(Vibiznews – Economy & Business) Pasar keuangan global saat ini tengah dihadapkan pada dilema besar: di satu sisi, data ketenagakerjaan Amerika Serikat menunjukkan pelemahan yang semakin nyata, sementara di sisi lain, inflasi masih bertahan di atas target bank sentral. Kombinasi ini menempatkan Federal Reserve (The Fed) pada posisi sulit dalam menentukan arah kebijakan suku bunga.
Pelemahan pasar tenaga kerja pada Agustus telah mengubah perhitungan bagi The Fed, yang secara resmi memiliki mandat ganda: menjaga tingkat inflasi tetap rendah sekaligus memastikan lapangan kerja maksimal. Dengan data ketenagakerjaan yang semakin lesu, ekspektasi pasar terhadap penurunan suku bunga semakin menguat. Namun, ancaman inflasi yang bisa kembali meningkat berpotensi menahan euforia investor yang mendambakan pemangkasan agresif.
Kondisi Tenaga Kerja: Sinyal Alarm bagi The Fed
Laporan pekerjaan Agustus memperlihatkan pertumbuhan lapangan kerja yang lemah, sehingga memperkuat argumen bahwa ekonomi AS membutuhkan stimulus tambahan. Aditya Bhave, ekonom Bank of America, menilai bahwa laporan tersebut akan memaksa The Fed untuk bergeser dari kekhawatiran utamanya yakni dari inflasi menuju fokus pada pelemahan tenaga kerja.
Menurut Bhave, The Fed kemungkinan besar akan memangkas suku bunga pada pertemuan berikutnya, bahkan diikuti pemangkasan lagi pada Desember. Saat ini, suku bunga acuan The Fed berada pada kisaran 4,25%–4,50%. Jika dipangkas menjadi 3,75%–4,00% sesuai proyeksi Bank of America, biaya pinjaman di seluruh sektor ekonomi akan menjadi lebih murah, sehingga diharapkan dapat mendukung aktivitas bisnis dan konsumsi.
Pasar keuangan bahkan memperkirakan pemangkasan bisa lebih dalam, dengan target akhir tahun berada di kisaran 3,50%–3,75%. Ekspektasi ini menunjukkan bahwa investor menilai pelemahan ekonomi cukup serius sehingga memerlukan langkah lebih agresif.
Inflasi: Bayang-Bayang yang Belum Hilang
Meski data tenaga kerja melemah, The Fed tidak bisa sepenuhnya mengabaikan ancaman inflasi. Angka inflasi terbaru diperkirakan akan dirilis pada Kamis mendatang, dengan proyeksi kenaikan Indeks Harga Konsumen (CPI) sebesar 2,9% secara tahunan. Angka ini memang jauh lebih rendah dibanding puncak pasca-pandemi, namun tetap berada di atas target jangka panjang The Fed sebesar 2%.
Douglas Porter, Kepala Ekonom BMO, menegaskan bahwa laporan inflasi ini akan sangat krusial dalam menentukan arah kebijakan berikutnya. Pasar kini sudah mulai membangun ekspektasi adanya pemangkasan beruntun pada Oktober dan Desember, tetapi kepastian baru bisa diperoleh jika data inflasi mendukung.
Risiko tambahan datang dari faktor eksternal, yakni tarif impor yang diberlakukan oleh pemerintahan Donald Trump. Tarif tersebut berpotensi menaikkan harga barang konsumsi dalam beberapa bulan mendatang. Sinyal awal terlihat pada kenaikan harga furnitur dan elektronik, meski harga mobil dan peralatan rumah tangga besar masih relatif stabil.
Sarah House, ekonom senior Wells Fargo, menjelaskan bahwa kenaikan harga sebelumnya sempat tertahan karena perusahaan melakukan front-loading, yakni mempercepat impor sebelum tarif diberlakukan. Namun kini stok barang tersebut semakin menipis, sehingga biaya impor lebih mahal mulai dirasakan. Kondisi ini bisa mendorong perusahaan untuk menaikkan harga jual ke konsumen.
