(Economy & Business) Isu stagflasi kembali mencuat dalam wacana ekonomi Amerika Serikat. Para analis ekonomi memperkirakan tarif impor yang diberlakukan pemerintahan Presiden Donald Trump akan mendorong kenaikan harga konsumen sekaligus memperlambat laju pertumbuhan dalam beberapa bulan ke depan. Kondisi ini menghidupkan kembali ingatan akan dekade 1970-an, ketika istilah stagflation lahir untuk menggambarkan kombinasi stagnasi ekonomi dan inflasi tinggi. Namun, berbeda dari masa lalu, kali ini para ekonom memperkirakan dampaknya jauh lebih ringan.
Mengapa Disebut “Stagflation Lite”?
Laporan terbaru Personal Consumption Expenditure (PCE) dari pemerintah AS menunjukkan bahwa inflasi saat ini telah melampaui target tahunan The Federal Reserve (The Fed) sebesar 2%. Sementara itu, laporan ketenagakerjaan pekan depan diperkirakan menampilkan pertumbuhan lapangan kerja yang lesu. Kombinasi inflasi yang meningkat di atas target dan melambatnya pertumbuhan ekonomi inilah yang disebut sejumlah analis sebagai “stagflasi versi ringan” atau stagflation lite.
Jeffrey Roach, Kepala Ekonom di LPL Financial, menekankan bahwa investor harus menerima kenyataan inflasi berada di atas target The Fed dengan latar belakang pertumbuhan ekonomi yang melemah. “Ini akan membentuk kondisi stagflation-lite,” tulisnya dalam sebuah komentar pertengahan Agustus.
Secara historis, istilah stagflasi berasal dari gabungan kata stagnation (stagnasi) dan inflation (inflasi). Pada era 1970-an hingga awal 1980-an, AS mengalami inflasi dua digit sekaligus lonjakan pengangguran. Kondisi tersebut menciptakan penderitaan ekonomi yang berkepanjangan. Namun, para ekonom kini menambahkan istilah “lite” karena mereka tidak melihat kondisi seburuk setengah abad lalu akan terulang.
Ekonom RBC Bank, Frances Donald dan Carrie Freestone, menilai bahwa “Stagflation Lite akan terus menampilkan pertumbuhan di bawah tren, disertai tekanan harga yang meningkat hingga akhir tahun.” Dengan kata lain, inflasi tetap menjadi momok, namun tidak diiringi resesi penuh yang biasanya menyebabkan kontraksi mendalam.
Proyeksi Inflasi dan Pertumbuhan
Salah satu perkiraan yang cukup menonjol datang dari Mark Zandi, Kepala Ekonom Moody’s Analytics. Ia memprediksi inflasi inti PCE akan mencapai puncak di level 3,5% dalam setahun ke depan. Angka ini memang jauh di atas target 2% The Fed, tetapi masih jauh dari tingkat inflasi di era 1970-an yang melampaui 10%.
Zandi juga memperkirakan Produk Domestik Bruto (PDB) AS hanya akan tumbuh 1% per tahun. Angka tersebut kurang dari setengah rata-rata pertumbuhan 2,5% sejak 2010. Meskipun begitu, pertumbuhan yang melambat ini masih cukup untuk menghindarkan AS dari resesi penuh. Artinya, ekonomi tidak sepenuhnya jatuh, meski terasa berat bagi rumah tangga dan pelaku usaha.
Peran dan Tantangan The Fed
Dalam pidato penting di simposium ekonomi Jackson Hole pekan lalu, Ketua The Fed Jerome Powell menyinggung risiko stagflasi tanpa menyebut istilah itu secara eksplisit. Pesannya jelas: The Fed menyadari ada dilema antara mengendalikan inflasi dan menopang pertumbuhan.
Banyak ekonom percaya bahwa stagflation lite kali ini akan bersifat sementara. Chengjun Chris Wu, Senior Portfolio Manager di Federated Hermes, menulis bahwa kondisi ini pada akhirnya akan mereda, entah karena inflasi kembali melonjak lebih tinggi atau karena pertumbuhan ekonomi membaik. “Stagflasi penuh sangat jarang terjadi dan kemungkinan besar akan tetap begitu,” tulisnya.
Namun, Zandi memperingatkan bahwa penanganan stagflasi bisa memerlukan “obat pahit” serupa dengan yang digunakan pada era 1970-an. Saat itu, The Fed menaikkan suku bunga acuan ke level sangat tinggi demi menekan inflasi, meskipun langkah tersebut memperlambat pertumbuhan ekonomi. Pertanyaan besar saat ini adalah: apakah The Fed masih memiliki ruang untuk bersikap seketat itu, terutama di tengah tekanan politik?
Politik dan Independensi Bank Sentral
Independensi The Fed menjadi isu penting dalam skenario stagflasi. Presiden Trump secara terbuka mendesak bank sentral untuk menurunkan suku bunga, bahkan meningkatkan tekanannya terhadap pembuat kebijakan moneter. Tekanan politik ini berpotensi semakin kuat ketika masa jabatan Jerome Powell berakhir pada Mei mendatang, saat Trump bisa menunjuk pengganti yang sejalan dengan agenda politiknya.
“Pertanyaan yang wajar adalah apakah The Fed akan tetap cukup independen setelah masa jabatan Powell berakhir,” tulis Zandi. Hal ini akan sangat menentukan respons moneter terhadap inflasi dan pertumbuhan di tahun-tahun mendatang.
Investasi di Tengah Stagflasi: Strategi dan Pilihan
Kondisi stagflation lite menciptakan tantangan unik bagi investor. Biasanya, inflasi tinggi mendorong kenaikan suku bunga, yang bisa menekan obligasi dan saham, tetapi menguntungkan aset lindung nilai seperti emas. Namun, ketika inflasi meningkat bersamaan dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi, prospek laba korporasi juga melemah.
Dalam konteks global, perlambatan ekonomi AS dan meningkatnya tensi politik domestik dapat menimbulkan volatilitas di pasar mata uang. Dolar AS bisa kehilangan daya tariknya jika inflasi terus melampaui target dan investor meragukan respons The Fed. Sebaliknya, aset safe haven seperti emas atau obligasi pemerintah dengan peringkat tinggi bisa mendapat aliran modal baru.
Stagflasi dan Dampaknya pada Investasi: Apa yang Perlu Diketahui
Meski mengingatkan pada era 1970-an, kondisi ekonomi AS saat ini tidak sepenuhnya serupa. Inflasi memang naik di atas target The Fed, tetapi masih jauh dari level dua digit. Pertumbuhan memang melambat, namun tidak sepenuhnya jatuh ke jurang resesi. Karena itulah, banyak ekonom lebih memilih istilah stagflation lite untuk menggambarkan situasi saat ini.
Ke depan, arah kebijakan The Fed akan menjadi faktor kunci: apakah mereka memilih langkah tegas untuk menekan inflasi meski berisiko memperlambat pertumbuhan lebih jauh, ataukah mereka akan menuruti tekanan politik untuk melonggarkan suku bunga. Apa pun pilihannya, pasar keuangan global harus bersiap menghadapi periode ketidakpastian apakah dengan inflasi atau pertumbuhan yang lebih lemah.



