Inflasi Awal Tahun Naik, Alarm Bahaya atau Sekadar Fluktuasi?

422
Vibizmedia Photo

(Vibiznews – Economy & Business) Inflasi terus menjadi perhatian utama bagi para ekonom, pelaku pasar, dan pembuat kebijakan di tahun 2025. Setelah mengalami tren disinflasi  ( harga barang dan jasa masih mengalami kenaikan, tetapi dengan laju yang lebih lambat daripada sebelumnya ) selama 2024.

Data terbaru menunjukkan bahwa laju kenaikan harga masih lebih tinggi dari yang diharapkan. Kenaikan Indeks Harga Konsumen (CPI) Januari 2025 yang mencapai 0,47% telah memicu kekhawatiran bahwa inflasi mungkin belum sepenuhnya terkendali. Ditambah lagi dengan kebijakan tarif baru yang diterapkan oleh pemerintahan Trump, terdapat potensi tekanan inflasi tambahan yang dapat memperumit upaya Federal Reserve dalam mencapai target inflasi 2%.

Data CPI Januari 2025, Awal yang Kurang Baik?

Pada Januari 2025, Indeks Harga Konsumen (CPI) naik 0,47%, lebih tinggi dari ekspektasi pasar. Core CPI, yang mengecualikan makanan dan energi, juga mencatat kenaikan signifikan sebesar 0,45%. Ini adalah awal tahun yang panas dan mengecewakan bagi mereka yang berharap inflasi terus melambat. Namun, apakah ini alasan untuk benar-benar khawatir?

Tetap Tenang: Satu Bulan Data Tidak Cukup Menentukan Tren

Sebagai referensi, Ketua Federal Reserve Jerome Powell menegaskan bahwa bank sentral tidak bereaksi berlebihan terhadap satu atau dua bulan data yang kurang baik. Sejarah juga menunjukkan bahwa bulan Januari sering mencatat angka inflasi yang lebih tinggi dari ekspektasi dalam beberapa tahun terakhir. Tahun lalu, inflasi yang tinggi di awal tahun berangsur menurun selama musim panas, memungkinkan Core CPI turun dari 3,9% (Desember 2023) menjadi 3,2% (Desember 2024). Artinya, inflasi yang tinggi di Januari bukanlah sinyal pasti bahwa tren disinflasi telah berakhir.

Selain itu, tekanan harga pada Januari kali ini tidak seterata tahun lalu. Lonjakan harga dalam kategori “supercore”—yang mengecualikan perumahan—lebih sempit cakupannya. Kenaikan terutama berasal dari jasa transportasi (seperti asuransi kendaraan dan tiket pesawat) serta jasa rekreasi (langganan streaming dan acara hiburan). Tahun lalu, kenaikan lebih merata di berbagai sektor, yang lebih mengkhawatirkan karena menandakan tekanan inflasi lebih luas. Ketika inflasi lebih sempit cakupannya, ada kemungkinan besar bahwa itu hanya efek musiman atau disrupsi tertentu yang tidak berkelanjutan.

PCE Inflation: Indikator Alternatif

Federal Reserve lebih memantau Personal Consumption Expenditures (PCE) sebagai indikator utama inflasi. Data PCE untuk Januari 2025 diperkirakan lebih rendah di 0,25%, terutama karena harga di sektor layanan kesehatan lebih moderat. Ini tidak berarti data CPI dapat diabaikan, tetapi menunjukkan bahwa gambaran inflasi tidak sesuram yang terlihat hanya dari data CPI.

Apakah Disinflasi Berhenti?

Namun, bukan berarti tidak ada alasan untuk waspada. Selama enam bulan terakhir (kecuali Desember), Core CPI secara konsisten berada di 0,3% atau lebih, menunjukkan bahwa tekanan inflasi belum sepenuhnya hilang. Lebih mengkhawatirkan, bahkan sebelum dilakukan penyesuaian musiman, Core CPI Januari 2025 tidak menunjukkan tanda-tanda kembali ke tren pra-pandemi. Ini menunjukkan bahwa meskipun faktor idiosinkratik berperan, kita tidak bisa mengabaikan kemungkinan bahwa disinflasi memang mulai kehilangan momentumnya.

Dengan Core CPI saat ini di 3,3% dan target Fed yang setara dengan 2,3%-2,4% dalam CPI, masih ada kesenjangan yang cukup besar untuk mencapai target. Jika inflasi tetap di level 2024, itu masih belum cukup untuk mencapai target 2%. Dalam konteks ini, awal tahun 2025 memang kurang menggembirakan, meskipun belum menjadi alasan untuk panik.

