(Vibiznews – Economy & Business) Presiden Donald Trump mengumumkan “Liberation Day” pada hari Rabu, 2 April 2025, dalam sebuah acara di Rose Garden Gedung Putih yang dijadwalkan pada pukul 4 sore Eastern Time (ET), atau pukul 03.00 dini hari pagi pada tanggal 3 April 2025 WIB.
Donald Trump, mengumumkan kebijakan tarif timbal balik ( reciprocal tariff ) yang berpotensi memberikan dampak signifikan bagi perekonomian global, termasuk Indonesia. Kebijakan ini akan mulai berlaku pada 5 April 2025 dan menetapkan tarif minimum sebesar 10% untuk semua barang impor yang masuk ke AS.
Namun, negara-negara tertentu, termasuk Indonesia, akan dikenakan tarif tambahan yang lebih tinggi. Indonesia akan dikenakan tarif sebesar 32%, yang berpotensi merugikan sektor ekspor Indonesia yang bergantung pada pasar AS yang akan diberlakukan mulai tanggal 9 April 2025
AS Kenakan Tarif Timbal Balik 32% untuk Indonesia, Ini Alasannya
Alasan utama pemberlakuan tarif ini berkaitan dengan neraca perdagangan antara AS dan Indonesia yang dianggap merugikan pihak AS. Berdasarkan data Gedung Putih yang dirilis oleh Reuters pada 3 April, Indonesia termasuk dalam daftar negara dengan defisit perdagangan terhadap AS. Artinya, AS lebih banyak mengimpor barang dari Indonesia dibandingkan jumlah ekspor yang dikirimkan ke Indonesia.
Menurut data tersebut, defisit perdagangan AS dengan Indonesia mencapai USD 18 miliar. Kondisi ini membuat pemerintah AS merasa perlu menerapkan tarif tinggi sebagai upaya untuk mengurangi ketidak seimbangan perdagangan dan melindungi industri dalam negerinya.
Selain defisit perdagangan, faktor lain yang menjadi pertimbangan AS adalah kebijakan perdagangan Indonesia yang dianggap menghambat produk-produk AS. Menurut data yang dirilis bersamaan dengan pengumuman tarif, Gedung Putih menyebut bahwa Indonesia menetapkan tarif impor 64% untuk barang dari AS.
Bagaimana Tarif Ini Dibandingkan dengan Negara Lain?
Di kawasan ASEAN, tarif yang dikenakan pada Indonesia (32%) lebih tinggi dibandingkan dengan Malaysia (24%) dan Filipina (17%), namun lebih rendah daripada Thailand (36%). Di sisi lain, Kamboja (49%) memiliki tarif timbal balik tertinggi, disusul oleh Laos (48%), Vietnam (46%), dan Myanmar (44%).
Negara-negara ini terkena tarif yang lebih tinggi dari batas minimum 10% karena dianggap memiliki kebijakan perdagangan yang merugikan AS.
Adapun dampak kebijakan tarif timbal balik Trump terhadap Indonesia.
- Dampak terhadap Rupiah: Depresiasi yang Meningkat
Salah satu dampak langsung dari kebijakan tarif ini adalah potensi depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Sejak kabar mengenai kebijakan tarif ini mulai beredar, rupiah telah menunjukkan kecenderungan melemah. Saat ini, nilai tukar rupiah berada di sekitar Rp 16.700 per dolar AS, dan banyak analis memprediksi bahwa rupiah bisa menembus Rp 17.000 per dolar AS dalam waktu dekat.
Penyebab utama melemahnya rupiah ini adalah ketidakpastian ekonomi global yang ditimbulkan oleh perang dagang. Investor, baik domestik maupun internasional, cenderung beralih ke aset yang lebih aman, seperti dolar AS, untuk menghindari volatilitas pasar. Hal ini membuat permintaan terhadap dolar meningkat, sehingga menyebabkan depresiasi rupiah. Bagi Indonesia, pelemahan rupiah memiliki dampak yang cukup besar, terutama pada sektor-sektor yang bergantung pada impor, karena biaya impor barang dan bahan baku akan semakin mahal.
