Apa yang Sebenarnya Terjadi di Pasar Keuangan, Saat Dolar Terus Melemah?

229

(Vibiznews – Forex) Siapa pun yang pernah memiliki saham atau reksa dana non-AS tahu bahwa selama bertahun-tahun pasar saham Amerika Serikat secara signifikan mengungguli pasar saham internasional lainnya. Namun, situasi itu berubah pada 2025. Tahun ini, investasi internasional banyak investor justru mengalahkan kinerja investasi mereka di Amerika.

Apakah hal ini terjadi karena perusahaan-perusahaan di Eropa dan Asia berkinerja lebih baik dibandingkan perusahaan-perusahaan di AS? Tidak juga. Secara umum, perusahaan Amerika masih mampu mencatatkan kinerja pendapatan dan profitabilitas yang lebih baik dibandingkan dengan para pesaing internasionalnya.

Lalu mengapa investasi asing tampak lebih menguntungkan? Jawaban sederhana: nilai dolar AS sedang menurun dibandingkan Pound Inggris, Euro, dan Yen. Pelemahan dolar inilah yang pada akhirnya meningkatkan nilai investasi asing dalam denominasi dolar.

Selama paruh pertama 2025, dolar AS mencatat penurunan nilai terbesar sejak 1973, anjlok sekitar 11%. Memang sempat ada pemulihan kecil pada Juli berkat sejumlah kabar ekonomi yang cukup positif, tetapi setelah itu dolar kembali melemah. Bahkan, Morgan Stanley memprediksi dolar bisa kehilangan nilai tambahan hingga 10% lagi sebelum akhir tahun ini.

Perlu digarisbawahi, pelemahan dolar sebenarnya bukan fenomena baru. Nilai mata uang ini memang mengalami fluktuasi naik turun sepanjang waktu, dan secara historis masih berada pada level relatif tinggi dibandingkan sebagian besar periode sepuluh tahun terakhir. Namun, yang membuat situasi kali ini lebih mengkhawatirkan adalah pelemahan tersebut terjadi justru ketika suku bunga AS masih lebih tinggi dibandingkan negara-negara lain.

Biasanya, perbedaan tingkat suku bunga inilah yang mendorong pergerakan nilai tukar. Jika suku bunga di AS lebih tinggi, maka investor global terdorong menempatkan dana mereka di pasar obligasi Amerika. Proses ini otomatis meningkatkan permintaan dolar, karena mata uang tersebut dibutuhkan untuk membeli obligasi, yang pada akhirnya menguatkan nilainya. Hubungan ini terlihat jelas hingga awal 2025. Namun, sejak Januari 2025, pola tersebut tiba-tiba terputus: dolar melemah meskipun tingkat bunga AS tetap lebih tinggi. Divergensi ini sangat mencolok sekaligus memicu kekhawatiran.

Robin Brooks dari Brookings Institute menjelaskan mengapa perubahan mendadak ini harus diperhatikan serius. Menurutnya, penurunan dolar bersamaan dengan kenaikan suku bunga AS bisa menjadi indikasi terbentuknya “fiscal risk premium”. Dengan kata lain, pasar mulai keluar dari obligasi pemerintah AS dan dolar, terutama di Eropa. Situasi seperti ini pernah terlihat di Inggris pada akhir 2022, dan hasilnya tidak baik.

Mengapa Dolar AS Melemah?

Jika perbedaan tingkat suku bunga seharusnya menguntungkan dolar, mengapa kenyataannya malah sebaliknya? Jawabannya kembali pada prinsip dasar ekonomi: sentimen investor. Meski imbal hasil obligasi AS lebih menarik, para investor menilai ekonomi AS saat ini tidak lagi menjadi taruhan yang menjanjikan.

Kementerian Keuangan Jepang, misalnya, melaporkan bahwa investor domestik mereka menjadi penjual bersih obligasi asing selama enam minggu berturut-turut dari awal Maret hingga pertengahan April. Hal ini mengindikasikan adanya pergeseran alokasi aset ke pasar lain. Sementara itu, JPMorgan mencatat bahwa dana ETF (Exchange Traded Fund) berbasis luar negeri yang berinvestasi di saham AS rata-rata hanya mencatat arus masuk bersih sebesar USD 5,7 miliar pada periode Januari–Juli 2025. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan USD 10,2 miliar pada periode yang sama di 2024.

Sebaliknya, investor Eropa lebih banyak menempatkan dana mereka ke aset lokal. ETF berbasis Eropa yang berfokus pada saham regional bahkan membukukan rekor aliran masuk bersih hingga USD 42 miliar sepanjang tahun berjalan hingga akhir Juli.

