Prospek Kebijakan Empat Bank Sentral Utama Dunia dalam Beberapa Bulan Mendatang

375

(Vibiznews-Economy)

Kebijakan moneter empat bank sentral utama dunia :

  1. Federal Reserve
  2. European Central Bank (ECB)
  3. Bank of England (BoE)
  4. Bank of Japan (BoJ)

Ke empat bank setral utama dunia ini terus menjadi pusat perhatian para pelaku pasar global. Di tengah ketegangan perdagangan, tekanan geopolitik, dan inflasi yang bergerak fluktuatif, arah suku bunga dan strategi kebijakan moneter mereka akan menentukan stabilitas pasar keuangan, nilai tukar, hingga prospek investasi dalam beberapa bulan ke depan. Berikut analisis terbaru mengenai potensi langkah yang akan diambil oleh keempat bank sentral tersebut hingga 2026.

Federal Reserve (The Fed)

Presiden AS Donald Trump terus mendesak Federal Reserve untuk memangkas suku bunga, terutama setelah beberapa anggota FOMC yang ditunjuk pada masa kepresidenannya pertama yakni Chris Waller dan Michelle Bowman memberi sinyal terbuka untuk mendukung pemangkasan suku bunga secepatnya bulan ini. Namun, laporan ketenagakerjaan AS yang lebih kuat dari ekspektasi baru-baru ini, serta ketidakpastian mengenai besarnya dampak tarif impor terhadap inflasi, membuat kemungkinan penurunan suku bunga dalam waktu dekat menjadi kecil.

Ketua The Fed Jerome Powell, ketika berbicara di hadapan Kongres pada akhir Juni lalu, menyatakan bahwa pihaknya “berada pada posisi yang baik untuk menunggu dan melihat lebih banyak data tentang arah perekonomian sebelum mempertimbangkan penyesuaian kebijakan.” Saat ini pasar mengantisipasi dua kali penurunan suku bunga sebesar 25 basis poin (bp) pada tahun ini, kemungkinan besar di pertemuan FOMC September dan Desember.

Diperkirakan The Fed hanya akan mempertimbangkan penurunan pada September jika data ketenagakerjaan menunjukkan pelemahan yang sangat signifikan, mengingat periode Juli hingga September merupakan masa di mana efek tarif impor berada pada puncaknya dan masih mengalir ke harga konsumen.

The Fed sebelumnya sempat mendapat kritik tajam ketika menyebut inflasi bersifat “sementara” pasca pandemi, tetapi ternyata melonjak hingga 9% pada 2022. Oleh karena itu, mereka cenderung menunggu kepastian bahwa tarif impor tidak akan mendorong inflasi permanen sebelum data CPI Oktober-November dirilis. The Fed kemungkinan akan menunggu hingga Desember sebelum menurunkan suku bunga, dan mungkin langsung memangkas sebesar 50bp jika data ketenagakerjaan melemah signifikan.

Dengan ekspektasi inflasi yang lebih rendah pada 2026 akibat lemahnya pertumbuhan upah, berakhirnya efek tarif dalam perhitungan tahunan, serta biaya perumahan yang lebih moderat, The Fed diperkirakan dapat menurunkan suku bunga hingga ke level sekitar 3.25% pada musim panas 2026.

European Central Bank (ECB)

Keputusan ECB pada Juni lalu untuk memangkas suku bunga kebijakan utamanya ke level 2% seharusnya menempatkan bank sentral Eropa ini pada posisi yang relatif nyaman untuk menahan kebijakan selama beberapa bulan mendatang. Namun, kondisi tersebut menjadi kurang nyaman belakangan ini karena penguatan euro yang berkelanjutan.

Mata uang euro yang lebih kuat bertindak seperti tarif tambahan di tengah tensi perdagangan saat ini, dan meningkatkan risiko inflasi berada di bawah target. Karena itu, kemungkinan besar ECB tidak akan dapat mempertahankan suku bunga di level saat ini terlalu lama dan akan melanjutkan pelonggaran kebijakan moneter melalui pemangkasan suku bunga.

