(Vibiznews – Economy & Business) Inflasi kembali menjadi isu utama dalam dinamika ekonomi Amerika Serikat, setelah data bulan Juli menunjukkan adanya tekanan harga yang lebih luas dan persisten. Laporan inflasi terbaru menyoroti bahwa faktor tarif impor serta kenaikan harga di sektor jasa masih memberi dorongan signifikan terhadap laju inflasi, sehingga perjalanan Federal Reserve menuju pemangkasan suku bunga tidak akan semudah yang diperkirakan pasar beberapa bulan lalu.
Inflasi Bergerak Naik Lagi
Hampir dua bulan lalu, sejumlah analis memperingatkan adanya risiko “complation”, yakni terlalu banyak rasa puas diri terhadap tren penurunan inflasi. Saat itu, data inflasi bulan Mei tidak menunjukkan dampak berarti dari tarif impor yang diberlakukan pemerintah. Namun, situasi berbeda terlihat sekarang. Indeks Harga Konsumen (Consumer Price Index/CPI) menunjukkan kenaikan tahunan (year-on-year/y/y) yang lebih tinggi, baik untuk headline maupun core CPI yang mengecualikan makanan dan energi.
Data terbaru menempatkan inflasi headline pada 2,7% y/y dan core CPI pada 3,1% y/y. Keduanya lebih tinggi dibanding bulan-bulan sebelumnya, menandakan inflasi kembali menanjak setelah sempat melandai. Lebih jauh, jika dilihat dari pergerakan bulanan (month-on-month/m/m), inflasi di bulan Juni dan Juli juga lebih panas. Kenaikan core CPI sebesar 0,3% pada Juli bahkan menjadi yang terbesar kedua sepanjang 2025.
Pendorong Utama Inflasi
Beberapa komponen menjadi penyumbang terbesar bagi laju inflasi saat ini. Harga gas alam melonjak hampir 14% y/y, disusul perawatan kendaraan bermotor, produk tembakau, dan layanan rumah sakit. Di sisi lain, energi justru menahan laju inflasi lebih lanjut karena harga bensin dan minyak pemanas turun cukup signifikan. Inilah alasan mengapa core CPI yang tidak memasukkan energy tampil lebih tinggi dibanding headline CPI.
Namun, cerita tidak berhenti di situ. Jika melihat ke dalam detail inflasi jasa inti di luar perumahan, atau yang kerap disebut “supercore CPI,” terlihat adanya tanda-tanda percepatan kembali. Angka supercore CPI memang belum kembali ke level ekstrem seperti pada masa puncak inflasi 2022, tetapi tetap lebih tinggi dibanding rata-rata pra-pandemi yang hanya sekitar 2,2%. Hal ini menegaskan betapa sulitnya bagi The Fed untuk membawa inflasi kembali mendekati target 2% jika tekanan di sektor jasa tidak mereda.
Efek Tarif dan Core Goods
Selain jasa, barang inti (core goods) juga mulai memberikan sinyal kenaikan harga. Dampak tarif impor memang sulit diukur secara tepat karena penerapannya dilakukan bertahap dan porsinya relatif kecil dalam struktur ekonomi AS. Namun, tren kenaikan harga barang inti semakin jelas pada 2025. Situasi ini berbeda dengan periode 2023–2024, ketika penurunan harga barang justru membantu meredam inflasi. Kini, baik harga barang maupun jasa sama-sama memberikan tekanan ke arah kenaikan.
PPI Memberi Sinyal Tambahan
Beralih dari konsumen ke produsen, data Indeks Harga Produsen (Producer Price Index/PPI) untuk Juli memberikan kejutan besar. PPI naik 0,9% m/m atau 3,3% y/y, jauh melampaui ekspektasi konsensus sebesar 0,2%. Angka tersebut bahkan menjadi yang tertinggi sejak Maret 2022, periode ketika inflasi mencapai puncaknya.
