(Vibiznews – Economy & Business) Ancaman mantan Presiden Amerika Serikat, Donald J. Trump, untuk mengenakan tarif impor sebesar 50% terhadap seluruh produk asal Uni Eropa (UE) yang awalnya berlaku mulai 1 Juni dan diundur menjadi tanggal 9 Juli, kembali membuka babak baru ketegangan perdagangan lintas Atlantik. Dalam permainan diplomasi dagang berisiko tinggi ini, pertanyaannya kini adalah: apakah dunia akan menyaksikan lahirnya kesepakatan atau justru ledakan baru dalam perang dagang global?
Strategi Dua Arah Uni Eropa: Kompromi atau Eskalasi
Dalam upaya meredam ketegangan, Uni Eropa telah menunda tindakan pembalasan hingga 14 Juli serta menawarkan proposal perdagangan bernilai €50 miliar. Paket tersebut mencakup pembelian gas alam cair (LNG) dan kedelai dari Amerika Serikat sebagai langkah konkret untuk mengurangi defisit neraca dagang bilateral. Selain itu, Uni Eropa mengusulkan penghapusan tarif impor secara timbal balik untuk mobil dan barang industri.
Tidak berhenti di sana, Brussel juga menawarkan bentuk kerja sama yang lebih strategis. Proposal mencakup kolaborasi dalam pengembangan energi, kecerdasan buatan, infrastruktur digital, serta komitmen terhadap isu-isu global seperti hak tenaga kerja internasional, standar lingkungan, dan keamanan ekonomi. Namun, di tengah berbagai penawaran tersebut, belum jelas apa sebenarnya yang menjadi tuntutan spesifik dari pihak AS agar kesepakatan dapat benar-benar dicapai.
Pemerintahan Trump dikenal karena kebijakan yang bisa berubah dalam waktu singkat. Hal ini memperumit proses negosiasi dan memperbesar risiko kebuntuan.
Siapa yang Lebih Diuntungkan?
Meski tarif rata-rata antara kedua belah pihak relatif seimbang, perbedaan sektorial menjadi sumber ketegangan. Sebagai contoh, Uni Eropa menerapkan tarif sebesar 10% untuk mobil penumpang dari AS, sementara Amerika hanya mengenakan tarif sebesar 2,5% untuk mobil dari Eropa. Namun, tarif kendaraan ringan AS mencapai 25%, jauh lebih tinggi dibandingkan tarif serupa di Eropa yang berada pada level 10%.
Dari sisi neraca perdagangan barang, Uni Eropa mencatat surplus sebesar €198,2 miliar dengan Amerika Serikat pada tahun 2024. Namun, ketika sektor jasa dimasukkan ke dalam perhitungan, Amerika Serikat justru unggul. AS menikmati surplus jasa sebesar €109 miliar (data 2023), sebagian besar dari ekspor layanan teknologi informasi, lisensi kekayaan intelektual, dan jasa keuangan. Fakta ini menunjukkan hubungan dagang yang kompleks dan saling menguntungkan, namun tetap menjadi bahan perdebatan di tingkat politik.
Apakah Masih Ada Peluang Terbuka untuk Kesepakatan?
Meski retorika Trump terdengar keras, sejarah menunjukkan bahwa ancaman tarif sering kali digunakan sebagai alat tawar-menawar. Hal serupa pernah terjadi dalam negosiasi dagang antara AS dan China pada awal Mei lalu, yang pada akhirnya menghasilkan “kesepakatan akhir pekan” berupa penundaan, bukan penyelesaian permanen.
Namun, hubungan antara AS dan Uni Eropa memiliki dinamika yang berbeda. Strategi Uni Eropa cukup konsisten: tetap terbuka terhadap negosiasi sembari menyiapkan paket balasan yang dapat diterapkan jika perundingan gagal.
Langkah-langkah balasan tersebut sudah disusun dan siap diterapkan pada 14 Juli. Selain tarif balasan, Uni Eropa juga mempertimbangkan tindakan non-tarif seperti pengetatan regulasi terhadap perusahaan teknologi AS, pembatasan akses dalam pengadaan publik, hingga pembatasan hak kekayaan intelektual dan arus investasi melalui instrumen kebijakan bernama Instrumen Anti-Paksaan (Anti-Coercion Instrument /ACI).
