Tarif Trump Mengguncang Asia Berlaku 1 Agustus : Indonesia, Malaysia, Thailand Masuk Daftar

432

(Vibiznews – Economy & Business) Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan bahwa impor dari 14 negara akan dikenakan tarif tinggi mulai 1 Agustus 2025, memicu ketidakpastian baru di pasar global. Dalam serangkaian unggahan di media sosial pada Senin, Trump membagikan tangkapan layar surat resmi yang ditujukan kepada para pemimpin Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Kazakhstan, Afrika Selatan, Laos, Myanmar, Tunisia, Bosnia dan Herzegovina, Indonesia, Bangladesh, Serbia, Kamboja, dan Thailand.

Surat tersebut menyatakan tarif baru yang akan diterapkan terhadap barang-barang dari negara-negara tersebut, dengan tarif bervariasi antara 25% hingga 40%. Trump menandatangani perintah eksekutif pada hari yang sama untuk menunda penerapan tarif “timbal balik” (reciprocal tariffs) ke tanggal 1 Agustus dari jadwal semula 9 Juli.

Dalam surat yang diunggah, impor dari Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Kazakhstan, dan Tunisia akan dikenakan tarif 25%. Sementara itu, Afrika Selatan dan Bosnia akan dikenakan tarif 30%, dan Indonesia menghadapi tarif khusus sebesar 32%. Bangladesh dan Serbia akan menghadapi tarif 35%, Kamboja dan Thailand 36%, sedangkan Laos dan Myanmar akan dikenakan tarif tertinggi yaitu 40%.

Surat-surat tersebut juga menyatakan bahwa Amerika Serikat “mungkin” akan mempertimbangkan penyesuaian tarif di masa depan, “tergantung pada hubungan kami dengan negara Anda.” Seluruh surat tersebut dikirimkan sebelum tenggat Rabu pekan ini, ketika tarif timbal balik Trump seharusnya kembali ke tingkat tinggi yang diumumkan pada awal April.

Juru bicara Gedung Putih Karoline Leavitt menyampaikan bahwa masih akan ada lebih banyak surat tarif yang dikirimkan ke negara-negara lain dalam beberapa hari mendatang. Penundaan hingga 1 Agustus disebut berdasarkan “informasi tambahan dan rekomendasi dari berbagai pejabat senior.”

Dampak Terhadap Pasar Keuangan

Pengumuman tarif ini menambah tekanan di pasar keuangan Amerika Serikat. Pada penutupan perdagangan Senin, Dow Jones Industrial Average turun 422,17 poin atau 0,94% ke level 44.406,36. S&P 500 melemah 0,79% ke 6.229,98, dan Nasdaq Composite turun 0,92% menjadi 20.412,52. Penurunan ini mencerminkan kekhawatiran investor terkait potensi perang dagang yang lebih luas, gangguan rantai pasok, serta meningkatnya biaya impor bagi pelaku industri.

Bagi sebagian besar negara, tarif baru tersebut relatif mirip dengan tingkat tarif yang diterapkan setelah Trump mengumumkan tarif “hari pembebasan” (liberation day) pada 2 April lalu. Misalnya, saat itu impor Jepang dikenakan tarif 24%, dan Korea Selatan 25%. Namun, pada 9 April, Trump mengumumkan jeda selama 90 hari, yang menurunkan semua tarif sementara menjadi flat 10%. Jeda tersebut awalnya akan berakhir pekan ini sebelum akhirnya diperpanjang lebih dari tiga minggu.

Tarif Tambahan di Luar Tarif Sektoral

Pemerintah AS menekankan bahwa tarif selimut (blanket tariff) ini berbeda dari tarif sektoral yang dikenakan pada produk-produk tertentu. Surat tersebut juga mengingatkan negara-negara penerima agar tidak mencoba menghindari tarif dengan transshipment, yaitu mengalihkan pengiriman melalui negara ketiga untuk mengurangi beban tarif. Praktik tersebut akan membuat barang tetap dikenakan tarif tinggi sesuai asal produksinya.

Tarif ini, menurut Trump, diperlukan untuk memperbaiki defisit perdagangan Amerika Serikat dengan negara-negara tersebut. Trump selama ini dikenal skeptis terhadap kesepakatan perdagangan bebas dan menganggap defisit perdagangan sebagai bukti bahwa AS dirugikan. Namun, banyak ekonom berpendapat defisit tidak selalu merugikan, tergantung struktur konsumsi, nilai tukar, dan arus modal negara.

