(Vibiznews – Economy & Business) Pada hari Rabu 9 April 2025, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan kebijakan perdagangan yang mengejutkan dunia:
Penangguhan sementara tarif perdagangan terhadap sebagian besar negara selama 90 hari terhadap tarif resiprokal sebesar 32% dan menggantinya dengan tarif dasar 10% bagi negara-negara yang tidak menerapkan tarif balasan terhadap produk AS.
Indonesia termasuk di antara negara yang diuntungkan dari pelonggaran tersebut.
Namun, kebijakan ini tidak berlaku bagi Tiongkok – justru sebaliknya, Trump menaikkan tarif impor dari Tiongkok hingga mencapai 125%, sebuah lonjakan drastis dalam konflik dagang antara dua ekonomi terbesar dunia tersebut.
Kebijakan Penangguhan dan Strategi Tekanan Dagang
Trump sebelumnya bersikukuh mempertahankan pendekatan kerasnya terhadap perdagangan internasional, dengan menerapkan tarif tinggi terhadap negara-negara yang menurutnya “memanfaatkan pasar Amerika”.
Namun, dengan penurunan tarif menjadi 10% dengan ada masa penangguhan selama 90 hari. Maka langkah ini diposisikan sebagai bentuk “itikad baik” dari Amerika Serikat, yang memberi waktu bagi negara-negara mitra dagang untuk kembali ke meja perundingan. Trump mengklaim bahwa lebih dari 75 negara telah menunjukkan minat untuk membuka dialog ulang terkait ketentuan perdagangan yang lebih adil bagi AS.
Dampak terhadap Negara Berkembang Termasuk Indonesia
Dalam hal ini, tarif AS terhadap Indonesia sebelumnya berada di angka 32% untuk produk tertentu, lalu diturunkan menjadi 10% dan dihentikan sementara selama 90 hari.
Artinya, pintu ekspor Indonesia ke pasar AS sedikit terbuka kembali, menciptakan window of opportunity untuk memperbaiki relasi dagang dan meningkatkan pengiriman produk ke AS.
Namun, risiko tetap ada. Jika dalam 90 hari tak ada kesepakatan yang dicapai, banyak negara termasuk Indonesia bisa kembali menghadapi lonjakan tarif yang signifikan, yang berdampak langsung pada ekspor, industri, dan pertumbuhan ekonomi domestik.
Rupiah Ditutup Menguat
Nilai tukar mata uang rupiah pada hari ini, Kamis, 10 April 2025 ditutup menguat di level 16.823 per dolar AS. Penguatan kurs rupiah terjadi usai Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan penundaan pemberlakuan tarif impor resiprokal selama 90 hari.
Berdasarkan data Bloomberg, rupiah menguat 49 poin dari hari sebelumnya atau Rabu, 9 April 2025 yang berada di posisi 16.872 per dolar AS.
Dampak Positif Terhadap Ekspor Indonesia
- Kenaikan Volume Ekspor ke AS
- Penurunan tarif dari 32% ke 10% akan secara langsung menurunkan harga jual barang Indonesia di pasar AS, sehingga menjadi lebih kompetitif dibanding negara lain.
- Produk padat karya seperti tekstil, sepatu, furnitur, karet, CPO turunan, dan makanan olahan kemungkinan besar akan mengalami lonjakan permintaan.
- Peningkatan Utilisasi Pabrik Ekspor
- Banyak industri orientasi ekspor yang sebelumnya menahan produksi karena tarif tinggi akan kembali meningkatkan utilisasi mesin dan tenaga kerja.
- UMKM ekspor yang sebelumnya terdampak keras oleh tarif tinggi juga bisa mulai “bernafas” kembali.
- Dampak terhadap Neraca Perdagangan & Surplus Dagang
- Jika dimanfaatkan optimal, pengurangan tarif ini bisa mendorong peningkatan surplus neraca perdagangan Indonesia terhadap AS dalam jangka pendek.
- Indonesia berpeluang mengurangi tekanan pada defisit transaksi berjalan jika ekspor bernilai tinggi (high value-added) seperti produk manufaktur tumbuh signifikan.