Pasar Finansial Bereaksi: Ketidakpastian Kembali Meningkat
Respon pasar terhadap ancaman tarif ini tergolong cepat dan tajam. Indeks saham utama Eropa seperti Euro Stoxx 50 mencatat penurunan hampir 3% pada hari pengumuman, sementara saham sektor otomotif melemah hingga 4–5%. Penurunan ini mencerminkan kekhawatiran investor terhadap potensi dampak ekonomi dan gangguan rantai pasok global.
Di pasar obligasi, suku bunga swap euro tenor dua tahun turun 6 basis poin. Penurunan ini menunjukkan ekspektasi pasar bahwa Bank Sentral Eropa (ECB) kemungkinan besar akan menambah siklus pelonggaran moneternya tahun ini, dengan total penurunan suku bunga sebesar 62 basis poin kini mulai diperkirakan.
Pasar mata uang juga tidak luput dari dampak. EUR/USD sempat turun 0,6% sebelum akhirnya rebound, seiring dengan meningkatnya spekulasi bahwa tarif 50% ini mungkin hanya ancaman politis semata. EUR/JPY juga melemah karena pelaku pasar memperkirakan yen Jepang akan menjadi aset pelarian utama jika terjadi arus keluar dolar selama musim panas. Sementara itu, EUR/GBP turun ke level terendah sejak awal April, menyusul keberhasilan Inggris mengamankan kesepakatan dagang yang lebih stabil.
Dampak Terhadap Ekonomi Jangka Menengah: Risiko Stagflasi dan Resesi
Jika ancaman tarif sebesar 50% ini benar-benar diterapkan secara penuh, dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi bisa sangat serius. Para ekonom memperkirakan kebijakan ini akan mengurangi pertumbuhan PDB zona euro sekitar 0,6 poin persentase. Penurunan ini cukup untuk mendorong kawasan tersebut ke dalam resesi teknikal, terlebih mengingat kondisi ekonomi Eropa yang sudah rapuh pasca pandemi dan krisis energi.
Bagi Amerika Serikat sendiri, langkah ini juga berisiko menciptakan tekanan stagflasi—yakni kombinasi inflasi tinggi dan pertumbuhan ekonomi rendah. Tarif yang tinggi berpotensi meningkatkan harga barang impor dari Eropa, sementara langkah pembalasan dari UE akan menghambat ekspor AS, terutama di sektor jasa dan teknologi yang selama ini menjadi sumber surplus.
Investor dan Dunia Usaha Bersiap Hadapi Babak Baru
Bagi para pelaku pasar dan dunia usaha, ketegangan dagang ini menggaris bawahi pentingnya strategi meminimalkan risiko . Perusahaan multinasional harus mempertimbangkan diversifikasi sumber bahan baku dan pasar tujuan ekspor, serta bersiap menghadapi gangguan logistik dan regulasi lintas batas yang lebih ketat.
Dari perspektif investor, volatilitas yang meningkat berarti portofolio harus lebih defensif. Aset lindung nilai seperti obligasi pemerintah dan emas mungkin kembali diminati. Sementara itu, mata uang safe haven seperti yen Jepang dan franc Swiss diperkirakan akan mendapatkan dorongan.
Krisis ini menunjukkan bahwa hubungan dagang antara Amerika Serikat dan Uni Eropa masih jauh dari kestabilan jangka panjang. Meskipun kesepakatan masih mungkin tercapai dalam menit-menit terakhir, ancaman tarif 50% telah memberikan sinyal jelas kepada pelaku pasar: musim panas 2025 bisa menjadi periode yang penuh gejolak bagi perdagangan global.
Kecuali jika ada perubahan pendekatan dari Gedung Putih atau terobosan diplomatik dari Brussel, bulan Juni maupun Juli bisa menjadi bulan yang penuh gejolak bagi pasar saham, obligasi, maupun mata uang. Hal ini disebabkan karena Washington t Uni Eropa dan mitra dagang lainnya melanjutkan negosisasi untuk mengamankan kesepakatan.



