Tarif AS-China: Persaingan Ekonomi dan Geopolitik

274

(Vibiznews – Economy & Business) Konflik dagang antara Amerika Serikat dan China telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir. Namun kini, dinamika yang terjadi tidak lagi semata-mata soal neraca perdagangan atau tarif impor-ekspor. Ketegangan ini berkembang menjadi persaingan strategis yang lebih luas, mencerminkan rivalitas dua kekuatan besar dunia dalam berbagai aspek. Mulai dari teknologi dan militer, hingga pengaruh politik di panggung global.

Dari Tarif ke Rivalitas Strategis

Awalnya, perang dagang dimulai dengan pengenaan tarif oleh pemerintahan Presiden Donald Trump terhadap berbagai produk dari China, dengan dalih ketidakseimbangan perdagangan dan perlakuan yang tidak adil terhadap perusahaan-perusahaan asing di China. Namun, seiring waktu, ketegangan ini tidak hanya berhenti pada urusan ekonomi. Masalah teknologi, keamanan nasional, dan pengaruh geopolitik mulai mencuat, membuat konflik ini lebih rumit dan berjangka panjang.

Lembaga riset internasional seperti BCA Research dari Kanada menilai bahwa konflik dagang saat ini hanya merupakan puncak gunung es dari rivalitas struktural antara dua negara. Ketegangan ini memiliki potensi untuk berkembang menjadi bentuk konfrontasi lain, meskipun tidak selalu harus berujung pada konflik militer terbuka.

Strategi Amerika Serikat: Fokus Tekanan Pada China

Dalam beberapa tahun terakhir, strategi Amerika Serikat terhadap China menunjukkan pendekatan yang lebih selektif namun tegas. Meski menerapkan tarif terhadap produk China, AS cenderung menghindari pengenaan tarif terhadap negara-negara lain. Pendekatan ini tampaknya bertujuan menjaga stabilitas ekonomi global sekaligus menekan satu pihak utama yang dianggap sebagai pesaing strategis: China.

Ada beberapa alasan utama di balik fokus tekanan AS terhadap China:

  1. Dominasi Teknologi dan Keamanan Nasional
    AS melihat ambisi teknologi China, terutama dalam bidang AI, semikonduktor, dan jaringan 5G—sebagai tantangan langsung terhadap keunggulan strategisnya. Ketergantungan pada teknologi China juga dianggap berpotensi membahayakan keamanan nasional, sehingga muncul kebijakan pembatasan terhadap perusahaan seperti Huawei dan TikTok.
  2. Pengaruh Geopolitik di Asia Pasifik
    Posisi China yang semakin aktif di kawasan Asia Pasifik, termasuk Laut China Selatan dan Taiwan, menimbulkan kekhawatiran di kalangan pembuat kebijakan di Washington. AS terus memperkuat kerja sama militer dan diplomatik dengan mitra-mitra strategis di kawasan tersebut sebagai bagian dari upaya penyeimbangan.
  3. Kalkulasi Politik Domestik
    Di dalam negeri, sikap tegas terhadap China menjadi isu populer lintas partai. Pemerintahan mana pun yang mengambil pendekatan keras terhadap China cenderung mendapatkan dukungan politik yang luas, terutama menjelang pemilu.

Respons China: Kombinasi Ekonomi dan Strategi Politik

Di sisi lain, China juga tidak tinggal diam. Negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia ini mengambil berbagai langkah untuk merespons tekanan AS, mulai dari pemberlakuan tarif balasan hingga intervensi mata uang.

Pada awal April 2025, nilai tukar yuan melemah ke level terendah sejak 2007, baik di pasar offshore maupun onshore. Pelemahan ini tidak hanya mencerminkan tekanan ekonomi eksternal, tetapi juga menjadi salah satu strategi China untuk menjaga daya saing ekspor di tengah tarif AS.

