Jelang Batas Waktu Tarif Trump 1 Agustus : 8 Negara Sudah Sepakat, Bagaimana Dengan Yang Belum?

223

(Vibiznews – Economy & Business) Penangguhan tarif “resiprokal” oleh Trump akan berakhir yang berarti dunia bisa menghadapi kenaikan tarif sekali lagi. Setelah penangguhan selama berbulan-bulan, pemerintahan Presiden Donald Trump dipastikan akan memberlakukan tarif “resiprokal” mulai 1 Agustus, memicu kekhawatiran akan meningkatnya ketegangan perdagangan internasional. Dari lebih dari 190 negara mitra dagang, hanya segelintir, yakni baru delapan negara dalam 120 hari yang berhasil mencapai kesepakatan dengan Washington, termasuk Uni Eropa, Jepang, dan Vietnam. Sementara itu, negara-negara besar lain seperti India, Kanada, dan Australia masih berada dalam ketidakpastian. Dunia kini dihadapkan pada dilema antara bernegosiasi cepat atau bersiap menghadapi tarif tinggi.

Kenaikan Tarif Mendekat

Pada hari Jumat, dunia akan menghadapi tarif yang lebih tinggi dari pemerintahan Trump, memunculkan kembali kekhawatiran atas ketidakpastian ekonomi global.

Bagi sebagian besar negara, penundaan tarif ini sudah dua kali dilakukan, dari tanggal “Hari Pembebasan” pada 2 April, ke 9 Juli, dan kini ke 1 Agustus.

Pada April lalu, Trump mengklaim dalam wawancara dengan Time Magazine bahwa ia telah membuat “lebih dari 200 kesepakatan,” dan penasihat perdagangan Peter Navarro mengatakan bahwa target “90 kesepakatan dalam 90 hari” mungkin tercapai. Namun, AS jauh dari target itu, hanya menghasilkan delapan kesepakatan dalam 120 hari, termasuk satu dengan Uni Eropa.

Berikut ini adalah posisi terkini berbagai negara dalam hubungan dagangnya dengan AS:

Inggris: Negara Pertama yang Sepakat

Inggris menjadi negara pertama yang menyepakati perjanjian perdagangan dengan AS, tercapai pada bulan Mei. Kesepakatan ini menetapkan tarif dasar 10% untuk barang Inggris, serta kuota dan pengecualian untuk produk-produk seperti mobil dan barang dirgantara.

Namun, meskipun Presiden Trump bertemu dengan Perdana Menteri Keir Starmer di Skotlandia baru-baru ini, beberapa poin kesepakatan masih belum pasti, termasuk tarif atas baja dan aluminium Inggris, yang menurut AS akan dipangkas. Pembicaraan mengenai pajak layanan digital Inggris, yang ingin dihapus oleh Trump, juga masih berlangsung.

Vietnam: Tarif Dipangkas Lebih dari Separuh

Vietnam menjadi negara kedua yang mencapai kesepakatan dengan pemerintahan Trump, diumumkan pada 2 Juli. Tarif terhadap Vietnam dipotong dari 46% menjadi 20%.

Salah satu poin penting adalah tarif 40% atas barang transshipment, yaitu barang dari negara lain yang dikirim ke AS melalui Vietnam. Namun, belum jelas bagaimana hal ini akan diterapkan. Trump juga mengklaim bahwa AS akan mendapatkan akses penuh ke pasar Vietnam.

Pabrik China diketahui menggunakan skema transshipment melalui Vietnam untuk menghindari tarif tinggi terhadap ekspor langsung ke AS.

Namun, menurut laporan Politico, Vietnam terkejut dengan tarif 20% yang diumumkan, karena negosiator mereka mengharapkan hanya 11%.

Indonesia: Mengurangi Hambatan Perdagangan

Dalam kesepakatan yang diumumkan pada 15 Juli, tarif atas Indonesia dipotong menjadi 19% dari 32%.

Gedung Putih menyatakan bahwa Indonesia akan menghapus hambatan tarif atas lebih dari 99% produk AS yang diekspor ke Indonesia di semua sektor, termasuk pertanian dan energi.

Kerangka kerja juga mencakup penghapusan hambatan non-tarif dan hambatan lainnya yang dihadapi AS di pasar Indonesia.

Filipina: Penurunan Marginal

Berbeda dengan negara ASEAN lainnya, Filipina hanya mendapatkan penurunan tarif sebesar satu persen, dari 20% menjadi 19%, yang diumumkan pada 22 Juli.

