(Vibiznews – Economy & Business) Ekonomi global memasuki tahun 2025 dengan berbagai tantangan besar, mulai dari lonjakan inflasi di Amerika Serikat hingga ketidakpastian akibat kebijakan perdagangan yang semakin proteksionis. Keputusan Presiden Donald Trump untuk mempertimbangkan tarif timbal balik terhadap mitra dagang utama menambah tekanan pada pasar global, sementara kebijakan moneter yang lebih ketat di berbagai negara memperumit prospek pertumbuhan ekonomi.
Inflasi yang lebih tinggi di AS telah menekan ekspektasi pemangkasan suku bunga oleh Federal Reserve, yang pada gilirannya mempengaruhi pergerakan pasar keuangan dan nilai tukar mata uang utama. Di sisi lain, pasar negara berkembang, Eropa, menghadapi tantangan tersendiri, mulai dari tekanan inflasi hingga volatilitas harga komoditas. Ketegangan geopolitik, terutama terkait sanksi terhadap Rusia dan perang dagang AS-Tiongkok, semakin memperburuk ketidakpastian ekonomi global.
Amerika Serikat
Inflasi di Amerika Serikat meningkat signifikan pada awal tahun 2025, dengan Indeks Harga Konsumen (CPI) mencatat kenaikan tertinggi sejak Agustus 2023. Kenaikan ini didorong oleh berbagai pengeluaran rumah tangga, seperti bahan makanan, bahan bakar, dan biaya perumahan.
Dampak dari lonjakan inflasi ini membuat Federal Reserve semakin kecil kemungkinan untuk segera memangkas suku bunga, mengingat stabilitas harga masih menjadi fokus utama. Beberapa analis memperkirakan bahwa jika inflasi tetap tinggi dalam beberapa bulan ke depan, The Fed dapat mempertahankan suku bunga lebih lama atau bahkan menaikkannya kembali. Hal ini berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan biaya pinjaman, dan menekan sektor properti serta pasar tenaga kerja.
Selain itu, keputusan Presiden Donald Trump untuk mempertimbangkan tarif timbal balik terhadap mitra dagang utama semakin memperkeruh prospek ekonomi AS. Jika kebijakan ini benar-benar diterapkan, maka sektor manufaktur yang bergantung pada impor bahan baku akan terdampak, menyebabkan harga barang konsumsi meningkat lebih lanjut. Potensi balasan dari negara mitra dagang juga dapat mengurangi daya saing ekspor AS.
Di sisi lain, penurunan tajam dalam penjualan ritel pada Januari 2025 menunjukkan adanya penurunan belanja konsumen setelah periode peningkatan yang kuat di akhir tahun 2024. Faktor eksternal seperti kebakaran hutan besar di Los Angeles dan cuaca musim dingin yang parah kemungkinan turut mempengaruhi aktivitas belanja fisik. Jika tren ini berlanjut, pertumbuhan konsumsi domestik yang menjadi pendorong utama ekonomi AS bisa melambat, meningkatkan risiko resesi ringan pada paruh kedua tahun ini.
Dinamika Global
Dampak dari kebijakan perdagangan AS berpotensi menciptakan ketidakstabilan ekonomi di berbagai kawasan, terutama Asia. India dan Thailand menjadi negara yang paling rentan terhadap dampak dari kebijakan tarif timbal balik yang direncanakan AS. Hal ini disebabkan oleh ketergantungan ekspor mereka terhadap pasar AS, terutama dalam sektor tekstil, otomotif, dan elektronik.
Di sektor energi, sanksi AS terhadap kapal tanker yang membawa minyak mentah dari proyek Sakhalin di Rusia menyebabkan sekitar 6,3 juta barel minyak mentah tertahan di laut selama lebih dari seminggu. Ini menambah tekanan pada pasar energi global, terutama bagi negara-negara yang bergantung pada pasokan energi dari Rusia. Jika situasi ini terus berlanjut, harga minyak dapat mengalami kenaikan tajam, yang pada gilirannya akan meningkatkan biaya produksi dan memperparah tekanan inflasi global.
Eropa
Prancis, Mencatat penurunan tingkat pengangguran pada akhir 2024, sebuah indikator positif di tengah ketidakstabilan politik dan tantangan fiskal yang dihadapi pemerintahan Perdana Menteri Francois Bayrou. Namun, ketidakpastian politik dapat membatasi efektivitas kebijakan ekonomi yang diterapkan, mengingat pemerintahannya masih dalam posisi minoritas di parlemen.
