(Vibiznews – Economy & Business) Kebijakan tarif baru Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang kontroversial kini resmi berlaku terhadap lebih dari 90 negara di seluruh dunia. Langkah ini menandai babak baru dalam pendekatan proteksionis Washington terhadap perdagangan global. Melalui kebijakan tarif yang disebutnya sebagai “resiprokal”, Trump ingin membalikkan apa yang ia anggap sebagai ketimpangan besar dalam sistem perdagangan internasional, di mana AS selama ini disebutnya menjadi pihak yang dirugikan.
Tarif baru tersebut dikenakan terhadap berbagai produk dari negara-negara mitra dagang, mulai dari semikonduktor hingga komoditas energi. Negara-negara seperti India, Brasil, Swiss, Taiwan, dan sejumlah negara Asia Tenggara termasuk di antara yang paling terdampak, dengan tarif yang dikenakan mulai dari 20% hingga 50%. Bahkan, ancaman tarif 100% juga digaungkan untuk beberapa produk, terutama di sektor teknologi tinggi seperti chip komputer.
Tarif, Negosiasi, dan Deadline yang Ketat
Tarif baru ini secara resmi diberlakukan setelah tenggat waktu yang diberikan AS untuk mencapai kesepakatan bilateral berlalu pada 7 Agustus. Pemerintahan Trump sebelumnya telah merilis daftar revisi pajak impor dan memperpanjang tenggat waktu bagi negara-negara mitra dagang untuk merundingkan kesepakatan yang bisa menurunkan atau menghapus tarif yang dikenakan.
Trump mengklaim bahwa kebijakan tarif ini mulai membuahkan hasil. Dalam pernyataan di platform media sosial Truth Social, ia menyebut bahwa miliaran dolar kini mengalir ke kas AS sebagai hasil dari pungutan tarif. Klaim ini menjadi bagian dari narasi Trump bahwa pendekatan proteksionisnya adalah cara untuk memaksa negara lain menghargai posisi ekonomi AS dalam perdagangan global.
Tekanan terhadap India dan Brasil
Salah satu negara yang paling disorot adalah India, yang dikenakan tarif sebesar 50% dan menjadi sasaran tekanan Trump agar menghentikan pembelian minyak dari Rusia. Kebijakan ini dipandang sebagai sinyal kuat bahwa Washington mulai mengubah pendekatannya terhadap negara-negara yang tetap menjalin hubungan dagang dengan Moskwa di tengah ketegangan geopolitik global.
Pemerintah India menyebut langkah ini sebagai “tidak adil, tidak berdasar, dan tidak masuk akal,” serta menyatakan akan melindungi kepentingan nasionalnya. Ketegangan ini berpotensi mempengaruhi hubungan ekonomi yang selama ini cukup stabil antara kedua negara, terutama di sektor teknologi, energi, dan farmasi.
Brasil juga tidak luput dari tekanan tarif. Produk ekspor Brasil ke AS kini dikenai tarif 50% setelah Presiden Trump menuding Presiden Luiz Inácio Lula da Silva menyerang perusahaan teknologi Amerika secara tidak adil. Trump juga mengecam proses hukum terhadap mantan Presiden Brasil Jair Bolsonaro, yang ia sebut sebagai “perburuan penyihir”.
Asia Tenggara: Pukulan Berat bagi Negara Manufaktur
Negara-negara di Asia Tenggara, khususnya yang memiliki ekonomi berbasis ekspor dan manufaktur seperti Laos dan Myanmar, kini menghadapi tarif hingga 40%. Para analis menilai bahwa sebagian negara tersebut ditargetkan karena memiliki hubungan dagang yang erat dengan China, yang telah lama menjadi fokus utama perang dagang Trump.
Langkah ini mempertegas pendekatan agresif AS terhadap negara-negara berkembang yang dianggap mendukung ekspansi ekonomi China. Walau begitu, pasar saham Asia terlihat cukup stabil merespons kabar ini. Indeks saham di Jepang, Hong Kong, Korea Selatan, dan Tiongkok mencatat kenaikan tipis, sementara India dan Australia mengalami pelemahan.
