Dampak Ekonomi Tarif Dagang Q1 dan Arah Q2

490

Kilas Balik Dampak Tarif di Kuartal Sebelumnya

Memasuki kuartal kedua tahun 2025, kebijakan tarif impor yang diumumkan Amerika Serikat tanggal 2 April menjadi perhatian utama dalam dinamika perdagangan internasional. Dampak langsung dari kebijakan tersebut telah tercermin dalam data ekonomi kuartal pertama, serta memicu reaksi dari berbagai mitra dagang utama. Dengan diberlakukannya masa negosiasi selama 90 har yang dimulai 9 April, fokus kini tertuju pada sejauh mana proses diplomasi dagang dapat meredakan ketegangan dan mencegah eskalasi lanjutan. Evaluasi menyeluruh terhadap perkembangan ini menjadi penting untuk memahami implikasi ekonomi global dalam jangka pendek maupun menengah.

Gross Domestic Product (GDP) di Kuartal Pertama

Minggu lalu, banyak negara besar merilis estimasi awal GDP kuartal pertama. GDP zona Euro tumbuh 0,4%, atau 1,4% secara tahunan (menggunakan basis yang sama dengan pelaporan GDP AS). Angka ini dua kali lipat dari ekspektasi dan pertumbuhan kuartal sebelumnya. Pertumbuhan ini tersebar luas di berbagai negara, dengan Jerman dan Prancis dua negara dengan ekonomi terbesar di kawasan Eropa, kembali tumbuh setelah sempat kontraksi pada kuartal sebelumnya.

Sementara itu, penurunan GDP AS pada Q1 yang lebih lemah dari perkiraan sebagian besar yang disebabkan oleh lonjakan impor sebelum tarif April diberlakukan yang menyebabkan angka impor naik tajam.

Menariknya, meskipun permintaan dari AS meningkat, Eropa tidak mengalami lonjakan ekspor yang signifikan ke AS. Bahkan Prancis dan Italia justru mencatatkan bahwa ekspor malah mengurangi pertumbuhan ekonomi mereka. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan Eropa di kuartal pertama lebih ditopang oleh permintaan dalam negeri, seperti belanja konsumen dan investasi, bukan disebabkan oleh perdagangan dengan AS.

Pertumbuhan tinggi  Irlandia yang mencapai 13,4% secara tahunan kemungkinan mencerminkan lonjakan ekspor ke AS, khususnya produk farmasi. Namun, bahkan tanpa kontribusi Irlandia, GDP zona euro masih di atas ekspektasi. Jadi, tidak ada alasan untuk berasumsi bahwa pertumbuhan kuat di Q1 akan terhapus di Q2 hanya karena pengaruh ekspor ke AS.

Laporan Laba Kuartal Pertama

Gambaran laba Q1 juga tampak lebih positif di luar Amerika Serikat.Pekan lalu merupakan puncak musim laporan laba. Di Amerika jumlah perusahaan dalam indeks S&P 500 yang menurunkan proyeksi laba hampir menyamai periode krisis seperti Krisis Keuangan Global 2008 atau saat pandemi COVID-19. Sebaliknya, perusahaan di luar AS khususnya di Eropa dan Asia malah tidak mengalami penurunan tajam.

Hal ini mungkin karena tarif AS menciptakan potensi guncangan pasokan (supply shock), sementara untuk negara lain lebih ke arah guncangan permintaan (demand shock). Menggantikan permintaan yang hilang dengan stimulus domestik biasanya lebih mudah dibandingkan menggantikan pasokan yang hilang dengan pabrik, bahan baku, dan tenaga kerja baru.  Hal ini juga bisa menjelaskan mengapa saham-saham di luar AS kinerjanya lebih baik sepanjang tahun ini dibandingkan saham di Wall Street.

Kuartal Kedua: Fokus pada Negosiasi

Bagaimana prospek di kuartal kedua?  Jawabannya sangat tergantung pada hasil negosiasi dagang yang sedang berjalan. Setelah tarif diumumkan pada awal April, pemerintah AS menyatakan sedang bernegosiasi dengan lebih dari 70 negara. Namun, pekan lalu Menteri Keuangan AS mengatakan bahwa saat ini AS lebih fokus menyelesaikan kesepakatan dengan 15–17 negara terlebih dahulu, dan menunda dulu pembicaraan dengan China.

Beberapa negara mungkin segera mencapai kesepakatan awal dengan AS, tapi bentuknya kemungkinan baru sebatas “kerangka kerja” atau nota kesepahaman, belum dalam bentuk yang mengikat. Ini berarti masa jeda 90 hari bisa saja diperpanjang, dan ketidakpastian bagi dunia usaha serta pasar masih akan terus berlanjut.

Sebagai catatan, dari pengalaman sebelumnya, proses negosiasi dagang AS rata-rata butuh waktu lebih dari 18 bulan untuk ditandatangani dan lebih dari 3 tahun untuk benar-benar diberlakukan. Jadi sepertinya tidak dapat semuanya selesai dalam waktu cepat.