Menariknya, tidak semua negara dalam daftar memiliki surplus perdagangan besar terhadap AS. Menurut Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR), pada 2024, defisit barang AS dengan Jepang mencapai US$68,5 miliar dan Korea Selatan US$66 miliar. Namun, defisit dengan Myanmar hanya US$579,3 juta.

Komoditas Utama yang Terdampak

AS mengimpor mobil, mesin, dan elektronik dari Jepang dan Korea Selatan. Kazakhstan mengekspor minyak mentah dan paduan logam. Malaysia mengekspor komponen elektronik, sedangkan Afrika Selatan mengirimkan logam mulia. Laos mengekspor serat optik, kaca, dan pakaian, sementara Myanmar dikenal sebagai eksportir kasur dan produk bedding.

Surat tersebut juga berisi ancaman tarif balasan apabila negara-negara tersebut memutuskan untuk menaikkan tarif mereka atas produk AS. “Jika Anda menaikkan tarif Anda, maka tarif kami juga akan dinaikkan sebesar angka yang sama ditambahkan ke tarif saat ini,” demikian bunyi surat tersebut.

Trump juga menekankan bahwa apabila negara-negara tersebut menghapus kebijakan tarif, non-tarif, dan hambatan perdagangan mereka, maka AS akan mempertimbangkan penyesuaian tarif. “Tarif ini dapat diubah, naik atau turun, tergantung pada hubungan kami dengan negara Anda,” tulis surat itu. “Anda tidak akan pernah kecewa dengan Amerika Serikat.”

Progres Perundingan Perdagangan

Setelah Trump menerapkan jeda tarif selama tiga bulan di April, pemerintahannya mengklaim dapat menyelesaikan hingga 90 kesepakatan dagang dalam 90 hari. Namun, menjelang berakhirnya masa jeda, AS baru mengumumkan kerangka kesepakatan umum dengan Inggris dan Vietnam, serta perjanjian awal dengan Tiongkok.

Kesepakatan awal dengan Vietnam disebut menetapkan tarif 20% untuk impor Vietnam ke AS, dan tarif transshipment 40%, sementara produk AS memperoleh akses bebas tarif ke pasar Vietnam. Ini menimbulkan kritik luas di kalangan pebisnis ASEAN yang menilai kebijakan tersebut berpotensi mendistorsi arus perdagangan di kawasan.

Tantangan Hukum

Kebijakan tarif timbal balik Trump sempat dibatalkan pada Mei oleh pengadilan distrik federal AS yang memutuskan bahwa presiden tidak memiliki kewenangan hukum untuk menetapkan tarif seluas itu berdasarkan undang-undang darurat yang ia gunakan. Namun, pemerintahan Trump mengajukan banding, dan pengadilan banding federal memutuskan bahwa tarif tetap berlaku selama proses hukum berjalan.

Dampak Terhadap Makro Ekonomi Global

Keputusan ini meningkatkan risiko fragmentasi perdagangan global di tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia. Tarif tinggi akan menambah beban biaya produksi AS, mengganggu supply chain regional, dan berpotensi memicu kebijakan balasan. Negara-negara seperti Indonesia, Thailand, Malaysia, dan Vietnam selama ini menempati posisi strategis dalam rantai pasok elektronik, otomotif, dan tekstil AS.

Selain itu, kenaikan tarif dapat memicu inflasi impor di AS dan menambah tekanan terhadap kebijakan moneter The Fed, yang saat ini menahan suku bunga tinggi untuk menurunkan inflasi inti. Sementara bagi negara-negara eksportir, potensi penurunan volume ekspor ke pasar AS dapat menekan surplus neraca berjalan, nilai tukar, dan kinerja manufaktur mereka.

Dengan jadwal tarif baru yang efektif mulai 1 Agustus, pelaku pasar kini menantikan respons kebijakan dari pemerintah-pemerintah Asia dan Afrika yang terdampak, serta potensi negosiasi ulang di sela kampanye pemilu AS menjelang November. Banyak analis menilai bahwa kebijakan proteksionisme ekstrem dapat menjadi sumber ketidakpastian utama bagi outlook ekonomi global pada paruh kedua 2025.