Konsensus berbagai lembaga investasi besar termasuk JPMorgan, Morgan Stanley, dan Charles Schwab menyimpulkan bahwa : hal ini mencerminkan penilaian investor asing terhadap prospek ekonomi AS. Singkatnya, mereka memperkirakan imbal hasil yang lebih baik dapat diperoleh dari investasi di luar AS.

Faktor Utama: Ketidakpastian Kebijakan

Apa yang membuat ekonomi AS tampak kurang menarik? Jawabannya adalah kebijakan pemerintah yang tidak konsisten dan tingginya ketidakpastian kebijakan.

JPMorgan menyoroti bahwa sensitivitas pasar terhadap isu-isu seperti tarif perdagangan dan independensi Federal Reserve telah memberi tekanan tambahan terhadap dolar. Misalnya, pada 16 Juli, komentar tentang kemungkinan pemberhentian dini Ketua The Fed Jerome Powell menyebabkan dolar anjlok 1,2% hanya dalam satu jam. Meski sempat pulih, kekhawatiran pasar tetap membayangi dan berpotensi terus menekan nilai tukar.

Selain itu, risiko fiskal juga semakin meningkat. Undang-undang besar yang disebut “OBBBA” (One Big Beautiful Bill Act) memiliki beban anggaran hingga USD 4,1 triliun dengan prospek penerimaan negara yang masih samar. Kombinasi antara risiko fiskal, ketidakpastian kebijakan, dan valuasi aset yang sudah tinggi telah mendorong investor untuk meninjau ulang kepemilikan besar mereka pada aset berdenominasi dolar.

Morgan Stanley menambahkan bahwa bukti terbaru tentang pelemahan pasar tenaga kerja, jika dikombinasikan dengan ketidakpastian kebijakan seperti negosiasi tarif dan perdebatan mengenai pergantian dini pimpinan The Fed, merupakan faktor utama yang terus memberi tekanan pada dolar.

Dengan kata lain, bukan hanya kondisi makroekonomi, tetapi juga faktor politik dan kebijakan domestik yang menjadi pemicu utama turunnya minat investor terhadap aset AS.

Konsekuensi dari Dolar Melemah

Pelemahan dolar akan menimbulkan berbagai dampak signifikan bagi perekonomian AS. Pertama, investasi asing ke AS berpotensi menurun karena investor memandang peluang di tempat lain lebih menjanjikan. Kedua, perusahaan manufaktur Amerika yang sangat bergantung pada bahan baku impor akan menghadapi biaya yang lebih tinggi, menekan margin keuntungan mereka.

Selain itu, konsumen AS juga akan terkena imbas. Harga barang impor akan naik seiring melemahnya dolar, sehingga inflasi bisa kembali meningkat meskipun The Fed masih berusaha menjaga stabilitas harga. Ketergantungan AS pada barang impor, mulai dari elektronik hingga kebutuhan rumah tangga, membuat efek kenaikan harga ini bisa dirasakan langsung oleh masyarakat.

Pelemahan dolar juga dapat mengubah dinamika perdagangan global. Di satu sisi, ekspor AS menjadi lebih kompetitif karena harga produk Amerika menjadi relatif lebih murah di pasar internasional. Namun, keuntungan ini bisa tereduksi oleh tingginya biaya bahan baku impor bagi produsen dalam negeri.

Melemahnya dolar AS pada 2025 bukanlah fenomena biasa. Penurunan ini terjadi di tengah kondisi yang seharusnya mendukung penguatan dolar, yakni tingkat bunga yang lebih tinggi dibandingkan negara lain. Namun, kenyataannya pasar global merespons berbeda karena menilai risiko fiskal, ketidakpastian kebijakan, dan dinamika politik domestik AS terlalu besar untuk diabaikan.

Investor asing kini mulai mengalihkan dana mereka dari aset dolar ke pasar lain yang dianggap lebih stabil dan prospektif. Jika tren ini berlanjut, konsekuensinya bisa luas: dari menurunnya arus modal ke AS, meningkatnya biaya impor, hingga tekanan inflasi yang dirasakan masyarakat.

Dengan kata lain, pelemahan dolar kali ini adalah cerminan dari berkurangnya kepercayaan global terhadap arah kebijakan ekonomi dan fiskal AS. Dan selama ketidakpastian itu masih berlangsung, nilai dolar kemungkinan akan tetap berada di bawah tekanan.