Norwegia, Ekonomi mengalami kontraksi terbesar sejak pandemi, yang memperkuat alasan bagi bank sentral untuk mulai melonggarkan kebijakan moneter. Analis memperkirakan bahwa pemotongan suku bunga dapat dilakukan dalam beberapa bulan mendatang untuk mendukung pemulihan ekonomi, terutama di sektor energi dan industri berat yang terkena dampak perlambatan global.
Jerman, ketergantungan yang tinggi pada energi terbarukan menyebabkan ketidakpastian harga listrik. Fenomena “Dunkelflaute” atau ketiadaan tenaga surya dan angin di bulan Desember menyebabkan lonjakan harga listrik hingga lebih dari €900 per megawatt-jam, sembilan kali lipat dari rata-rata harga biasa. Ini mengindikasikan bahwa ketahanan energi Jerman masih perlu ditingkatkan melalui diversifikasi sumber daya dan peningkatan kapasitas penyimpanan energi.
Asia
China, mencatat rekor arus keluar investasi asing langsung (FDI) pada tahun 2024, dengan total penurunan sebesar $168 miliar. Hal ini menandakan kekhawatiran yang terus meningkat terkait hubungan perdagangan dengan AS dan kebijakan domestik yang kurang menarik bagi investor asing. Jika tren ini berlanjut, China mungkin harus mengambil langkah-langkah insentif untuk mempertahankan daya tarik investasi, seperti reformasi peraturan dan kebijakan fiskal yang lebih akomodatif.
Jepang, surplus neraca berjalan mencapai rekor tertinggi, terutama karena pelemahan yen yang meningkatkan nilai pengembalian investasi luar negeri. Peningkatan ini terutama berasal dari surplus pendapatan primer sebesar ¥40,2 triliun ($264 miliar) dari investasi luar negeri. Namun, pelemahan yen juga menyebabkan kenaikan harga impor, yang dapat meningkatkan tekanan inflasi domestik.
Sementara itu, Shanghai sebagai pelabuhan tersibuk di China mencatat rekor volume pengiriman barang pada Januari 2025. Lonjakan ini terjadi karena perusahaan-perusahaan China mempercepat ekspor mereka sebelum tarif AS mulai berlaku dan menjelang libur panjang domestik. Jika kebijakan tarif AS terus berlanjut, ekspor China ke AS bisa mengalami perlambatan signifikan dalam beberapa bulan mendatang.
Pasar Negara Berkembang
Di Amerika Selatan, inflasi Brasil mengalami sedikit penurunan berkat insentif energi yang sementara meredam tekanan harga. Jika kebijakan ini berhasil mengendalikan inflasi dalam jangka panjang, Bank Sentral Brasil mungkin akan mempertimbangkan pemangkasan suku bunga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Argentina juga mencatat penurunan inflasi tahunan di bawah 100% untuk pertama kalinya dalam dua tahun sejak Presiden Javier Milei mulai menerapkan kebijakan pengetatan ekonomi. Jika kebijakan ini terus memberikan hasil positif, Argentina berpotensi untuk mendapatkan kembali kepercayaan investor dan menstabilkan mata uangnya.
Pasar saham negara berkembang mengalami penguatan selama lima pekan berturut-turut karena optimisme terhadap negosiasi tarif perdagangan AS dan potensi solusi terhadap konflik Rusia-Ukraina. Sentimen risiko yang meningkat menunjukkan harapan bahwa dampak kebijakan tarif AS akan berkurang melalui perundingan dan penundaan administratif.
Secara keseluruhan, kondisi ekonomi global pada awal tahun 2025 menunjukkan ketidakpastian yang tinggi, terutama dipengaruhi oleh kebijakan perdagangan AS, kebijakan moneter global, dan ketegangan geopolitik. Meskipun ada tanda-tanda ketahanan di beberapa wilayah seperti Prancis dan Jepang, risiko perlambatan ekonomi tetap tinggi di tengah inflasi yang masih tinggi dan potensi eskalasi perang dagang. Investor dan pelaku pasar perlu mencermati perkembangan kebijakan serta data ekonomi terbaru untuk mengantisipasi pergerakan pasar di masa mendatang.
Dalam jangka panjang, stabilitas ekonomi global akan sangat bergantung pada kebijakan yang diambil oleh bank sentral utama, perkembangan hubungan perdagangan internasional, serta respons negara-negara terhadap tantangan ekonomi yang terus berkembang.