Ekonom dari PT Bank Danamon, Hosianna Evalita Situmorang, mengungkapkan bahwa depresiasi rupiah yang berlanjut bisa menambah beban bagi sektor-sektor yang harus mengimpor barang atau bahan baku dari luar negeri. Selain itu, bagi konsumen Indonesia, harga barang impor akan semakin mahal, yang dapat mengurangi daya beli masyarakat dan memperburuk inflasi.
- Penurunan Ekonomi Global: Dampak yang Meluas
Kebijakan tarif ini tidak hanya berdampak pada Indonesia, tetapi juga mempengaruhi perekonomian dunia secara keseluruhan. Sejak awal kebijakan tarif ini diumumkan, banyak lembaga internasional seperti IMF, Bank Dunia, dan Organization for Economic Co-operation and Development ( OECD ) yang mulai menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya ketidakpastian ekonomi yang timbul dari perang dagang antara AS dan negara-negara mitra dagangnya.
Bagi Indonesia, yang sangat bergantung pada ekspor ke negara-negara besar, termasuk AS, penurunan pertumbuhan ekonomi global ini berpotensi mengurangi permintaan terhadap produk-produk Indonesia. Produk-produk Indonesia seperti elektronik, otomotif, dan bahan kimia, yang selama ini banyak diekspor ke AS, berisiko kehilangan daya saing di pasar internasional. Kenaikan tarif impor yang diterapkan oleh AS akan menyebabkan harga produk Indonesia menjadi lebih mahal di pasar AS, yang akhirnya mengurangi permintaan terhadap produk-produk tersebut.
Sektor manufaktur Indonesia, yang selama ini mengandalkan ekspor sebagai salah satu sumber pendapatan utama, akan mengalami penurunan tajam dalam volume ekspor. Hal ini diperkirakan akan memperburuk neraca perdagangan Indonesia, yang pada gilirannya memberikan tekanan lebih lanjut terhadap nilai tukar rupiah.
- Dampak pada IHSG: Volatilitas yang Meningkat
Sektor-sektor yang terkait dengan ekspor, seperti manufaktur elektronik, otomotif, tekstil, dan alas kaki, akan sangat terpengaruh oleh kebijakan tarif ini. Kenaikan tarif impor akan membuat produk-produk Indonesia yang dijual ke AS menjadi lebih mahal, sehingga daya saing produk Indonesia akan berkurang. Ini akan menurunkan ekspor Indonesia ke AS dan mendorong investor untuk menarik dananya dari pasar saham Indonesia.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Indonesia diperkirakan akan semakin volatil. Sektor-sektor yang sangat bergantung pada ekspor akan menghadapi penurunan signifikan dalam kinerja keuangan, yang pada gilirannya akan mempengaruhi harga saham perusahaan-perusahaan tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh ekonom Wijayanto Samirin dari Universitas Paramadina, IHSG akan cenderung melemah dan lebih fluktuatif, terutama di sektor-sektor yang berorientasi pada ekspor. Jika situasi ini berlarut-larut, akan ada dampak jangka panjang pada pasar saham Indonesia, dengan investor lebih memilih untuk menempatkan dananya di negara-negara dengan stabilitas yang lebih tinggi.
- Ancaman PHK Massal dan Perlambatan Ekonomi Domestik
Sektor-sektor yang bergantung pada ekspor ke AS, seperti tekstil, elektronik, dan sepatu, akan merasakan dampaknya dengan sangat besar. Ketika biaya ekspor meningkat akibat tarif yang lebih tinggi, daya saing produk Indonesia akan berkurang, dan banyak perusahaan yang terpaksa mengurangi produksinya atau bahkan menutup pabrik mereka. Hal ini berpotensi menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, terutama di sektor-sektor yang berorientasi pada ekspor.
Menurut Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, penurunan ekspor Indonesia ke AS akan memperburuk angka pengangguran di dalam negeri. Ini bisa memicu ketegangan sosial dan menambah beban ekonomi domestik. PHK besar-besaran di perusahaan-perusahaan besar akan berimbas pada sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), karena banyak rantai pasokan UMKM yang bergantung pada perusahaan-perusahaan besar tersebut.
Selain itu, penurunan daya beli masyarakat akibat PHK massal dan ketidakpastian ekonomi akan memperlambat konsumsi domestik, yang merupakan pendorong utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Jika konsumsi menurun, maka penerimaan pajak pemerintah juga akan terpengaruh, yang pada gilirannya akan memperlambat pertumbuhan ekonomi Indonesia.