- Dampak terhadap Investasi & Sektor Riil
- Peningkatan Minat Investasi Asing
- Pengusaha global yang melihat Indonesia mendapat kelonggaran dari AS bisa mengalihkan sebagian produksi ke Indonesia untuk memanfaatkan tarif lebih rendah.
- Ini membuka peluang Foreign Direct Investment (FDI) di sektor hilirisasi, manufaktur ekspor, dan logistik.
- Pemulihan Sektor Manufaktur
- Dengan tarif lebih ringan, manufaktur ekspor kembali menjadi sektor prospektif, menciptakan dorongan bagi sektor-sektor penunjang seperti transportasi, pengemasan, dan logistik pelabuhan.
- Dampak terhadap Tenaga Kerja
- Jika ekspor meningkat, perusahaan ekspor akan menambah jumlah tenaga kerja, terutama di sektor-sektor padat karya.
- Penyerapan tenaga kerja bisa terjadi lebih cepat, mengurangi tingkat pengangguran dan meningkatkan daya beli.
Peluang: Ambil Alih Pasar yang Ditinggalkan China dan Vietnam
Dengan pengurangan tarif menjadi 10 %, maka ada peluang besar yang menanti. Direktur Eksekutif CORE, Mohammad Faisal, menekankan bahwa tarif tinggi AS justru menyasar negara pesaing utama Indonesia seperti China (125%), Vietnam (46%), dan Sri Lanka (44%).
“Kalau Indonesia jeli, ini bisa jadi momen untuk merebut pasar yang mereka tinggalkan,” kata Faisal.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia, Redma Gita Wirawasta, menyebut kondisi ini seperti “kocok ulang” kartu perdagangan global. Saat produk China dan Vietnam menjadi lebih mahal di AS, Indonesia bisa masuk sebagai alternatif yang lebih kompetitif.
Belajar dari Vietnam: Strategi yang Bisa Ditiru
Vietnam adalah contoh sukses dari Perang Dagang jilid pertama pada 2019. Negara ini mengganti posisi China dalam rantai pasok AS, mempermudah investasi, dan menyambut relokasi pabrik asing. Hanya dalam dua bulan, izin investasi bisa keluar—sebuah efisiensi yang patut dicontoh. Indonesia punya kesempatan untuk tampil sebagai “pemenang diam-diam” dalam babak baru perang dagang ini—asal tidak terlambat memanfaatkan momentum.
Esther Sri Astuti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengatakan, Indonesia memang tidak memiliki kesamaan produk sebesar Vietnam dengan China, tapi masih bisa mengekspor mineral, logam, dan komoditas ramah lingkungan yang dibutuhkan AS.
“Indonesia bisa menjadi pemasok utama bahan baku teknologi hijau seperti nikel dan tembaga,” ujar Esther.
Relokasi Investasi Asing
- Seperti yang terjadi di Vietnam pada 2019, perusahaan multinasional bisa memindahkan pabrik dari negara yang terdampak ke lokasi yang tarifnya lebih rendah.
- Indonesia harus bersaing dengan negara ASEAN lain untuk menjadi destinasi utama relokasi manufaktur.
Solusi dan Strategi Pemerintah: Dari Diplomasi hingga Reformasi Struktural
Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam. Presiden Prabowo Subianto telah memerintahkan kementerian untuk memperkuat daya saing industri nasional melalui penyederhanaan regulasi, insentif Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), dan diplomasi bilateral dengan AS.
Wakil Menteri Perdagangan, Dyah Roro Esti, menegaskan fokus utama pemerintah adalah melindungi industri padat karya, seperti tekstil, sepatu, furnitur, dan kelapa sawit—industri yang menyerap jutaan tenaga kerja.
“Kami ingin dialog terbuka dengan AS, bukan eskalasi konflik. Tarif ini merugikan semua pihak—bukan hanya Indonesia, tapi juga konsumen dan importir di AS,” katanya.
