(Vibiznews – Forex) Dolar Amerika Serikat (AS) belakangan ini menghadapi tekanan yang semakin besar, mencerminkan dinamika global yang berubah cepat serta memburuknya sentimen investor. Selama beberapa dekade, status dolar sebagai mata uang cadangan dunia dan aset safe haven seakan tak tergoyahkan. Namun, perkembangan terbaru memperlihatkan adanya guncangan serius terhadap fondasi tersebut. Sejumlah faktor mulai dari gangguan dalam perdagangan bebas, meningkatnya ketidakpastian kebijakan fiskal, hingga lonjakan utang publik menimbulkan keraguan apakah “keistimewaan AS” masih bisa bertahan.
Tekanan pada Dolar AS
Dalam enam bulan pertama 2025, dolar mencatat salah satu performa terburuk sepanjang sejarah. Indeks dolar berbasis perdagangan turun sekitar 6% dibandingkan awal tahun, menandakan melemahnya daya tarik mata uang tersebut di pasar global. Meski sempat mendapat sedikit dukungan dari kesepakatan perdagangan baru dan data ekonomi domestik yang lebih tangguh dari perkiraan, tren pelemahan tetap mendominasi.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa investor global mulai menimbang ulang persepsi terhadap dolar. Biasanya, dalam periode ketidakpastian atau gejolak pasar, dolar justru menguat karena perannya sebagai aset safe haven. Namun, kali ini yang terjadi adalah sebaliknya: keresahan fiskal dan politik AS justru mendorong investor mencari alternatif lain.
Yield Obligasi dan Peran Kebijakan Fiskal
Di sisi lain, pasar obligasi AS memberikan sinyal yang berlawanan. Yield obligasi Treasury jangka panjang awalnya turun di awal tahun, sejalan dengan ekspektasi melemahnya pertumbuhan ekonomi. Namun, situasi berubah drastis setelah dua momentum besar: peristiwa yang dikenal sebagai “Liberation Day” dan disahkannya One Big Beautiful Bill Act (BBB).
Undang-undang BBB diperkirakan menambah sekitar US$3 triliun ke dalam utang nasional AS dalam 10 tahun ke depan. Tambahan beban fiskal inilah yang membuat yield jangka panjang melonjak kembali. Investor mulai menuntut imbal hasil yang lebih tinggi untuk menahan risiko meningkatnya defisit dan utang. Pola ini menandakan bahwa pasar obligasi tidak hanya merespons kebijakan moneter The Federal Reserve, tetapi juga semakin sensitif terhadap dinamika fiskal pemerintah.
Ketika yield jangka pendek menurun seiring ekspektasi pelonggaran suku bunga kebijakan, yield jangka panjang justru bertahan tinggi. Kombinasi ini menciptakan kondisi yang tidak lazim, di mana hubungan antara penurunan suku bunga dan penurunan yield jangka panjang menjadi terdistorsi oleh kekhawatiran fiskal.
Peran Hedging dan Tekanan Tambahan pada Dolar
Selain faktor fundamental, mekanisme pasar keuangan turut memperkuat pelemahan dolar. Menurut analisis Bank for International Settlements (BIS), depresiasi tajam dolar pada April 2025 bukan hanya disebabkan oleh aksi jual langsung, melainkan juga oleh aktivitas lindung nilai mata uang (FX hedging) yang dilakukan oleh investor non-AS, terutama dari Asia.
Selama pandemi, investor asing mengurangi rasio lindung nilai mereka karena biaya hedging meningkat seiring perataan kurva yield AS. Namun, ketika dolar mulai melemah, investor kembali menambah lindung nilai dengan jeda waktu tertentu. Aktivitas ex-post ini memperkuat tekanan jual pada dolar, menjadikannya lebih rentan melemah dalam jangka pendek. BIS memperkirakan efek ini hanya bersifat sementara, dan pergerakan dolar ke depan akan lebih banyak dipengaruhi oleh faktor makroekonomi serta kondisi fiskal AS itu sendiri.
Skenario Defisit dan Dampaknya pada Dolar
Pertanyaan besar yang muncul sekarang adalah: bagaimana arah dolar AS dalam beberapa tahun ke depan jika defisit fiskal terus melebar?
Dalam skenario dasar, defisit federal diproyeksikan naik hingga 6,8% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan bertahan sampai 2028 sebelum perlahan menyempit. Dengan asumsi tersebut, dolar diperkirakan akan melemah tambahan 3,5% hingga akhir 2026, melanjutkan pelemahan 7% yang sudah terjadi pada paruh pertama 2025. Secara kumulatif, penurunan nilai dolar bisa mencapai 7,5% pada 2030.
Skenario dengan defisit lebih besar, yakni 7,3% hingga 7,8% dari PDB, menggambarkan pelemahan yang lebih tajam. Dalam kondisi ini, dolar dapat kehilangan nilainya hingga 4% pada 2026 dan 8–9% pada 2030. Ketidakpercayaan investor terhadap disiplin fiskal AS membuat yield jangka panjang semakin tinggi, memperlambat penyesuaian obligasi terhadap penurunan suku bunga kebijakan. Akibatnya, pelemahan dolar menjadi lebih persisten.
Sebaliknya, jika terjadi jalur fiskal yang lebih disiplin—misalnya karena pendapatan tarif lebih tinggi dari perkiraan atau pertumbuhan ekonomi lebih kuat—defisit dapat menyempit hingga 6,3% dari PDB pada 2026–2028. Dalam skenario ini, dolar tetap melemah, namun lebih moderat: 3% pada 2026 dan 6,9% pada 2030. Perbaikan sentimen investor menurunkan premi risiko, sehingga yield jangka panjang bisa menyesuaikan lebih cepat dengan kebijakan moneter.
Dari Fiskal ke Pasar: Bagaimana Defisit AS Menggerakkan Dolar dan Inflasi
Rangkaian skenario di atas menyoroti hal penting: masa depan dolar AS tidak hanya ditentukan oleh keputusan suku bunga The Fed atau dinamika global, tetapi juga oleh seberapa besar defisit fiskal memengaruhi kepercayaan investor. Ketidakpastian ini menambah dimensi baru dalam analisis pasar.
Jika defisit fiskal terus melebar tanpa adanya upaya penyeimbangan, dolar bisa menghadapi pelemahan struktural. Hal ini berpotensi mengurangi daya tarik aset-aset AS bagi investor global, meningkatkan biaya pinjaman pemerintah, dan memperbesar tekanan inflasi. Sebaliknya, jika ada langkah menuju disiplin fiskal, walau terbatas, pasar mungkin kembali memberi ruang stabilisasi bagi dolar dan yield.
Dolar AS di Persimpangan: Status Global Kuat, tapi Rawan Guncangan Fiskal
Dolar AS saat ini berada di persimpangan jalan. Statusnya sebagai mata uang cadangan global memang masih kuat, tetapi bukan berarti kebal terhadap guncangan. Kombinasi defisit fiskal yang membengkak, utang publik yang melonjak, serta ketidakpastian politik dan kebijakan dapat mengikis kepercayaan investor lebih jauh.
Bagi pelaku pasar, skenario ini berarti volatilitas yang lebih besar pada dolar, obligasi, dan aset global lainnya. Investor dan pembuat kebijakan harus lebih waspada terhadap hubungan baru antara defisit fiskal, yield jangka panjang, dan nilai tukar. Ke depan, arah dolar tidak lagi hanya soal “exceptionalism” AS, tetapi juga soal seberapa disiplin negara adidaya ini mengelola fiskalnya di tengah tantangan global yang semakin kompleks.



