Apakah Perang Dagang Benar-Benar Berakhir Kali Ini?

317

(Vibiznews-Economy) Jika ada satu frasa yang tampaknya menjadi label tahun 2025, maka itu adalah “perang dagang.” Hampir satu dekade sejak istilah ini pertama kali mendominasi berita utama pada masa pemerintahan Trump, perang tarif, negosiasi alot, dan langkah-langkah balasan dari berbagai negara telah menguras waktu, uang, serta kesabaran investor global. Namun, ketika tarif “timbal balik” yang lama tertunda terhadap impor AS akhirnya berlaku pada 7 Agustus 2025, banyak yang berharap babak panjang ketegangan perdagangan ini akan segera mencapai titik akhir. Setidaknya, ada perasaan bahwa kita telah mendekati sebuah titik koma, jika bukan sebuah titik penuh.

Namun, kenyataan di lapangan tidak sesederhana itu. Beberapa hari setelah tarif baru berlaku, sebuah pengadilan banding AS memutuskan bahwa sebagian besar tarif yang diberlakukan oleh pemerintahan Trump sebenarnya ilegal. Keputusan ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai masa depan kebijakan tarif AS dan dampaknya bagi perdagangan global. Meski demikian, pasar saham tampak tenang. Indeks S&P 500, Nasdaq, dan Dow Jones hanya bergerak tipis, mencerminkan pandangan investor bahwa tarif tersebut akan tetap berlaku hingga setidaknya 14 Oktober 2025. Gedung Putih juga masih memiliki waktu untuk mengajukan banding ke Mahkamah Agung, yang berarti ketidakpastian belum sepenuhnya berakhir.

Tarik-Ulur Hukum dan Kebijakan Tarif

Ini bukan pertama kalinya keputusan pengadilan menjadi katalis utama dalam kisah panjang perang dagang. Pada akhir Mei lalu, Pengadilan Perdagangan Internasional AS memutuskan bahwa Presiden Donald Trump telah melampaui kewenangannya ketika memberlakukan sebagian besar tarif global. Putusan tersebut sempat memicu euforia di pasar, dengan harapan akan ada pengurangan beban biaya impor yang dapat mendorong margin keuntungan korporasi dan mengurangi tekanan inflasi. Namun, sebelum investor benar-benar bisa merayakan, pengadilan banding federal kembali memberlakukan tarif tersebut, memicu volatilitas jangka pendek di pasar saham.

Kali ini, meskipun keputusan pengadilan tampak mendukung pelonggaran kebijakan tarif, pasar mengambil pendekatan yang lebih hati-hati. Investor tampaknya menunggu konfirmasi lebih lanjut sebelum bertindak agresif, karena pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa drama ini bisa berbalik arah sewaktu-waktu. Banyak pelaku pasar menilai bahwa pemerintahan AS, termasuk Presiden dan Menteri Keuangan, terlihat cukup percaya diri. Mereka tampak yakin bahwa pengadilan tingkat lebih tinggi pada akhirnya akan menguatkan legalitas tarif global tersebut, atau setidaknya memberikan ruang bagi administrasi untuk mempertahankan sebagian dari kebijakan tarif yang telah diberlakukan.

Dampak Terhadap Negosiasi Perdagangan

Ketidakpastian hukum ini juga berdampak langsung pada strategi negosiasi AS dengan mitra dagangnya. Washington saat ini sedang berada di meja perundingan dengan Tiongkok, Meksiko, Kanada, dan beberapa negara lainnya untuk menyelesaikan perjanjian dagang yang telah lama tertunda. Keberadaan tarif global yang masih berlaku memberi AS leverage dalam negosiasi tersebut. Dengan kata lain, keputusan pengadilan yang menunda pencabutan tarif justru bisa memperkuat posisi tawar AS dalam mendorong konsesi dari negara-negara mitra.

Namun, ada risiko bahwa terlalu mengandalkan tarif sebagai alat tawar bisa memperburuk hubungan dagang jangka panjang. Banyak pengamat memperingatkan bahwa jika negosiasi gagal menghasilkan kesepakatan yang jelas, ketidakpastian akan terus membebani investasi lintas negara, mengganggu rantai pasok, dan menahan pemulihan perdagangan global yang baru saja mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan setelah perlambatan pada 2023–2024.

Respons Pasar yang Relatif Tenang

Menariknya, reaksi pasar terhadap perkembangan terbaru ini terbilang relatif tenang. Tidak ada lonjakan besar di pasar saham, dan harga komoditas juga tidak menunjukkan gejolak yang signifikan. Hal ini bisa mencerminkan dua hal. Pertama, sebagian besar pelaku pasar mungkin sudah mengantisipasi putusan pengadilan dan memasukkannya ke dalam harga (priced in). Kedua, ekspektasi penurunan suku bunga oleh Federal Reserve yang semakin dekat telah menjadi fokus utama investor, sehingga sentimen positif dari potensi pelonggaran kebijakan moneter mampu meredam kekhawatiran terkait perang dagang.

Bagi investor, ketenangan ini bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, rendahnya volatilitas memberikan ruang bagi portofolio untuk stabil. Namun di sisi lain, jika Mahkamah Agung pada akhirnya memutuskan untuk membatalkan tarif, reaksi pasar bisa datang terlambat tetapi dengan pergerakan harga yang lebih tajam, baik untuk saham, obligasi, maupun mata uang.

Inflasi, Permintaan, dan Sentimen Pasar

Pertanyaan terbesar saat ini adalah: apa yang paling baik bagi pasar? Dari perspektif jangka pendek, pencabutan tarif tentu akan menurunkan biaya impor, membantu menekan inflasi, dan berpotensi meningkatkan margin keuntungan perusahaan. Hal ini biasanya menjadi katalis positif bagi saham, terutama di sektor manufaktur, ritel, dan otomotif yang sangat bergantung pada komponen impor.

Namun, ada juga sisi lain yang perlu dipertimbangkan. Jika pencabutan tarif terjadi di saat ekonomi AS sudah berada di jalur perlambatan, dampaknya terhadap permintaan agregat mungkin tidak sebesar yang diharapkan. Investor juga harus mempertimbangkan risiko politik: sebuah keputusan Mahkamah Agung yang melemahkan kewenangan eksekutif bisa memicu ketegangan antara cabang pemerintahan, yang pada gilirannya menambah lapisan ketidakpastian baru.

Prospek ke Depan

Secara keseluruhan, ketidakpastian seputar masa depan tarif dan arah kebijakan perdagangan AS akan tetap menjadi faktor kunci yang mempengaruhi sentimen pasar dalam beberapa bulan mendatang. Putusan Mahkamah Agung dapat menjadi penentu akhir apakah babak panjang perang dagang benar-benar berakhir atau justru memasuki fase baru dengan konsekuensi fiskal dan moneter yang lebih kompleks.

Bagi pasar keuangan global, 2025 mungkin bukan tahun di mana perang dagang benar-benar berakhir, melainkan tahun di mana kita belajar untuk hidup dengan ketidakpastian tersebut. Strategi portofolio yang fleksibel, diversifikasi lintas aset, dan manajemen risiko yang disiplin akan tetap menjadi kunci untuk menghadapi babak berikutnya dalam kisah panjang ini.