- Langkah-Langkah Strategis yang Harus Dilakukan Indonesia
Untuk menghadapi dampak dari kebijakan tarif ini, pemerintah Indonesia perlu segera mengambil langkah-langkah strategis. Ekonom Wijayanto Samirin mengemukakan tujuh langkah yang harus diambil oleh pemerintah Indonesia untuk mengurangi dampak buruk kebijakan tarif Trump terhadap perekonomian domestik:
- Perkuat Cadangan Devisa: Mengingat ketidakpastian global yang tinggi, Indonesia harus memperkuat cadangan devisa agar bisa bertahan dari dampak fluktuasi mata uang yang lebih tajam. Selain itu, kebijakan menarik Devisa Hasil Ekspor (DHE) harus diterapkan dengan lebih serius untuk menjaga stabilitas perekonomian.
- Rekalibrasi APBN: Pemerintah harus menyesuaikan anggaran negara (APBN) dengan mengurangi pengeluaran yang tidak perlu dan lebih memprioritaskan program-program yang dapat langsung meningkatkan daya beli masyarakat dan menciptakan lapangan kerja.
- Pengetatan Impor: Pemerintah perlu mengurangi impor barang-barang yang tidak penting dan memberantas impor ilegal. Langkah ini akan melindungi industri dalam negeri dan membantu mengurangi tekanan terhadap neraca perdagangan Indonesia.
- Perkuat Sektor Keuangan: Pemerintah harus memperkuat sektor keuangan, termasuk sektor perbankan dan pasar modal, agar Indonesia dapat bertahan dari guncangan ekonomi global. Meningkatkan likuiditas di pasar keuangan domestik akan membantu stabilitas perekonomian.
- Kebijakan yang Jelas dan Realistis: Indonesia membutuhkan kebijakan ekonomi yang jelas dan realistis mengenai langkah-langkah yang akan diambil untuk menghadapi dampak kebijakan tarif ini. Kejelasan kebijakan akan meningkatkan kepercayaan pasar dan meminimalkan ketidakpastian.
- Kerja Sama dengan Negara Lain: Indonesia harus memperkuat kerja sama perdagangan dengan negara-negara lain, seperti negara-negara di ASEAN, Uni Eropa, India, dan Amerika Latin. Ini dapat membantu menggantikan penurunan permintaan dari pasar AS.
- Tim Negosiasi dengan AS: Pemerintah Indonesia perlu mempersiapkan tim negosiasi yang siap untuk berdialog dengan AS dan berusaha mengurangi ketegangan perdagangan yang ada. Negosiasi yang konstruktif dapat membantu meredakan dampak dari tarif ini dan mungkin merubah kebijakan tarif yang diterapkan.
- Tantangan Besar Bagi Perekonomian Indonesia
Kebijakan tarif baru AS ini memberi tantangan besar bagi perekonomian Indonesia. Dengan tarif tambahan sebesar 32%, sektor ekspor Indonesia akan menghadapi kesulitan besar dalam mempertahankan daya saing produk-produknya. Dampak dari kebijakan tarif ini berpotensi menyebabkan depresiasi rupiah, penurunan ekspor, PHK massal, pelemahan IHSG, dan penurunan daya beli masyarakat.
Namun, dengan langkah-langkah strategis yang tepat, Indonesia masih memiliki peluang untuk mengurangi dampak negatif dari kebijakan tarif ini. Pemerintah harus segera mengambil tindakan yang tegas untuk menjaga stabilitas ekonomi domestik, memperkuat sektor keuangan, dan mencari pasar alternatif untuk produk-produk ekspor Indonesia. Selain itu, melalui diplomasi yang lebih aktif dan kebijakan yang jelas, Indonesia dapat mengurangi ketidakpastian yang disebabkan oleh kebijakan tarif ini dan tetap menjaga pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Ketidakpastian global yang ditimbulkan oleh kebijakan tarif ini menuntut Indonesia untuk lebih adaptif dan kreatif dalam merancang kebijakan ekonomi yang dapat melindungi perekonomian domestik, serta menjaga hubungan perdagangan dengan negara-negara mitra lainnya di tengah tantangan perang dagang ini.