Menurut Trump, Filipina tidak akan mengenakan tarif atas produk AS, dan dia memuji negara itu karena “membuka pasar” bagi Amerika Serikat.

Trump juga menyebut bahwa Filipina akan bekerja sama secara militer dengan AS, meskipun tanpa detail lebih lanjut. Kedua negara memang sudah menjadi sekutu perjanjian sejak tahun 1951.

Jepang: Fokus pada Beras dan Mobil

Jepang menjadi ekonomi besar kedua di Asia yang menyepakati kesepakatan dengan AS setelah Tiongkok. Pada 23 Juli, tarif atas Jepang dipotong dari 25% menjadi 15%, dan Jepang menjadi negara pertama yang mendapatkan tarif preferensial lebih rendah untuk sektor otomotif.

Trump menyebut kesepakatan ini sebagai “mungkin kesepakatan terbesar yang pernah dibuat,” dan mengklaim bahwa Jepang akan berinvestasi $550 miliar di AS, dengan AS akan “menerima 90% dari keuntungannya.”

Namun, proses menuju kesepakatan ini penuh ketidakpastian, dengan Trump sebelumnya menyatakan tidak yakin bisa mencapai kesepakatan dengan Jepang, bahkan menyebut Jepang sebagai “sulit” dan “dimanja” dalam negosiasi karena tidak menerima beras AS meski mengalami kekurangan beras domestik.

Uni Eropa: Masih Ada Ketidakpuasan

Kesepakatan antara AS dan Uni Eropa tercapai baru beberapa hari lalu, setelah negosiasi panjang. Tarif dasar atas barang UE sekarang menjadi 15%, setengah dari 30% yang sebelumnya diancamkan Trump. Tarif atas mobil akan dikurangi menjadi 15%, dan beberapa produk seperti pesawat dan obat generik akan kembali ke tingkat tarif sebelum Januari.

Namun, kesepakatan ini menuai kritik. Perdana Menteri Prancis, Francois Bayrou, bahkan menyebutnya sebagai “tindakan penyerahan diri” dan “hari yang gelap.” Sementara itu, Komisaris Perdagangan UE, Maros Sefcovic, menyebutnya sebagai “kesepakatan terbaik yang bisa kami capai dalam kondisi sangat sulit.”

Korea Selatan: Tarif 15% dan Investasi

Korea Selatan menjadi negara terbaru yang mencapai kesepakatan pada hari Kamis, dengan ketentuan yang mirip dengan Jepang.

Negara tersebut akan mendapatkan tarif 15% untuk semua ekspor, dan tarif sektor otomotif juga diturunkan menjadi 15%.

Trump menyatakan bahwa Korea Selatan akan memberi AS investasi senilai $350 miliar, yang akan dikendalikan oleh AS dan dipilih langsung olehnya sebagai Presiden.

Menteri Perdagangan AS, Howard Lutnick, mengatakan bahwa “90% keuntungan dari investasi tersebut akan masuk ke rakyat Amerika.”

Namun, Presiden Korea Selatan, Lee Jae Myung, mengatakan dana $350 miliar itu akan digunakan untuk memfasilitasi ekspansi aktif perusahaan Korea di pasar AS, termasuk di industri galangan kapal dan semikonduktor.

China: Masih Dalam Pembicaraan

Pembicaraan dagang antara AS dan China menempuh jalur berbeda. China sebagai ekonomi terbesar kedua dunia, sejak awal menjadi target utama tarif Trump.

Alih-alih kesepakatan, China hanya mencapai serangkaian penangguhan tarif “resiprokal.” Awalnya, tarif yang dikenakan adalah 34% pada “Hari Pembebasan,” lalu melonjak menjadi 145% atas ekspor China ke AS, dan 125% atas ekspor AS ke China.

Namun, pada Mei lalu, setelah pertemuan perdagangan pertama di Jenewa, kedua pihak setuju untuk menurunkan tarif. Gencatan senjata itu berlaku hingga 12 Agustus. Saat ini, China menghadapi tarif gabungan 30%, sementara AS dikenakan tarif 10% oleh China.

Pertemuan terbaru di Stockholm berakhir tanpa perpanjangan gencatan, dan Menteri Keuangan AS menyatakan bahwa perpanjangan hanya bisa dilakukan jika Trump menyetujuinya secara langsung.

