Inflasi AS: Kenapa Harga Tetap Tinggi Meski Angka Mulai Mereda

451
klaim pengangguran
Vibizmedia Photo

(Vibiznews – Economy & Business) Inflasi di Amerika Serikat terus menjadi topik hangat yang tidak hanya mempengaruhi kehidupan sehari-hari warga AS, tetapi juga berdampak global pada kebijakan moneter dan ekonomi dunia. Meskipun tekanan harga sempat mereda sejak puncaknya pada 2022, berbagai faktor struktural dan eksternal masih mendorong biaya hidup naik secara signifikan. Dari kekurangan pasokan kendaraan, gangguan iklim ekstrem, hingga harga asuransi dan obat-obatan yang melambung, berbagai penyebab saling berkelindan menciptakan tantangan inflasi yang kompleka. Beberapa faktor utama penyebab inflasi di AS, bukan hanya dari sisi data, tetapi juga dari perspektif struktural dan sosial yang sering terabaikan.

  1. Mobil Baru & Bekas: Krisis Semikonduktor Jadi Biang Kerok

Pandemi COVID-19 memicu krisis global chip, mengganggu produksi mobil antara 2020–2023. Tiap mobil modern mengandung antara 1.400 hingga 3.500 chip Akibatnya, penjualan mobil baru di AS turun lebih dari 20% pada Q2 2022, seiring kelangkaan semikonduktor memaksa pabrik berhenti produksi

Krisis ini menciptakan kekosongan pasokan yang berlebihan. Harga mobil baru meningkat hingga 12%, sedangkan harga mobil bekas melonjak hingga 45% antara 2021–2022 Sebagian besar kenaikan ini masih bertahan karena permintaan tetap tinggi dan persediaan masih terbatas. JP Morgan memperkirakan hanya sedikit pelonggaran dan harga diperkirakan turun 2,5–5% pada 2023, tetapi tetap di atas level pra-pandemi

  1. Asuransi Rumah: Bencana Iklim Menekan Premi

Dari 2017 hingga 2021, rata-rata premi asuransi rumah di AS naik sebesar 11–20% per tahun meskipun inflasi umum hanya 7–9% . Hal ini disebabkan oleh karena bencana alam seperti angin puting beliung, banjir, dan kebakaran hutan meningkat drastis secara frekuensi dan kekuatan, memaksa underwriter menyesuaikan risiko dan premi.

Hingga 2023, rumah-rumah kehilangan dari bencana berjumlah miliaran dolar, mendorong kerugian bersih pada perusahaan asuransi hingga USD 15,9 miliar  melonjak dari USD 6,4 miliar pada 2017 Kenaikan premi ini secara langsung mempercepat inflasi di sektor shelter dan biaya risiko yang selanjutnya membebani konsumen.

  1. Telur dan Daging Sapi: Wabah Avian Flu dan Kekeringan

Wabah flu burung sejak 2022 menyebabkan lebih dari 169 juta ayam dimusnahkan di AS. Akibatnya, penurunan populasi ayam menyebabkan produksi telur drop tajam yang menekan pasokan dan berdampak langsung pada kenaikan harga telur.

Di sisi lain, kekeringan yang intens dan perubahan iklim memaksa peternak sapi memangkas jumlah ternak, sementara biaya makanan ternak, sewa lahan, dan tenaga kerja terus meningkat. Kombinasi ini mendorong harga daging sapi melambung, memicu kenaikan pada inflasi pangan global.

  1. Sistem Kesehatan: Biaya Tinggi dan Regulasi yang Terperangkap

Sistem kesehatan AS dikenal paling mahal di dunia, biayanya dua kali lipat rata-rata global tapi hasilnya lebih buruk . Model asuransi berbasis pekerjaan memperkuat dominasi perusahaan dan pelobi, menghasilkan harga medis dan premi asuransi yang terus naik.

Selain itu, harga obat resep di AS terus membumbung karena sistem Pharmacy Benefit Managers (PBM) dan regulasi yang tumpang tindih. Peningkatan margin dan kurangnya batasan menyebabkan harga obat naik secara tahunan dengan laju dua digit. AS bahkan menjadi salah satu dari dua negara yang membuka iklan televisi untuk obat resep. Hal ini menunjukkan betapa sistem dilematis dan rentan pada kepentingan korporat .