Ancaman Terbesar: Dampak Tarif pada Inflasi

Kekhawatiran utama bukan hanya data Januari, melainkan faktor eksternal seperti kebijakan perdagangan. Kebijakan tarif yang diperkenalkan oleh pemerintahan Trump berpotensi menjadi guncangan biaya yang signifikan bagi bisnis dan konsumen.

Saat ini, beberapa tarif yang sudah diberlakukan atau dalam tahap finalisasi meliputi:

  • Tarif tambahan 10% untuk semua barang impor dari Tiongkok.
  • Tarif 25% untuk impor dari Meksiko dan Kanada (ditangguhkan hingga 1 Maret).
  • Tarif 25% pada baja dan aluminium mulai 12 Maret.
  • Kajian resmi mengenai tarif timbal balik yang akan diumumkan pada 1 April.

Ancaman tarif tambahan terhadap Uni Eropa, otomotif, dan farmasi juga masih ada. Jika diterapkan, kebijakan ini dapat memberikan tekanan tambahan pada harga konsumen.

Siapa yang Menanggung Biaya Tarif?

Studi ekonomi tentang tarif Trump pada 2018-2019 menunjukkan bahwa beban tarif awalnya ditanggung oleh importir AS karena eksportir asing tidak menurunkan harga mereka. Namun, bagaimana dampaknya terhadap harga konsumen bervariasi:

  • Harga mesin cuci dan panel surya naik lebih tinggi dari tarif yang dikenakan.
  • Beberapa barang konsumen lainnya mengalami dampak minimal.

Dalam situasi saat ini, dengan inflasi yang masih tinggi, bisnis memiliki lebih banyak kekuatan untuk meneruskan kenaikan biaya kepada konsumen. Hal ini meningkatkan kemungkinan bahwa tarif baru akan lebih berdampak pada harga konsumen dibandingkan tarif era Trump sebelumnya, ketika inflasi lebih rendah.

Ekspektasi Inflasi dan Efek Psikologis

Ada tanda-tanda bahwa pasar dan konsumen sudah memperkirakan tarif akan menyebabkan inflasi lebih tinggi. Survei ekspektasi inflasi University of Michigan menunjukkan lonjakan tajam dari 3,3% (Januari) menjadi 4,3% (Februari), peningkatan terbesar dalam satu dekade.

Banyak responden menyebutkan tarif sebagai faktor utama kekhawatiran mereka, dan reaksi pasar terhadap pengumuman tarif menunjukkan bahwa ekspektasi ini sudah tertanam. Ekspektasi inflasi yang lebih tinggi bisa menjadi self-fulfilling prophecy: jika bisnis dan konsumen percaya inflasi akan naik, mereka akan menetapkan harga dan upah lebih tinggi, yang pada akhirnya benar-benar mendorong inflasi naik.

Jika The Fed menilai bahwa kenaikan inflasi akibat tarif bersifat sementara, mereka bisa memilih untuk mengabaikannya. Namun, jika ekspektasi inflasi melonjak, The Fed mungkin harus menahan diri untuk tidak menurunkan suku bunga, yang bisa berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi.

Tetap Waspada, tetapi Jangan Panik

Data CPI Januari yang lebih tinggi dari ekspektasi memang mengkhawatirkan, tetapi bukan alasan untuk panik. Ada beberapa faktor idiosinkratik yang bisa menjelaskan lonjakan tersebut, dan data PCE yang lebih moderat menunjukkan gambaran yang lebih seimbang.

Namun, risiko terbesar bukan dari data Januari itu sendiri, melainkan dari kebijakan tarif yang dapat mendorong inflasi lebih tinggi. Dalam lingkungan di mana bisnis memiliki lebih banyak kekuatan untuk menaikkan harga, dampak tarif bisa lebih besar daripada sebelumnya. Jika ekspektasi inflasi meningkat, Fed bisa kesulitan untuk tetap pada jalur pemangkasan suku bunga.

Untuk saat ini, 2025 tidak dimulai dengan baik dalam hal inflasi, tetapi masih terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa tren disinflasi telah berakhir. Kebijakan moneter dan perdagangan dalam beberapa bulan ke depan akan menjadi faktor kunci dalam menentukan arah inflasi tahun ini.