Lonjakan terbesar PPI berasal dari sektor jasa yang naik 1,1% m/m, lebih tinggi dibanding kenaikan harga barang sebesar 0,7%. Hal ini penting karena ada salah persepsi umum bahwa PPI mencerminkan harga yang dibayar produsen. Padahal, PPI sebenarnya mengukur harga jual yang diterima produsen domestik atas output mereka.
Salah satu komponen yang sangat menarik adalah jasa perdagangan (trade services), yang melacak margin keuntungan perusahaan grosir dan ritel. Pada Juli, margin ini melonjak signifikan. Artinya, biaya tambahan akibat tarif impor tampaknya mulai dialihkan oleh perusahaan ke konsumen. Fakta bahwa tarif sebenarnya dibayar oleh perusahaan AS yang mengimpor barang, bukan oleh negara yang ditargetkan membuat tekanan harga semakin sulit dihindari.
Ekspektasi Inflasi Publik Naik Lagi
Selain data harga, ekspektasi inflasi konsumen juga mulai berbalik arah. Survei bulanan Sentimen Konsumen University of Michigan (UMich) menunjukkan bahwa masyarakat memperkirakan inflasi akan lebih tinggi, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Kenaikan ekspektasi ini terjadi secara luas di berbagai kelompok usia, latar belakang demografis, maupun afiliasi politik.
Di sisi lain, sentimen konsumen terhadap kondisi ekonomi secara keseluruhan justru merosot. Kombinasi antara kekhawatiran terhadap inflasi yang tidak kunjung reda dan melemahnya keyakinan konsumen menjadi tantangan tambahan bagi prospek pertumbuhan ekonomi AS.
Dampak bagi The Fed
Bagi Federal Reserve, rangkaian data ini membawa dilema. Sebelum rilis inflasi terbaru, pasar memperkirakan peluang hampir 95% bahwa The Fed akan memangkas suku bunga pada September. Namun, kini peluang itu turun menjadi sekitar 85%. Meski masih tinggi, penurunan ini mencerminkan meningkatnya keraguan pasar.
Yang lebih penting, peluang pemangkasan agresif sebesar 50 basis poin praktis hilang. Setelah rilis PPI, probabilitas tersebut langsung turun ke 0%. Saat ini, pasar hanya melihat peluang realistis untuk pemangkasan sebesar 25 basis poin, itupun dengan catatan bahwa data inflasi PCE (Personal Consumption Expenditures) yang akan dirilis minggu depan tidak jauh lebih panas, dan kondisi pasar tenaga kerja tidak menunjukkan kekuatan yang berlebihan.
Jalan Berliku ke Depan
Secara keseluruhan, inflasi AS masih berada di jalur yang lebih tinggi dari target The Fed. Lonjakan harga energi tertentu, dampak tarif impor, serta kenaikan biaya di sektor jasa dan margin perdagangan menandakan tekanan inflasi bersifat lebih luas. Jika inflasi barang inti tidak kembali melemah dan jasa inti terus bertahan di level tinggi, upaya The Fed untuk menurunkan inflasi ke 2% bisa berlangsung lebih lama dari perkiraan awal.
Bagi pasar keuangan, situasi ini berarti volatilitas akan tetap tinggi dalam beberapa bulan mendatang. Investor akan terus mencermati setiap rilis data inflasi dan tenaga kerja sebagai panduan arah kebijakan moneter. Dengan peluang pemangkasan suku bunga September yang masih terbuka namun lebih terbatas, pasar perlu menyesuaikan ekspektasi bahwa jalan menuju era suku bunga lebih rendah akan berlangsung lebih lambat dan penuh ketidakpastian.
Pada akhirnya, panasnya inflasi di musim panas 2025 menjadi pengingat bahwa pertempuran melawan harga yang terus merangkak naik belum selesai. Federal Reserve kini harus menyeimbangkan antara menjaga stabilitas harga dan mencegah perlambatan ekonomi yang terlalu dalam serta tugas yang akan terus menguji strategi dan kredibilitas bank sentral terbesar dunia tersebut.



