Penjualan Ritel AS: Indikator Baru Dampak Perang Dagang?

531
wall street
Vibizmedia Photo

Laporan Penjualan Ritel: Angka Kecil, Dampak Besar

Data penjualan ritel Amerika Serikat untuk bulan April memberikan gambaran penting mengenai bagaimana konsumen bereaksi terhadap ketidakpastian ekonomi yang ditimbulkan oleh perang dagang, khususnya ketegangan antara AS dan China. Meskipun secara keseluruhan penjualan hanya tumbuh tipis 0,1%, angka ini tetap di atas ekspektasi, terlebih setelah revisi naik yang signifikan pada data Maret.

Namun, angka agregat tersebut menyimpan cerita menarik di balik permukaan. Penjualan mobil dan suku cadangnya justru mengalami penurunan, meskipun ini bisa dilihat sebagai dampak lanjutan dari lonjakan tajam 5,5% pada bulan sebelumnya. Kategori lain yang memperlihatkan tren serupa adalah toko bahan bangunan dan perlengkapan taman. Setelah naik 2,9% pada Maret, pertumbuhannya melambat menjadi hanya 0,8% di April. Tidak adanya koreksi besar (‘payback’) menunjukkan bahwa lonjakan permintaan akibat kekhawatiran tarif mungkin masih bertahan di April.

Mengapa Penjualan Ritel Kini Lebih Diperhatikan?

Biasanya laporan penjualan ritel bukanlah indikator utama yang dijadikan acuan dalam membaca arah perekonomian AS. Ini karena sektor barang hanya menyumbang sekitar sepertiga dari total konsumsi rumah tangga, sementara sektor jasa lebih mendominasi.

Namun, dalam konteks perang dagang, dinamika ini berubah. Barang-barang konsumsi lebih rentan terhadap perubahan tarif impor. Oleh karena itu, setiap lonjakan atau pelemahan dalam laporan penjualan ritel bisa memberikan sinyal dini tentang bagaimana konsumen merespons kebijakan perdagangan yang berubah-ubah.

Dampak dari tarif mungkin belum langsung terlihat dalam inflasi atau pengangguran, tetapi dapat muncul lebih awal dalam pola belanja. Apakah konsumen mempercepat pembelian karena khawatir harga akan naik? Apakah mereka menunda belanja barang-barang tertentu karena ketidakpastian harga atau pasokan? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini bisa ditemukan dalam laporan penjualan ritel.

Tarif Turun, Tapi Belum Cukup Meredakan Dampak Ekonomi

Kesepakatan sementara antara AS dan China yang memberi penangguhan 90 hari dari eskalasi tarif disambut positif oleh pasar. Namun, masih menjadi tanda tanya besar apakah langkah ini cukup cepat untuk menahan dampak ekonomi yang sudah mulai terlihat.

Wells Fargo Economics memperkirakan bahwa tarif efektif akan berada di sekitar 15%, dan dengan adanya langkah deeskalasi, tarif saat ini berada di kisaran 14%, meskipun hanya untuk sementara. Ini sejalan dengan proyeksi mereka, namun belum memberikan jaminan kestabilan jangka panjang.

Jika sebelumnya tarif memicu apa yang disebut sebagai “stagflationary shock” yaitu kombinasi pertumbuhan rendah dan inflasi tinggi, maka pembalikan tarif bisa mendorong pertumbuhan dan menekan inflasi, atau paling tidak memperbaiki ekspektasi pasar. Namun demikian, masih terdapat tarif sebesar 30% untuk sejumlah barang dari China, yang tetap menjadi beban berat bagi sektor perdagangan barang dan industri yang bergantung pada rantai pasok global.

Dampak Tarif pada Penjualan Ritel: Analisis Data April

Salah satu indikator yang kerap dijadikan tolok ukur inti adalah kelompok kontrol (control group), yaitu penjualan ritel yang mengesampingkan komponen volatil seperti mobil, bahan bakar, makanan, dan bahan bangunan. Pada April, kelompok ini justru turun 0,2%, setelah naik 0,5% pada Maret.

Ada indikasi bahwa konsumen terus melakukan pembelian lebih awal (‘front-loading’) untuk menghindari kenaikan harga akibat tarif. Hal ini tercermin dari naiknya penjualan elektronik dan furnitur. Bahkan ritel daring (non-store retailers) masih tumbuh 0,2% di bulan tersebut, kemungkinan mencerminkan upaya konsumen untuk mengamankan harga sebelum lebih mahal. Namun penurunan pada kategori lain cukup besar untuk menarik total kelompok kontrol ke wilayah negatif.

Pertanyaan yang kini muncul di kalangan ekonom dan pelaku pasar adalah: bagaimana membedakan pembelian yang dilakukan karena kekhawatiran terhadap tarif, dan mana yang mencerminkan kekuatan daya beli konsumen yang masih solid?

Beberapa laporan dari pelaku bisnis dan pengecer menunjukkan adanya penurunan pada belanja diskresioner, yaitu belanja non-kebutuhan pokok. Sektor seperti perjalanan dan akomodasi, yang tidak tercakup dalam laporan penjualan ritel, menjadi titik penting. Beberapa maskapai penerbangan besar AS bahkan telah mencabut panduan keuangan untuk tahun 2025, karena melihat melemahnya permintaan. Laporan Consumer Price Index ( CPI ) terbaru menunjukkan bahwa tarif penerbangan turun selama tiga bulan berturut-turut, yang sinyal klasik dari menurunnya permintaan.

Penurunan ini juga sejalan dengan merosotnya indeks kepercayaan konsumen, yang semakin memperkuat sinyal bahwa rumah tangga mulai menahan belanja diskresioner. Dalam data April, kategori seperti toko perlengkapan olahraga dan hobi justru mencatatkan penurunan terbesar, yakni 2,5%, meskipun secara proporsi kategori ini masih kecil.

Pengaruh Tarif terhadap Konsumsi AS: Apa yang Terjadi?”

Secara umum, data April bisa dikatakan “mixed”. Di satu sisi ada sinyal pembelian yang ditarik ke depan karena kekhawatiran tarif, ada juga gejala kelelahan konsumen dan penyesuaian dari lonjakan Maret. Namun terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa konsumen AS telah kehilangan daya dorong sepenuhnya.

Dari sisi makro ekonomi, kondisi neraca rumah tangga di AS masih solid, tingkat pengangguran rendah, dan rata-rata pendapatan masih tumbuh positif. Ini menjadi bantalan penting bagi perekonomian dalam menghadapi ketidakpastian jangka pendek. Namun jika tarif tinggi terus bertahan dan negosiasi dagang tak kunjung menghasilkan kepastian, tekanan terhadap konsumsi bisa menjadi lebih luas dan dalam.

Data Ritel sebagai Leading Indicator Baru

Pasar keuangan global kini memberi perhatian ekstra pada laporan penjualan ritel sebagai salah satu leading indicator terhadap dampak lanjutan dari perang dagang. Meskipun laporan April menunjukkan pola tarik-ulur antara kekuatan dan kehati-hatian konsumen, tren beberapa bulan ke depan akan lebih menentukan apakah ekonomi AS mampu meng antisipasi tekanan tarif tanpa kehilangan momentum.