Sementara itu, penundaan 90 hari yang diumumkan Trump atas tarif ini dipandang sebagai peluang emas oleh Dewan Ekonomi Nasional (DEN). Juru bicara DEN, Jodi Mahardi, menyebut ini waktu yang krusial untuk mempercepat reformasi ekonomi, memangkas biaya usaha, dan menciptakan iklim investasi yang lebih sehat.
Berikut ini adalah sektor-sektor industri utama di Indonesia yang kemungkinan besar paling terdampak secara positif atas pengurangan tarif tersebut
- Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT)
Ekspor andalan: pakaian jadi, kain tenun, kaus kaki, seragam, dll.
- AS adalah pasar utama bagi produk tekstil dan pakaian jadi dari Indonesia.
- Penurunan tarif dari 32% menjadi 10% akan:
- Membuat produk Indonesia lebih kompetitif dibanding produk serupa dari Vietnam, Bangladesh, atau Kamboja.
- Meningkatkan peluang masuknya merek-merek fashion lokal ke pasar retail AS.
- Industri ini menyerap banyak tenaga kerja, jadi dampaknya juga terasa secara sosial-ekonomi.
- Industri Perikanan dan Makanan Olahan Laut
Ekspor andalan: udang, tuna, kepiting, produk laut beku dan kalengan.
- Tarif tinggi selama ini menjadi hambatan untuk bersaing dengan produk dari Thailand dan India.
- Pengurangan tarif:
- Membuka kembali jalur ekspor udang dan produk laut olahan ke AS.
- Menarik lebih banyak permintaan dari industri restoran dan distributor makanan AS.
- Sangat penting untuk provinsi seperti Sulawesi Selatan, Maluku, dan Papua.
- Industri Furnitur dan Produk Kayu
Ekspor andalan: kursi kayu, mebel ukir, lemari, bahan bangunan dari rotan/bambu.
- AS merupakan salah satu pasar terbesar untuk furnitur rumah tangga.
- Tarif lebih rendah berarti:
- Harga produk furnitur Indonesia bisa bersaing lebih baik dengan produk dari Tiongkok dan Vietnam.
-
- Dorongan ekspor bagi UKM dan pengrajin dari daerah seperti Jepara, Pasuruan, dan Cirebon.
- Apalagi permintaan furnitur “alami dan ramah lingkungan” makin tinggi di AS.
- Industri Kerajinan dan Produk Kreatif
Ekspor andalan: keramik, batik, tas kulit, perhiasan handmade, aksesoris rumah.
- Produk kreatif Indonesia punya nilai budaya dan estetika yang tinggi.
- Pengurangan tarif bisa:
- Mendorong UKM kreatif untuk masuk pasar e-commerce AS (seperti Etsy, Amazon Handmade).
-
- Menarik konsumen niche di AS yang mencari produk otentik dan handmade.
- Industri Makanan dan Minuman Olahan
Ekspor andalan: kopi, teh, mie instan, rempah-rempah, camilan, makanan halal.
- Pasar AS sangat besar untuk makanan .
- Penurunan tarif 10% akan:
- Menjadikan produk Indonesia lebih terjangkau di retail dan supermarket AS.
-
- Mendorong pertumbuhan merek makanan Indonesia di diaspora.
- Industri Elektronik Kecil dan Komponen
Ekspor andalan: komponen elektronik, kabel, peralatan rumah tangga kecil.
- Tarif lebih rendah dapat menarik minat investor dan pembeli industri di AS.
- Memberi potensi ekspor komponen dari kawasan industri seperti Batam dan Cikarang.
Tarif timbal balik Trump, Indonesia memiliki peluang untuk re-posisi diri dalam peta perdagangan global, dengan syarat: tidak hanya bertahan, tetapi juga bergerak proaktif, membenahi fondasi, dan membuka ruang baru bagi pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan
Jadi, penurunan tarif menjadi 10% bukan hanya soal ekspor lebih murah, tapi juga bisa:
- Meningkatkan daya saing Indonesia.
- Menarik minat buyer dan investor di AS.
- Menjadi peluang memperluas pasar dan memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok global.



