(Vibiznews – Economy & Business) Federal Reserve (The Fed) saat ini berada dalam posisi netral, menunggu arah kebijakan ekonomi yang lebih jelas di tengah berbagai ketidakpastian. Dari kebijakan perdagangan hingga inflasi, banyak faktor yang membuat bank sentral AS enggan mengambil langkah drastis. Sementara pasar berharap adanya pemangkasan suku bunga, The Fed justru lebih berhati-hati menghadapi potensi risiko seperti dampak tarif, perlambatan ekonomi, dan ketidakstabilan pasar obligasi. Apakah bank sentral ini akan bertahan dengan kebijakan saat ini, atau justru harus mengambil tindakan tegas dalam waktu dekat?
Para pejabat Federal Reserve (The Fed) sering mengatakan bahwa kebijakan moneter mereka “siap menyesuaikan” dengan berbagai kemungkinan di masa depan. Namun, kenyataannya, kebijakan mereka justru terjebak dalam posisi diam.
Presiden Fed Atlanta, Raphael Bostic, mengungkapkan bahwa ada optimisme di sektor perbankan terkait kemungkinan perubahan kebijakan pajak dan regulasi. Namun, di sisi lain, ada juga kekhawatiran besar mengenai perdagangan dan imigrasi.
“Ketidakpastian ini membuat kebijakan moneter semakin rumit,” kata Bostic.
Pernyataan ini muncul di tengah ramainya komentar dari para pejabat The Fed yang biasa disebut “Fedspeak.” Pejabat tinggi The Fed, termasuk Ketua Jerome Powell, sering mengatakan bahwa kebijakan mereka “siap menghadapi perubahan”. Namun, di balik itu, mereka juga semakin sering menyoroti risiko dari kebijakan ekonomi Presiden Donald Trump, khususnya terkait perdagangan global dan kebijakan fiskal.
The Fed The Membangun Strategi untuk Menghadapi Ketidakpastian
Kata “ketidakpastian” kini menjadi salah satu topik utama dalam diskusi The Fed. Bahkan, dalam sebuah blog, Bostic secara khusus menulis bahwa “Ketidakpastian Memerlukan Kehati-hatian dalam Pengambilan Kebijakan.”
Sehari sebelumnya, Federal Open Market Committee (FOMC)—komite yang menentukan suku bunga The Fed—merilis ringkasan pertemuan yang menyebutkan berkali-kali soal ketidakpastian yang sedang dihadapi.
Mereka menyebutkan bahwa ada ketidakpastian besar mengenai:
- Perdagangan internasional
- Imigrasi
- Kebijakan fiscal
- Regulasi ekonomi
Ketidakpastian ini mempengaruhi keputusan The Fed dalam dua aspek utama:
- Pasar tenaga kerja, yang saat ini masih stabil.
- Inflasi, yang sempat turun tetapi berisiko naik kembali jika ada ketakutan soal dampak tarif terhadap harga barang dan jasa.
Inflasi Masih Menjadi Tantangan
The Fed menargetkan inflasi di angka 2%, tetapi target ini sulit tercapai selama hampir empat tahun terakhir.
Presiden The Fed St. Louis, Alberto Musalem, mengatakan bahwa ada risiko inflasi tetap tinggi di masa depan.
“Saat ini, saya melihat inflasi bisa tetap di atas target. Skenario utama saya adalah inflasi perlahan bergerak ke 2%, tetapi ini butuh waktu. Saya juga melihat ada kemungkinan inflasi tetap tinggi sementara ekonomi melambat,” ujar Musalem.
Musalem menilai bahwa suku bunga saat ini, yang berada di kisaran 4,25% – 4,5%, masih dalam kategori “sedikit ketat”. Artinya, The Fed masih belum siap menurunkan suku bunga dalam waktu dekat.
Presiden The Fed Atlanta, Bostic, juga memperingatkan bahwa ini bukan waktunya untuk santai, karena masih ada risiko baru yang bisa mengganggu stabilitas harga.
Sementara itu, Presiden The Fed Chicago, Austan Goolsbee, yang cenderung tidak terlalu khawatir terhadap inflasi, mengingatkan bahwa dampak tarif masih belum bisa diprediksi.
“Kalau kita bicara soal tarif, semuanya tergantung pada seberapa luas kebijakan ini diterapkan dan seberapa besar dampaknya. Jika terlalu ekstrem, dampaknya bisa seperti guncangan ekonomi akibat Covid-19,” kata Goolsbee dalam wawancara dengan CNBC.
Menghadapi Tantangan yang Berat
Secara keseluruhan, risalah pertemuan The Fed menunjukkan bahwa mereka sangat berhati-hati terhadap kemungkinan guncangan ekonomi. Oleh karena itu, mereka belum siap melakukan perubahan besar dalam kebijakan suku bunga.
The Fed juga mencatat bahwa ada risiko besar dalam sistem keuangan, terutama terkait:
- Tingkat utang yang tinggi
- Kondisi perbankan yang rapuh
Ekonom ternama Mark Zandi, yang biasanya tidak terlalu pesimis, bahkan mengungkapkan kekhawatirannya terhadap kondisi pasar obligasi AS yang bernilai $46,2 triliun.
“Saya khawatir pasar obligasi bisa mengalami aksi jual besar-besaran. Sistem keuangan saat ini terasa sangat rapuh. Dealer utama tidak bisa mengimbangi jumlah utang yang beredar,” ujar Zandi.
Zandi menambahkan bahwa dengan berbagai ketidakpastian yang ada, ada kemungkinan besar bahwa dalam 12 bulan ke depan, pasar obligasi akan mengalami gejolak besar.
Dalam kondisi seperti ini, peluang The Fed untuk menurunkan suku bunga sangat kecil—meskipun pasar masih berharap ada pemotongan suku bunga sekitar 0,5% pada akhir tahun ini.
Namun, menurut Zandi, harapan itu terlalu optimistis, karena The Fed tidak akan memangkas suku bunga sebelum inflasi benar-benar kembali stabil.
“Saya tidak melihat The Fed akan memangkas suku bunga dalam waktu dekat. Saat ini, ekonomi AS masih cukup kuat, tetapi ada banyak badai yang mendekat,” kata Zandi.
The Fed Masih Berhati – Hati
Di tengah ketidakpastian yang tinggi, The Fed memilih untuk bersikap netral dan tidak terburu-buru menyesuaikan kebijakan suku bunga.
Meskipun ekonomi AS masih stabil, ancaman dari tarif, inflasi, risiko keuangan, dan kebijakan ekonomi yang tidak pasti membuat The Fed lebih berhati-hati.
Harapan pasar untuk penurunan suku bunga kemungkinan besar tidak akan terwujud dalam waktu dekat, karena The Fed ingin melihat bukti nyata bahwa inflasi benar-benar terkendali sebelum mengambil langkah apa pun.
The Fed melakukan perubahan suku bunga terakhir pada 18 Desember 2024, di mana the Fed memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin ke kisaran 4,25%-4,5% . Sebelum itu, pada 7 November 2024, The Fed juga melakukan pemangkasan suku bunga sebesar 25 basis poin, membawa suku bunga ke kisaran target baru 4,5%-4,75%