Trump Turunkan Tarif 10% ke Banyak Negara, China Dihantam 125%

547
foto : wikimedia

(Vibiznews – Economy & Business) Dalam langkah yang mengejutkan sekaligus kontroversial, Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali mengguncang panggung perdagangan global dengan kebijakan tarif terbarunya. Melalui pengumuman yang disampaikan di Truth Social dan didukung oleh para pejabat tinggi pemerintahannya.  Trump menurunkan tarif impor untuk sebagian besar negara menjadi 10% selama 90 hari, namun secara drastis menaikkan tarif terhadap China menjadi 125%. Langkah ini muncul hanya beberapa hari setelah Amerika Serikat memberlakukan tarif resiprokal terhadap sekitar 90 negara, yang sebelumnya menimbulkan gejolak di pasar global. Apa sebenarnya strategi di balik langkah ini, dan bagaimana dampaknya terhadap perekonomian global, hubungan dagang internasional.

Apa Itu Tarif Resiprokal?

Tarif resiprokal berarti AS mengenakan tarif yang setara atau “membalas” perlakuan tarif yang diterapkan negara lain terhadap produk Amerika. Jadi jika suatu negara mengenakan 30% terhadap produk AS, maka AS bisa membalas dengan tarif yang sama atau lebih tinggi. Ini adalah pendekatan “mata dibalas mata” dalam kebijakan perdagangan.

Isi Pernyataan Trump di  di Truth Social:

Karena China tidak menghargai pasar global, saya putuskan untuk menaikkan tarif barang-barang dari China jadi 125%, mulai saat ini juga. Semoga suatu saat nanti China sadar bahwa mereka tidak bisa terus-menerus merugikan AS dan negara-negara lain.

Sementara itu, karena lebih dari 75 negara sudah menghubungi pejabat kami—baik dari Kementerian Perdagangan, Keuangan, maupun United States Trade Representative (USTR), dan mereka bersedia untuk bernegosiasi serta tidak membalas dengan cara negatif, saya akan memberlakukan penurunan tarif jadi 10% selama 90 hari. Ini berlaku mulai sekarang juga. Terima kasih atas perhatian Anda!

Presiden Donald Trump memutuskan untuk menurunkan tarif impor dari sebagian besar negara menjadi 10% selama 90 hari. Tujuannya adalah untuk memberi waktu agar Amerika Serikat bisa bernegosiasi dagang dengan negara-negara tersebut.

Pengumuman ini datang hanya beberapa jam setelah sekitar 90 negara mulai terkena tarif baru dari AS yang lebih tinggi dan disebut sebagai tarif “resiprokal”,  tarif yang dikenakan sebagai balasan terhadap perlakuan yang sama dari negara lain.

Namun, berbeda dengan negara-negara lain, Trump justru menaikkan tarif barang-barang dari China jadi 125%, langsung berlaku saat itu juga. Ia mengatakan ini karena China dinilai tidak menghargai pasar global.

China membalas dengan menaikkan tarif barang-barang dari Amerika Serikat menjadi 84%.

Menurut Trump, lebih dari 75 negara langsung menghubungi pejabat-pejabat AS untuk membicarakan masalah tarif setelah pengumuman sebelumnya. Mereka ingin mencari solusi agar hubungan dagang tetap lancar.

Pasar saham AS langsung melonjak tajam setelah pengumuman ini. Indeks S&P 500 naik 7%, pencapaian harian tertinggi dalam lima tahun terakhir, setelah sebelumnya sempat turun selama empat hari berturut-turut.

Saat ditanya alasan perubahan kebijakan ini, Trump bilang, “Orang-orang mulai panik dan terlalu reaktif.”

Pejabat pemerintah seperti Menteri Keuangan Scott Bessett mengatakan bahwa Trump memang sejak awal berencana hanya menerapkan tarif tinggi sementara, sebagai taktik negosiasi.

