(Vibiznews – Economy & Business) Kebijakan perdagangan Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump kembali menjadi sorotan dunia, terutama setelah pernyataan terbaru dari Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, yang menyatakan tanggung jawab untuk mencapai kesepakatan dagang ada pada China.
Komentar tersebut muncul di tengah ketidakpastian pasar atas arah kebijakan tarif setelah Presiden Donald Trump mengumumkan pada 2 April kebijakan tarif global secara luas. Seminggu kemudian, Trump menyatakan bahwa tarif 10% secara umum akan tetap diberlakukan, namun tarif yang lebih agresif terhadap mitra dagang tertentu akan ditunda selama 90 hari.
Sejak saat itu, AS dikatakan telah mencatat kemajuan dalam negosiasi, menurut Bessent, yang secara khusus menyebut India sebagai kandidat kesepakatan dalam beberapa hari mendatang di antara 15 hingga 18 “hubungan dagang penting” yang sedang dinegosiasikan.
“Kami telah menerima banyak proposal yang sangat baik dari berbagai negara, dan kami sedang mengevaluasinya,” ujar Bessent.
Di tengah ketegangan ini, negara-negara berkembang seperti Indonesia dengan cermat mengamati situasi yang kompleks dan berisiko tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi masing-masing negara.
Dampak Pernyataan Bessent Terhadap Ekonomi Global
- Peningkatan Ketidakpastian Pasar
Investor dan pelaku bisnis cenderung menunda keputusan investasi ketika ada kebuntuan dagang yang berdamp tidak ada arah kebijakan yang jelas. Hal ini dapat:
- Menekan indeks saham global.
- Menghambat investasi lintas negara Foreign Direct Investment (FDI).
- Meningkatkan permintaan terhadap aset safe haven seperti emas dan obligasi AS.
- Pelemahan Rantai Pasok Global
Tarif tinggi yang tidak segera dihapus menyebabkan biaya ekspor impor naik, sehingga rantai pasok global terganggu, terutama dalam sektor teknologi, manufaktur, dan otomotif. Hal ini memaksa perusahaan untuk:
- Mencari alternatif produksi yang lebih mahal.
- Menurunkan margin keuntungan.
- Menyesuaikan harga jual ke konsumen (inflasi biaya).
- Volatilitas Nilai Tukar
- Volatilitas di pasar valuta asing meningkat.
- Negara berkembang menghadapi tekanan terhadap nilai tukar mereka.
Respons Diplomatik Indonesia: Menolak Konfrontasi, Mendorong Negosiasi
Berbeda dengan beberapa negara lain yang merespons kebijakan AS dengan tindakan balasan, Indonesia menempuh jalur diplomasi. Pemerintah Indonesia, melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan Menteri Keuangan, telah melakukan perundingan intensif dengan pejabat AS. Dalam perundingan ini, Indonesia menawarkan beberapa insentif seperti peningkatan impor barang dari AS hingga US$19 miliar dan pengurangan hambatan non-tarif. Langkah ini bertujuan untuk meredakan ketegangan dan menghindari dampak negatif terhadap sektor ekspor utama Indonesia, seperti elektronik, tekstil, dan alas kaki .
Pendekatan ini mencerminkan strategi jangka panjang yang berusaha menghindari konflik langsung sekaligus menjaga stabilitas hubungan ekonomi bilateral. Pemerintah juga memahami bahwa langkah reaktif justru dapat memperburuk kondisi ekspor nasional yang bergantung pada kestabilan pasar luar negeri.
Dampak Ekonomi: Menjaga Target Pertumbuhan di Tengah Tekanan Global
Pemerintah memperkirakan bahwa kebijakan tarif AS dapat menekan pertumbuhan ekonomi nasional hingga 0,5 poin persentase. Namun, dengan target pertumbuhan tetap sebesar 5% pada 2025, Indonesia berkomitmen untuk menjaga momentum ekonomi melalui kombinasi kebijakan fiskal dan moneter yang terukur.
Bank Indonesia, misalnya, tetap mempertahankan suku bunga di level 5,75% guna menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan mencegah capital outflow yang dapat terjadi akibat gejolak global. Langkah ini menunjukkan bahwa meskipun tekanan eksternal meningkat, stabilitas makroekonomi domestik tetap menjadi prioritas utama.
Strategi Diversifikasi dan Reformasi Ekonomi
Untuk mengurangi ketergantungan terhadap pasar ekspor tradisional seperti AS, Indonesia mulai menggencarkan strategi diversifikasi ekspor. Kawasan Afrika, Timur Tengah, dan Asia Selatan mulai dilirik sebagai pasar alternatif. Di sisi lain, reformasi struktural terus dilakukan, seperti penyederhanaan regulasi dan peningkatan kualitas SDM, guna memperkuat daya saing industri nasional.
Diversifikasi ini tidak hanya berfungsi sebagai mengurangi risiko jangka pendek, tetapi juga sebagai langkah strategis dalam reposisi Indonesia di tengah arsitektur perdagangan global yang sedang mengalami perubahan besar.
Pendekatan Diplomatik dan Negosiasi
Dengan AS mulai memperluas kerja sama dengan India dan negara-negara Asia Selatan lainnya :
- Pusat pertumbuhan global dapat bergeser dari dominasi China ke kawasan Asia Selatan atau Asia Barat Daya.
- Negara berkembang dengan populasi besar dan pasar domestik yang kuat akan mendapatkan posisi strategis dalam peta ekonomi global.
Kondisi ini menjadi momentum bagi India, Indonesia, Vietnam, dan negara sejenis akan memainkan peran lebih besar dalam rantai pasok dan diplomasi perdagangan global seperti :
- Memperkuat kemitraan regional dan peran dalam rantai pasok alternatif.
- Meningkatkan kapasitas negosiasi dagang bilateral.
- Mendorong stabilitas nilai tukar dengan diversifikasi cadangan devisa.
- Memanfaatkan tekanan geopolitik untuk menarik investasi asing.
Tantangan De-dollarisasi dan Stabilitas Keuangan
Salah satu perkembangan menarik yang patut diwaspadai adalah tren de-dollarisasi. Beberapa analis melihat adanya pergeseran perlahan dalam preferensi cadangan devisa global dari dolar AS ke mata uang lain. Meskipun peran dolar belum tergantikan sepenuhnya, kecenderungan ini dapat mengubah lanskap moneter global dan mempengaruhi kebijakan devisa di negara-negara berkembang.
Indonesia, dalam hal ini, harus memperkuat koordinasi antar-lembaga keuangan domestik dan internasional guna menjaga stabilitas nilai tukar dan daya saing ekspor, di tengah ketidakpastian arah kebijakan moneter global.
Diplomasi Ekonomi Indonesia
Respons Indonesia terhadap kebijakan tarif AS menunjukkan kematangan dalam strategi diplomasi ekonomi. Dengan menolak konfrontasi langsung dan memilih negosiasi, Indonesia berhasil menjaga stabilitas ekonomi sembari memperkuat fondasi jangka panjang melalui diversifikasi dan reformasi.
Di tengah ketidakpastian global, strategi ini menunjukkan bahwa pendekatan rasional, inklusif, dan berbasis kerja sama tetap menjadi jalan terbaik untuk menavigasi kompleksitas geopolitik dan ekonomi global yang terus berubah. Dengan memainkan peran aktif dalam forum internasional dan memperkuat daya saing domestik, Indonesia bukan hanya bertahan,tetapi juga berpeluang tumbuh sebagai kekuatan regional yang diperhitungkan.