Selain itu, China merancang stimulus fiskal yang diperkirakan mencapai 3–4% dari PDB, atau sekitar 3 triliun yuan, untuk menstabilkan ekonomi domestik. Namun beberapa analis meyakini bahwa jika angka ini tidak digandakan, maka China bisa jadi sedang mempersiapkan langkah-langkah non-ekonomi, seperti peningkatan tekanan diplomatik terhadap Taiwan, atau bahkan strategi militer hibrida.

Taiwan: Titik Sensitif di Tengah Rivalitas

Salah satu wilayah paling sensitif dalam konflik ini adalah Taiwan. Bagi China, Taiwan adalah bagian dari wilayahnya yang harus kembali ke pangkuan “one China.” Bagi AS, Taiwan adalah mitra strategis yang tidak resmi namun penting secara geopolitik.

Penjualan senjata AS ke Taiwan serta dukungan diplomatik yang terus mengalir membuat Beijing melihat Taiwan sebagai indikator dari sejauh mana AS berani menantang kepentingan intinya. Oleh karena itu, jika negosiasi ekonomi gagal dan tekanan terus meningkat, risiko eskalasi di kawasan ini bisa menjadi nyata.

Ketegangan Geopolitik

Meskipun ketegangan meningkat, penting untuk dicatat bahwa konflik militer terbuka bukanlah pilihan utama bagi kedua negara. Baik AS maupun China menyadari bahwa dampak dari konfrontasi militer akan sangat besar, tidak hanya bagi mereka sendiri, tetapi juga bagi stabilitas global.

Sebagian besar analis percaya bahwa eskalasi yang terjadi saat ini lebih bersifat tekanan simbolik dan taktis untuk memperkuat posisi tawar. Dalam situasi seperti ini, diplomasi, saluran komunikasi terbuka, dan kejelasan kebijakan menjadi faktor kunci dalam menghindari kesalahpahaman yang bisa memicu krisis besar.

Dampak Ekonomi Global

Investor dan pasar global harus bersiap menghadapi ketidakpastian jangka panjang.

Mengingat prospek tersebut, BCA Research menyarankan investor untuk :

  • Beralih ke aset yang aman (safe haven) seperti emas, obligasi pemerintah, dan saham defensif
  • Hindari risiko tinggi di wilayah-wilayah yang terdampak langsung oleh ketegangan AS-Tiongkok
  • Waspadai reli pasar jangka pendek karena bisa menipu di tengah ketegangan geopolitik yang terus meningkat

Bagi dunia internasional, terutama negara berkembang seperti Indonesia, konflik AS–China memiliki dampak signifikan. Ketergantungan pada perdagangan global, investasi asing, dan stabilitas nilai tukar membuat banyak negara berada dalam posisi rentan terhadap guncangan eksternal.

Namun, konflik ini juga membuka peluang bagi negara-negara yang mampu mengambil posisi strategis. Diversifikasi mitra dagang, penguatan pasar domestik, dan peningkatan daya saing sektor manufaktur adalah langkah-langkah yang bisa diambil untuk mengurangi ketergantungan dan meningkatkan ketahanan ekonomi.

Membangun Ketahanan di Tengah Ketidakpastian

Konflik dagang AS–China mencerminkan lebih dari sekadar perselisihan tarif. Ia adalah bagian dari perubahan besar dalam tatanan global, di mana dua kekuatan besar bersaing untuk menetapkan norma dan arah masa depan dunia. Meskipun risiko konfrontasi strategis tetap ada, peluang untuk stabilisasi melalui dialog dan diplomasi juga tetap terbuka.

Bagi Indonesia dan negara lain, tantangannya adalah bagaimana menyikapi dinamika ini secara cermat dan bijak. Bukan dengan mencemaskan kemungkinan perang, tetapi dengan memperkuat fondasi ekonomi, menjaga stabilitas dalam negeri, serta membangun hubungan luar negeri yang seimbang dan konstruktif.