Jepang

Jepang adalah salah satu negara yang disebut-sebut dalam daftar mitra dagang AS. Presiden Trump bahkan menyebut kesepakatan yang dicapai dengan Jepang pada 2019 sebagai contoh yang sangat baik. Tapi waktu itu saja proses negosiasinya memakan waktu lebih dari satu tahun. Kini, situasinya lebih rumit, terutama karena Jepang mengindikasikan bahwa kepemilikan mereka atas surat utang AS mungkin ikut dibicarakan dalam negosiasi, yang mana menandakan bahwa taruhan kali ini sangat besar.

Meksiko dan Kanada

Meksiko dan Kanada sempat jadi target awal ancaman tarif Trump. Namun, kesepakatan dagang United States-Mexico-Canada Agreement (USMCA) memberikan perlindungan, dengan banyak produk tetap bebas tarif. Presiden Meksiko Sheinbaum mengatakan di X bahwa pejabat ekonomi kedua negara akan terus bekerja mencari solusi untuk memperbaiki neraca dagang. Mengingat banyak ekspor dari Meksiko ke AS berasal dari perusahaan AS yang beroperasi di Meksiko, negosiasi dagang sebenarnya menyentuh operasi perusahaan AS sendiri.

Pada masa jabatan pertama Trump, renegosiasi NAFTA menjadi USMCA memakan waktu 13 bulan dari awal negosiasi hingga penandatanganan (Agustus 2017–September 2018) dan 21 bulan lagi hingga berlaku (Juli 2020).

Kanada juga sedang dalam proses menjajaki renegosiasi kesepakatan dagang. Tapi hubungan kedua negara sempat menegang, apalagi setelah kampanye politik di Kanada menggunakan isu “kedaulatan negara” dalam menghadapi tekanan dari AS. Bahkan Gedung Putih sempat mengeluarkan pernyataan dimana Kanada menjadi “negara bagian ke-51 AS,” yang memperlihatkan ketegangan diplomatik yang belum reda.

Uni Eropa

Presiden Komisi Eropa menawarkan kesepakatan bebas tarif untuk mobil dan produk industri kepada AS jika AS juga melakukan hal serupa. Namun AS menolak dan justru meminta agar Eropa membeli energi dari AS dalam jumlah besar. Masalahnya, AS saat ini belum punya infrastruktur ekspor gas yang cukup besar untuk memenuhi permintaan tersebut. Akibatnya, negosiasi pun mandek.

Sebagai alternatif, Eropa kini mulai melirik China sebagai mitra dagang. China sendiri juga membuka kembali hubungan ekonomi dengan Eropa setelah sebelumnya memberlakukan sanksi. Jika China bersedia memberikan akses pasar dan investasi kepada Eropa, hal ini bisa menjadi penyeimbang tekanan dari AS.

China

Pada Jumat lalu, Kementerian Perdagangan China mengatakan sedang  mengevaluasi kemungkinan pembicaraan dagang dengan AS. Ini jauh dari sinyal keinginan kuat untuk meredakan ketegangan. Baik China maupun AS telah mengecualikan beberapa produk dari tarif, tapi lebih untuk meringankan beban domestik, bukan sebagai bagian dari deeskalasi.

Tidak ada tekanan domestik besar di China untuk segera merespons tarif AS. Dalam pertemuan Politbiro tanggal 25 April, tidak ada kebijakan fiskal atau moneter baru, dan pejabat NDRC pada 27 April menyatakan optimis China bisa mencapai target pertumbuhan 5% di 2025.

Melihat kembali sejarah perang dagang Trump dan China bisa memberikan petunjuk. Tarif baru mulai diberlakukan pada Juli 2018, lalu terus meningkat hingga akhirnya disepakati gencatan senjata 90 hari pada 1 Desember 2018. Namun setelah masa itu habis, tarif naik lagi hingga tercapai kesepakatan Fase Satu pada Desember 2019 dan efektif berlaku Februari 2020. Total waktu negosiasi: 12 bulan.

Tarif Dagang AS: Tarik-Menarik Kekuatan Geopolitik dan Ekonomi Global

Negosiasi dagang pasca tarif baru AS bukan sekadar soal perdagangan, tetapi juga arena tarik-menarik kekuatan geopolitik dan pengaruh ekonomi global. Dengan begitu banyak kepentingan, maka bisa ditarik  beberapa kesimpulan :

  1. Kemungkinan besar tidak dapat tercapai kesepakatan final dalam 90 hari. Beberapa negara mungkin akan mencapai kesepakatan awal.
  2. Tarif bisa dikurangi sebagian, tapi penghapusan total tampaknya mustahil, kemungkinan masih ada pembatasan tertentu terutama untuk sektor teknologi dan energi.
  3. China dan Eropa akan memainkan peran penting sebagai penyeimbang pengaruh AS, baik dalam perdagangan maupun strategi geopolitik.

Kebijakan tarif yang diterapkan Amerika Serikat mencerminkan pergeseran pendekatan dalam hubungan dagang global, dari kerja sama multilateral menuju pola negosiasi bilateral yang lebih tegas. Meskipun terdapat ruang untuk dialog dan kompromi selama periode jeda 90 hari, ketidakpastian tetap tinggi mengingat kompleksitas isu yang dihadapi masing-masing negara.