 

Negara Tanpa Kesepakatan: Siap-siap Tarif 15–20%

Bagi negara-negara yang belum memiliki kesepakatan, Trump menyatakan bahwa mereka akan dikenakan tarif dasar global sekitar 15%–20%, lebih tinggi dari 10% yang diumumkan pada Hari Pembebasan.

Negara dengan surplus perdagangan terhadap AS kemungkinan akan dikenakan tarif “resiprokal” yang lebih tinggi.

 

Berikut beberapa mitra dagang utama yang belum memiliki kesepakatan perdagangan dengan AS:

India: Tarif dan Sanksi

Pada hari Rabu, Trump mengumumkan tarif 25% terhadap India, ditambah dengan “hukuman” tambahan yang tidak dirinci, karena dianggap memiliki kebijakan perdagangan tidak adil dan membeli alat militer serta energi dari Rusia.

“India adalah teman kita, tapi selama bertahun-tahun kami hanya melakukan sedikit perdagangan dengan mereka karena tarif mereka terlalu tinggi, termasuk yang tertinggi di dunia,” kata Trump di Truth Social.

Tarif 25% ini sedikit lebih rendah dibandingkan 26% yang diumumkan pada Hari Pembebasan, namun tetap di batas atas kisaran 20%–25% yang sebelumnya dipertimbangkan.

Kanada: Dalam Fase Negosiasi Intens

Hubungan perdagangan AS-Kanada sangat fluktuatif dalam beberapa bulan terakhir, dengan Kanada dikenakan tarif bahkan sebelum tarif resiprokal Trump diumumkan.

Kanada kini menghadapi tarif 35% atas berbagai barang mulai 1 Agustus, dan Trump mengancam akan menaikkan tarif ini jika Kanada membalas.

Trump juga menyebut aliran obat-obatan dari Kanada ke AS sebagai salah satu alasan penerapan tarif ini.
Perdana Menteri Kanada, Mark Carney, menyebut bahwa kedua negara kini berada dalam “fase negosiasi yang intens,” dan menurut Reuters, kemungkinan besar kesepakatan apapun tetap akan mencakup tarif.

Meksiko: Belum Ada Kemajuan

Seperti Kanada, Meksiko sudah lama menjadi target tarif Trump, dengan alasan peredaran narkoba dan migrasi ilegal.

Trump menyatakan bahwa Meksiko tidak cukup berupaya mengamankan perbatasan. Meksiko akan dikenai tarif 30%, dan jika negara itu membalas, tarif yang lebih tinggi akan diberlakukan oleh AS.

Pemerintah Meksiko menyatakan bahwa penyelesaian isu ini penting sebelum 1 Agustus, namun hingga kini belum ada tanda-tanda kemajuan berarti.

Australia: Masih di Tarif Dasar

Australia saat ini dikenakan tarif dasar 10%, karena negara ini memiliki defisit perdagangan dengan AS. Namun, tarif tersebut bisa naik menjadi 15%–20% jika Trump memutuskan menaikkan tarif dasar.

Australia belum diketahui secara publik terlibat dalam negosiasi dengan AS.
Perdana Menteri Anthony Albanese dilaporkan berpendapat bahwa defisit perdagangan Australia dengan AS dan perjanjian perdagangan bebas seharusnya cukup untuk mengecualikan Australia dari tarif.

Baru-baru ini, Australia melonggarkan pembatasan atas daging sapi AS, yang diklaim oleh kantor Perwakilan Perdagangan AS sebagai hasil tekanan Trump. Namun, Albanese menyatakan bahwa langkah tersebut bukan karena desakan Trump.

Dengan tenggat waktu tarif yang semakin dekat, banyak negara kini berlomba untuk mengamankan posisi mereka di mata Washington. Namun, proses negosiasi yang sarat tekanan politik dan kepentingan strategis menunjukkan bahwa perang dagang bukan sekadar soal angka dan persentase, melainkan tentang dominasi dan pengaruh ekonomi global. Di tengah situasi yang berubah cepat ini, kesepakatan dagang bukan hanya alat pertukaran, tetapi senjata diplomasi. Dunia hanya bisa menunggu dan melihat apakah gelombang tarif yang baru akan memicu babak baru dalam dinamika perdagangan internasional atau membuka peluang bagi tatanan baru yang lebih kompleks dan penuh kalkulasi.