Pertanyaannya kini bukan lagi apakah ECB akan memangkas suku bunga lagi, melainkan kapan dan seberapa besar. Jika ketegangan perdagangan kembali meningkat dan prospek pertumbuhan zona euro memburuk, ECB diperkirakan akan memangkas suku bunga lebih cepat dan dengan besaran yang lebih agresif. Namun jika ketegangan perdagangan mereda tanpa eskalasi signifikan, inflasi tetap pada tren disinflasi baru-baru ini, dan stimulus fiskal berhasil mengangkat kembali pertumbuhan dan inflasi pada 2026, maka pemangkasan suku bunga berikutnya kemungkinan hanya satu kali pada September.

Bank of England (BoE)

Bank of England masih menunjukkan keengganan untuk mempercepat pelonggaran kebijakan moneternya, meskipun hal ini bisa berubah dalam waktu dekat. Data ketenagakerjaan terbaru, meskipun masih berpotensi direvisi, menunjukkan sinyal pelemahan yang mengkhawatirkan. Pertumbuhan upah juga mulai menunjukkan tanda-tanda melambat, sedangkan inflasi jasa yang merupakan salah satu indikator utama bagi BoE diperkirakan akan turun mendekati 4% dari sebelumnya sekitar 5% seiring berjalannya waktu.

Untuk saat ini,  perkembangan tersebut belum cukup untuk mendorong percepatan laju pemangkasan suku bunga, namun data ini menguatkan ekspektasi pasar akan pemangkasan suku bunga secara bertahap sebesar 25bp setiap kuartal sepanjang sisa tahun ini hingga 2026.

Pasar memprediksi pemangkasan berikutnya dilakukan Agustus, disusul pada November, dengan suku bunga terminal (terminal rate) mencapai 3.25% pada pertengahan 2026. Namun, jika jumlah pegawai yang digaji (payrolled employees) terus turun lebih cepat dari ekspektasi, suku bunga bisa saja mencapai level terminal tersebut lebih awal, bahkan pada akhir tahun ini.

Bank of Japan (BoJ)

Bank of Japan diperkirakan akan tetap berhati-hati dalam mempertimbangkan kenaikan suku bunga dalam waktu dekat. Kekhawatiran utama BoJ adalah kesulitan memperkirakan dampak penuh dari tarif impor AS terhadap perekonomian Jepang, mengingat tingginya tingkat ketidakpastian.

Negosiasi perdagangan AS-Jepang saat ini diperpanjang hingga Agustus, dengan tarif balasan naik tipis ke 25%, kecuali terjadi perubahan signifikan pada situasi perdagangan global. Dalam kondisi ini, BoJ kemungkinan besar akan mempertahankan suku bunga kebijakannya pada pertemuan Juli mendatang.

Selain faktor eksternal, dinamika politik domestik juga menambah ketidakpastian kebijakan moneter Jepang. Pemilu majelis tinggi (Upper House) dijadwalkan pada 20 Juli, dan jajak pendapat terbaru menunjukkan koalisi partai berkuasa mungkin tidak berhasil mempertahankan mayoritas. Pemerintah Jepang pun cenderung berhati-hati dalam memberi konsesi pada AS, terutama karena kebijakan perdagangan AS menyentuh sektor-sektor sensitif seperti impor produk pertanian, termasuk beras, yang merupakan komoditas penting bagi basis pendukung utama partai berkuasa.

Jika koalisi pemerintah gagal mempertahankan mayoritas, maka diperlukan restrukturisasi kabinet. Partai oposisi utama mendukung pemotongan pajak konsumsi dan sikap fiskal yang lebih hati-hati, yang dapat menambah kompleksitas dalam keputusan kebijakan BoJ ke depannya.

Ke depan, fokus pasar akan tertuju pada data inflasi dan ketenagakerjaan sebagai indikator utama bagi bank sentral untuk menentukan arah kebijakan berikutnya. Ketidakpastian global akibat tarif perdagangan AS, dinamika politik di Jepang, penguatan euro, serta pelemahan pasar tenaga kerja Inggris menegaskan bahwa kebijakan moneter tetap menjadi instrumen krusial untuk menjaga pertumbuhan dan stabilitas harga.