Dilema Kebijakan: Antara Pertumbuhan dan Stabilitas Harga
Bagi The Fed, situasi ini merupakan ujian berat. Jika terlalu fokus pada inflasi, risiko resesi akibat pelemahan tenaga kerja bisa meningkat. Sebaliknya, jika terlalu agresif memangkas suku bunga, ada kemungkinan permintaan justru terstimulasi berlebihan sehingga memicu inflasi baru.
James Knightley, Kepala Ekonom Internasional ING, menilai The Fed kemungkinan besar akan memilih langkah moderat: pemangkasan bertahap sebesar 0,25% pada September, Oktober, dan Desember, ketimbang langsung memangkas setengah poin sekaligus. Menurutnya, risiko inflasi akibat tarif impor membuat sebagian anggota dewan bank sentral masih berhati-hati.
Namun, Knightley juga mengingatkan adanya ancaman “nyata” berupa meningkatnya kehilangan pekerjaan. Survei konsumen University of Michigan menunjukkan lebih dari 60% masyarakat AS percaya pengangguran akan meningkat dalam setahun ke depan. Hal ini mencerminkan bahwa masyarakat sudah merasakan tanda-tanda perlambatan ekonomi bahkan sebelum data resmi mengonfirmasinya.
Harapan Investor vs Realitas The Fed
Bagi investor, dinamika ini menciptakan ruang spekulasi yang lebar. Pasar obligasi telah memperhitungkan kemungkinan pemangkasan agresif, sementara pasar saham melihat prospek stimulus moneter sebagai peluang reli. Namun, semua itu masih bergantung pada bagaimana The Fed menyeimbangkan mandat gandanya.
Jika inflasi tetap terkendali dan laporan ketenagakerjaan makin melemah, ruang untuk pemangkasan lebih agresif terbuka lebar. Sebaliknya, jika inflasi menunjukkan tanda-tanda akselerasi akibat tarif atau faktor permintaan, The Fed mungkin hanya memberikan pemangkasan terbatas.
Investor perlu mencermati rilis CPI Agustus, karena data ini berpotensi mengubah arah ekspektasi pasar secara drastis. Kenaikan inflasi di atas perkiraan bisa langsung memangkas peluang pemangkasan beruntun, sementara angka inflasi yang lebih jinak dari proyeksi akan memperkuat keyakinan pasar terhadap sikap dovish The Fed.
Ruang Manuver yang Semakin Sempit
The Fed kini berada dalam persimpangan jalan: di satu sisi, pasar tenaga kerja melemah dan membutuhkan dukungan kebijakan; di sisi lain, inflasi tetap menjadi bayang-bayang yang tidak bisa diabaikan. Investor tampak optimistis bahwa The Fed akan bergerak cepat dengan pemangkasan beruntun, namun realitasnya bisa jadi lebih kompleks.
Seperti yang ditulis Knightley, sebagian pejabat The Fed mungkin belum sepenuhnya nyaman dengan tren inflasi, tetapi kebutuhan melindungi perekonomian dari pelemahan lebih lanjut bisa mendorong mereka bertindak cepat. Dengan demikian, keseimbangan antara stabilitas harga dan pertumbuhan lapangan kerja akan menjadi inti dari keputusan kebijakan dalam beberapa bulan mendatang.
Bagi pelaku pasar, periode ini menuntut kewaspadaan ekstra. Setiap rilis data, baik inflasi maupun ketenagakerjaan, bisa menjadi pemicu volatilitas besar. Harapan investor terhadap pemangkasan suku bunga agresif bisa saja terealisasi, tetapi jalannya tidak akan mulus. Satu hal yang pasti: peran data inflasi ke depan akan menjadi penentu arah, bukan hanya bagi The Fed, tetapi juga bagi sentimen global terhadap risiko dan peluang investasi.



