(Vibiznews – Economy & Business) Ketegangan geopolitik yang kembali meningkat di Timur Tengah telah memicu kekhawatiran baru di pasar global. Meskipun harga minyak dunia belum menembus ambang psikologis $100 per barel, lonjakan dua digit dalam satu bulan terakhir telah memicu dampak luas terhadap berbagai sektor komoditas global, mulai dari minyak mentah hingga logam industri seperti aluminium. Tarif pengiriman kapal tanker juga mengalami kenaikan tajam, yang menambah tekanan biaya pada rantai pasok global. Semua ini pada akhirnya akan diteruskan kepada konsumen dalam bentuk inflasi harga barang.
Lonjakan Harga Komoditas di Tengah Ketidakpastian Global
Kenaikan harga minyak dan logam tidak terjadi dalam ruang hampa. Harga aluminium dan komoditas berbasis sumber daya lainnya ikut terdongkrak oleh sentimen pasar yang semakin hati-hati terhadap potensi eskalasi konflik di Timur Tengah, khususnya jika jalur vital seperti Selat Hormuz terganggu. Tarif pengiriman untuk kapal tanker minyak mentah juga meningkat, mengindikasikan bahwa pasar logistik merespons cepat terhadap potensi gangguan pasokan energi global.
Meskipun lonjakan harga ini mengkhawatirkan, sebagian analis menilai kondisi ini bisa bersifat sementara. Laporan terbaru Bank Dunia memperkirakan perlambatan pertumbuhan ekonomi global pada 2025, dengan proyeksi pertumbuhan hanya 2,3%, turun hampir setengah poin persentase dibandingkan perkiraan sebelumnya. Secara teoritis, pertumbuhan ekonomi yang melambat akan menurunkan permintaan energi dan komoditas, sehingga memberi tekanan turun pada harga.
Namun, seperti biasa, realitas pasar jauh lebih kompleks daripada teori.
Faktor Baru: Belanja Militer NATO dan Stimulus dari China
Dua faktor global kini muncul sebagai pendorong tambahan yang dapat memperkuat permintaan atas komoditas, justru di tengah perlambatan ekonomi global.
- NATO diperkirakan akan mengumumkan inisiatif besar dalam memperkuat kapabilitas pertahanannya dalam KTT mendatang. Ini akan mendorong negara-negara anggota untuk menaikkan belanja militer mereka, yang pada akhirnya meningkatkan permintaan terhadap logam industri, energi, dan sistem teknologi tinggi.
- China mulai menggelontorkan stimulus fiskal dan moneter sebagai respons terhadap tarif baru yang diberlakukan oleh Amerika Serikat. Upaya untuk menstimulasi konsumsi domestik dan mempercepat investasi infrastruktur kemungkinan besar akan mengerek permintaan terhadap bahan baku seperti baja, tembaga, dan tentu saja minyak bumi. Hal iniakan menambah tekanan terhadap pasar komoditas global yang sudah tegang.
Apakah Dunia Menuju Lonjakan Inflasi Baru?
Lonjakan harga minyak secara historis berkorelasi erat dengan tekanan inflasi. Deutsche Bank, dalam analisis terbarunya, memperingatkan bahwa setiap kenaikan $10 per barel dalam harga minyak dapat menambah inflasi zona euro sebesar 0,4% dan memangkas pertumbuhan PDB sebesar 0,25% pada akhir tahun. Dalam skala global, dampaknya mungkin lebih bervariasi, namun tren ini tentu tidak bisa dianggap sepele.
Lembaga Oxford Economics menawarkan pandangan yang lebih moderat, dengan menyebut bahwa inflasi global bisa bertahan lebih lama dari yang diharapkan jika harga minyak mentah Brent bertahan di kisaran $75 per barel. Meskipun belum tergolong “katastropik,” pemulihan harga minyak ke level ini jelas menjadi perhatian para bank sentral, terutama karena ekspektasi inflasi jangka menengah kembali meningkat.
Kenaikan Biaya Logistik: Ancaman Tambahan
Tak hanya harga energi dan logam, lonjakan biaya pengiriman juga menjadi sumber tekanan tersendiri. Menurut National Institute of Economic and Social Research (NIESR) dari Inggris, kenaikan inflasi tarif pengiriman sebesar 10 poin dapat menambah inflasi sebesar 0,5% di negara-negara OECD ( Organisation for Economic Co-operation and Development ) Meskipun saat ini tarif logistik masih berada di bawah puncaknya pada tahun lalu, tren kenaikan ini telah membebani biaya produksi dan distribusi banyak perusahaan multinasional.
Kenaikan biaya logistik sering kali berdampak langsung pada harga barang konsumsi, karena perusahaan terpaksa meneruskan beban tersebut kepada konsumen akhir. Jika tren ini berlanjut, tekanan inflasi bisa menyebar lebih luas dan mempersulit strategi disinflasi yang tengah dijalankan banyak bank sentral, seperti ECB dan Bank of England.
Respon Pasar: Emas Naik, Saham Global Tertekan
Kekhawatiran investor tercermin dalam pergerakan aset-aset global. Harga emas (XAU/USD) melonjak tajam karena permintaan safe haven meningkat, sementara indeks saham seperti S&P 500 mengalami koreksi. Ini adalah reaksi klasik pasar terhadap ketidakpastian geopolitik, di mana investor menarik modal dari aset berisiko dan memarkirkannya ke aset lindung nilai.
Namun, respons pasar tetap dinamis. Penurunan harga minyak yang terjadi pada hari Senin, sebagai contoh, telah membantu meredakan ketegangan inflasi dalam jangka pendek. Sentimen pasar kini berayun antara kekhawatiran terhadap eskalasi lebih lanjut dan harapan akan stabilisasi diplomatik di kawasan Timur Tengah.
Ancaman Selat Hormuz dan Ketergantungan Energi Global
Salah satu risiko terbesar yang terus dibayangi pasar adalah kemungkinan terganggunya Selat Hormuz yang merupakan jalur laut strategis yang mengalirkan sekitar 20% pasokan minyak dunia. Jika konflik di kawasan tersebut menyebabkan penutupan selat ini, maka harga minyak bisa melonjak tajam dalam waktu singkat, memicu efek domino pada inflasi, neraca perdagangan, dan pertumbuhan ekonomi global.
Dalam skenario semacam ini, negara-negara pengimpor energi utama seperti India, Jepang, dan Eropa akan berada dalam posisi sangat rentan. Strategi diversifikasi pasokan dan peningkatan cadangan strategis menjadi semakin penting untuk menjaga stabilitas energi dan fiskal.
Mengelola Risiko dengan Perspektif Makro
Krisis Timur Tengah, meskipun belum meledak menjadi konflik skala penuh, telah cukup mengguncang pasar global dan memicu kekhawatiran baru terkait inflasi dan perlambatan ekonomi. Lonjakan harga minyak, logam, dan tarif logistik menjadi tantangan baru bagi para pembuat kebijakan, terutama di saat bank sentral berusaha menjaga keseimbangan antara menurunkan inflasi dan mendukung pertumbuhan ekonomi.
Dalam jangka pendek, volatilitas akan tetap tinggi, dan respons fiskal maupun moneter perlu disesuaikan secara adaptif. Sementara itu, ketahanan ekonomi global akan sangat tergantung pada kemampuan negara-negara utama seperti dari AS dan China hingga Eropa, untuk merespons gejolak geopolitik ini dengan kerja sama, ketegasan kebijakan, dan strategi jangka panjang yang berorientasi pada stabilitas energi dan produktivitas industri.



