tumbuh sebesar 3,3% (year-on-year/yoy). Angka tersebut jauh lebih tinggi dari ekspektasi 2% dari para ekonom yang disurvei oleh Dow Jones.
Mereka menggarisbawahi berlanjutnya ketahanan ekonomi meskipun ada kenaikan suku bunga dari bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed).
Masih kencangnya ekonomi AS ini menjauhkan harapan pelaku pasar untuk melihat pemangkasan suku bunga The Fed. Pelaku pasar kini melihat pemangkasan suku bunga kini bergeser ke Mei dari sebelumnya pada Maret 2024.
Hal ini juga dikonfirmasi oleh ekonom senior, Chatib Basri yang memprediksi Federal Reserve AS akan mulai menurunkan Fed Fund Rate (FFR) pada semester II-2024.
Namun demikian, penurunan ini akan dilakukan The Fed dengan hati-hati.Fed akan turunkan tingkat bunga 2-3 kali di paruh kedua 2024, challenge-nya adalah defisit di AS masih besar.
Jadi akan ada kebutuhan bond issuance yang cukup besar,” paparnya selepas acara IIF, Senin (29/1/2024) (Sumber: CNBC 29/1/2024).
Defisit AS saat ini mencapai US$ 1,7 triliun pada 2023, meningkat 23% dari posisi tahun 2022. Defisit ini sejalan dengan penerimaan AS yang turun US$457 miliar atau sekitar 9%.
Ketika AS merilis surat utang (bond) cukup besar, sementara peluang resesi mengecil, maka investor tak akan membeli surat utang AS tersebut. Karena orang enggan memegang bond lebih memilih memegang uang untuk transaksi.
Akibatnya demand bond akan turun, supply naik, maka harga bond akan jatuh dan yield akan naik. Ini yang mungkin membuat The Fed harus hati-hati dalam menurunkan tingkat suku bunga.
Jika The Fed menurunkan suku bunga, maka ini menjadi sentimen baik untuk rupiah.
Belinda Kosasih/ Partner of Banking Business Services/Vibiz Consulting