  1. Tarif Impor: Pajak Konsumsi Tak Tampak Tapi Efektif

Kebijakan tarif Presiden Trump menaikkan tarif impor hingga 15–25%, bahkan mencapai 60% untuk beberapa negara seperti China, Mexico dan Kanada

Fueled analysis memperkirakan tambahan tarif ini dapat menaikkan inflasi inti (core PCE) hingga 0,5 –2 poin persentase tergantung respon markup di retailer dan importir Efek ini disebut “pajak berkelanjutan”, karena meski hanya muncul sekali dalam CPI, harga tetap lebih tinggi selama tarif berlanjut.

Deutsche Bank memperingatkan hanya konsumen AS yang menanggung beban tarif ini, importir menurunkan margin dulu untuk sementara waktu, tetapi kenaikan harga akhir tetap akan tiba ketika inventori pasca tarif habis

  1. Pasokan Barang Stabil, Tapi Inflasi Tidak Hilang

Setelah lonjakan inflasi barang inti sebesar 16% dari awal pandemi hingga pertengahan 2023, harga mulai merosot dan stabil pada 2024. Namun, penurunan ini berhenti pada awal 2025 jumlah barang sudah kembali normal, tetapi harga tidak turun lagi .

Artinya, kekurangan pasokan yang sempat memicu lonjakan telah diperbaiki, tetapi biaya yang melekat pada distribusi, tenaga kerja, dan pajak konsumsi telah menempel sebagai baseline. Ini menjelaskan mengapa inflasi tetap stagnan mendekati target 2%, tapi tidak turun lebih lanjut.

  1. Kontribusi Substansial Sektor Perumahan

Menurut data BLS, antara Juni 2024 –Juni 2025, sekitar dua pertiga inflasi tahunan (2,7%) berasal dari kenaikan harga perumahan, termasuk sewa dan penggantian nilai sewa pemilik rumah . Ini berarti perubahan iklim dan tarif konstruksi telah berkontribusi besar terhadap tekanan inflasi di sektor shelter.

  1. Tanggapan The Fed & Proyeksi ke Depan

Federal Reserve diperkirakan menahan suku bunga hingga minimal September 2025, mengingat tekanan inflasi masih melekat meski pasar tenaga kerja yang solid menawarkan fleksibilitas terbatas. Core PCE sebagai indikator favorit The Fed, belum turun di bawah 2,7– 3%, jauh dari target 2% mereka.

Goldman Sachs memproyeksikan inflasi inti akan stabil di kisaran 2,1% akhir 2025, dengan kenaikan tarif hanya menambah sekitar 0,3 poin dalam jangka pendek

Faktor Struktural yang Jauh Lebih Menentukan

Inflasi AS bukan hanya soal pasokan barang atau biaya energi. Ini adalah gabungan antara hambatan produksi, tekanan iklim dan keamanan, harga input sektor makanan dan medis, serta tarif konsumsi

Melihat lebih dalam pada penyebab inflasi di Amerika Serikat saat ini menunjukkan bahwa tekanan harga bukan sekadar akibat lonjakan permintaan atau kebijakan moneter yang longgar, tetapi juga mencerminkan masalah-masalah struktural yang telah lama terabaikan. Dari krisis iklim yang memperparah harga pangan dan asuransi, hingga ketimpangan tenaga kerja dan gejolak geopolitik yang mengganggu rantai pasok global, tantangan inflasi saat ini menuntut respons yang lebih luas dari sekadar menaikkan suku bunga. Untuk menjaga stabilitas harga jangka panjang, AS perlu menggabungkan kebijakan fiskal, investasi infrastruktur, dan reformasi sektor publik secara holistik. Inflasi memang tidak mudah dijinakkan, tetapi dengan strategi yang tepat dan kolaboratif, tekanan ini bisa diubah menjadi momentum bagi pembenahan ekonomi yang lebih berkelanjutan.