Menurut Bert Hofman, ekonom dari National University of Singapore, tarif-tarif baru ini memberi kepastian setelah berbulan-bulan ketidakpastian pasar. “Ini seharusnya menjadi garis akhir. Setelah ini, kita bisa mulai menganalisis dampak tarif secara sistematis,” ujar Hofman.
Eropa dan Perjanjian Khusus
Beberapa negara berhasil mengamankan kesepakatan yang menghindarkan mereka dari tarif maksimal. Inggris, Jepang, dan Korea Selatan telah menandatangani perjanjian bilateral untuk menurunkan tarif yang sebelumnya diancamkan Trump pada bulan April.
Uni Eropa juga berhasil menyepakati kerangka kerja dengan AS, di mana Brussels menerima tarif sebesar 15% atas ekspor mereka ke AS. Meskipun tarif ini tetap tergolong tinggi, kesepakatan tersebut dianggap lebih baik dibandingkan kemungkinan dikenakan tarif 30% atau lebih.
Namun tidak semua negara di Eropa berhasil lolos. Swiss, misalnya, menghadapi tarif sebesar 39% setelah gagal mencapai kesepakatan dengan Washington. Pemerintah Swiss segera menggelar pertemuan luar biasa untuk membahas dampaknya terhadap perekonomian nasional yang sangat bergantung pada ekspor bernilai tinggi seperti jam tangan, farmasi, dan produk teknologi tinggi.
Taiwan dan Dunia Semikonduktor
Sektor teknologi, terutama industri semikonduktor, menjadi fokus lain dari kebijakan Trump. Ancaman tarif 100% untuk chip komputer buatan luar negeri disampaikan pada Rabu lalu. Namun beberapa raksasa industri seperti TSMC dari Taiwan, serta Samsung dan SK Hynix dari Korea Selatan, dikabarkan lolos dari kewajiban tarif tersebut karena telah melakukan investasi signifikan di AS.
Meski begitu, tarif sebesar 20% tetap diberlakukan terhadap Taiwan, meskipun Presiden Lai Ching-te menyebut bahwa tarif tersebut bersifat sementara dan negosiasi masih berlangsung.
Amerika Utara: Kanada dan Meksiko dalam Tekanan
Trump juga menaikkan tarif terhadap Kanada dari 25% menjadi 35% dengan tuduhan bahwa negara tersebut gagal menindak peredaran narkoba, termasuk fentanil, ke AS. Pemerintah Kanada membantah tudingan tersebut dan menyatakan bahwa pihaknya telah meningkatkan upaya penegakan hukum terhadap jaringan narkoba.
Meski demikian, sebagian besar ekspor Kanada tetap aman dari tarif karena dilindungi oleh Perjanjian Perdagangan Amerika Utara (USMCA), yang juga mencakup Meksiko.
Sementara itu, negosiasi tarif dengan Meksiko diperpanjang selama 90 hari ke depan. Banyak pelaku industri berharap Meksiko dapat mengamankan kesepakatan baru, terutama di sektor otomotif dan pertanian, yang sangat bergantung pada ekspor ke AS.
Cina dan AS: Menanti Keputusan Final
Hubungan dagang antara Amerika Serikat dan Cina juga kembali menjadi perhatian. Kedua negara sedang mengupayakan perpanjangan jeda tarif selama 90 hari yang akan berakhir pada 12 Agustus. Meskipun tidak ada pengumuman resmi dari Gedung Putih, berbagai sumber menyebut pembicaraan berlangsung intensif di belakang layar.
Hasil dari pembicaraan ini sangat dinantikan pelaku pasar global, mengingat besarnya dampak dari ketegangan dagang antara dua ekonomi terbesar dunia tersebut.
Babak Baru Proteksionisme AS
Langkah Presiden Trump memperluas cakupan tarif perdagangan menandai era baru dalam hubungan dagang internasional. Di satu sisi, kebijakan ini dimaksudkan untuk memperkuat posisi AS dalam negosiasi dan menghidupkan kembali industri domestik. Namun di sisi lain, langkah ini berpotensi menciptakan ketegangan baru, mengganggu rantai pasokan global, dan memperburuk hubungan ekonomi bilateral dengan negara-negara mitra strategis.
Dunia kini menanti: apakah strategi tarif ini akan membawa hasil yang diinginkan AS, atau justru memicu gelombang proteksionisme global yang merugikan semua pihak?