Kebijakan tarif terbaru yang diumumkan Presiden Trump mencerminkan dinamika kompleks antara strategi ekonomi dan kepentingan geopolitik. Di satu sisi, langkah ini menunjukkan upaya keras Amerika Serikat untuk memperjuangkan posisi dagangnya di tengah kompetisi global yang semakin ketat.

Tujuan di Balik Kebijakan Ini

  1. Tekanan Negosiasi

Dengan memberikan waktu 90 hari dan tarif yang diturunkan, Trump mencoba mendorong negara-negara lain untuk duduk di meja negosiasi.

  1. Sinyal Tegas ke China

Trump menaikkan tarif ke China hingga 125%, jauh di atas tarif ke negara lain. Ini adalah sinyal keras bahwa AS tidak akan mentolerir praktik dagang yang dianggap “merugikan” atau “curang” oleh China, seperti manipulasi mata uang, dumping barang murah, dan hambatan non-tarif lainnya.

Risiko dan Dampak Kebijakan

  1. Ketidakpastian Pasar

Salah satu dampak utama dari kebijakan ini adalah ketidakpastian. Pasar keuangan sangat sensitif terhadap perubahan kebijakan yang tiba-tiba dan tidak terduga. Meskipun pengumuman Trump menyebabkan lonjakan di pasar saham (S&P 500 naik 7%), ini bisa bersifat sementara dan spekulatif.

  1. Retaliasi Dagang dari China

China sudah menaikkan tarif menjadi 84% untuk produk AS. Jika konflik dagang ini terus memanas, bisa terjadi perang dagang berkepanjangan yang merugikan kedua negara dan menekan pertumbuhan ekonomi global.

  1. Tudingan Pemerintahan yang Tidak Stabil

Kritik dari tokoh Demokrat seperti Chuck Schumer menyoroti bahwa Trump sering mengubah kebijakan secara tiba-tiba, menciptakan pemerintahan yang tidak stabil dan tidak dapat diprediksi, yang dinilai berbahaya untuk dunia usaha dan hubungan internasional.

Dampak Ekonomi Jangka Pendek dan Panjang

Jangka Pendek:

  • Ketenangan sementara di pasar keuangan, karena investor lega melihat penurunan tarif.
  • Peningkatan diplomasi dagang, karena lebih dari 75 negara dilaporkan menghubungi AS untuk bernegosiasi.
  • Potensi kenaikan harga barang China di AS, akibat tarif 125%.

Jangka Panjang:

  • Kemungkinan perubahan rantai pasok global, di mana perusahaan-perusahaan mulai mengalihkan produksi dari China ke negara lain.
  • Perubahan peta aliansi dagang, karena negara-negara bisa mencari mitra dagang lain untuk mengurangi ketergantungan pada AS.
  • Dampak terhadap perekonomian domestik AS, terutama sektor-sektor yang mengandalkan barang impor murah dari China, seperti elektronik dan tekstil.

Kebijakan ini menunjukkan bahwa Trump masih memegang erat strategi “America First” dalam urusan dagang. Ia menggunakan tarif sebagai alat tekanan  untuk:

  • Mengharuskan negara-negara membuka pasar mereka bagi produk AS.
  • Menekan China dalam konflik dagang yang sudah berlangsung bertahun-tahun.

Namun, strategi ini juga sarat risiko, dapat menimbulkan ketidakpastian, baik bagi mitra dagang internasional maupun pelaku usaha di dalam negeri. Terlebih jika negara-negara lain kehilangan kepercayaan terhadap stabilitas dan konsistensi kebijakan AS. Dalam dunia yang saling terhubung seperti sekarang, perang dagang bisa menjadi pedang bermata dua: bisa jadi alat negosiasi, bisa juga menjadi bumerang.

Dalam beberapa bulan ke depan, dunia akan menyaksikan apakah strategi ini akan menghasilkan kesepakatan dagang yang lebih adil, atau justru memicu eskalasi konflik yang berdampak negatif terhadap stabilitas ekonomi global.