(Vibiznews – Economy & Business) Dari data tenaga kerja AS, arah kebijakan Bank of Japan, keputusan suku bunga RBI India, hingga masa depan perdagangan Afrika–AS, pasar global memasuki kuartal terakhir 2025 dengan penuh gejolak
Menjelang kuartal terakhir 2025, pasar global menghadapi sejumlah peristiwa penting yang dapat menentukan arah ekonomi dunia. Dari Washington hingga Tokyo, Mumbai hingga Nairobi, dinamika kebijakan moneter, perdagangan, serta geopolitik akan menjadi faktor penentu bagi sentimen investor. Berikut ulasan komprehensif mengenai lima isu utama yang akan mewarnai pasar pekan ini.
Pasar Saham Global di Puncak, tapi Risiko Mengintai
Tahun 2025 menjadi periode luar biasa bagi pasar keuangan. Saham global melonjak hampir 17% atau setara dengan USD 15 triliun dalam kapitalisasi pasar sepanjang tahun. Namun, lonjakan ini juga dibarengi dengan peringatan dari Ketua Federal Reserve Jerome Powell mengenai valuasi yang terlalu tinggi.
Meskipun pasar merayakan kenaikan, terutama di sektor emas dan teknologi China yang masing-masing menguat hampir 40%, risiko koreksi tetap membayangi. Kuartal keempat tidak hanya akan ditentukan oleh arah kebijakan Fed, tetapi juga oleh faktor eksternal seperti pertemuan pimpinan China, agenda pertemuan IMF–Bank Dunia, hingga KTT Iklim PBB.
Investor kini dihadapkan pada dilema: apakah momentum bullish dapat dipertahankan ketika pasar saham sudah berada di titik puncak, atau justru ekspektasi pemangkasan suku bunga berikutnya akan memicu volatilitas baru?
Data Tenaga Kerja AS: Penentu Arah Fed
Fokus utama pekan ini adalah data tenaga kerja AS yang dijadwalkan rilis pada 3 Oktober. Konsensus memperkirakan penambahan hanya 39.000 lapangan kerja di sektor non-pertanian dengan tingkat pengangguran 4,3%. Angka ini menjadi krusial menjelang rapat Fed akhir Oktober, setelah sebelumnya bank sentral memangkas suku bunga untuk pertama kali pada 2025.
Jika data keluar lebih kuat dari perkiraan, peluang pemangkasan lanjutan bisa tertunda. Sebaliknya, angka negatif dapat memicu kekhawatiran resesi di ekonomi terbesar dunia. Namun, ketidakpastian politik berpotensi mengacaukan agenda ini. Dengan ancaman government shutdown yang semakin nyata akibat kebuntuan anggaran di Kongres, rilis data bisa saja tertunda.
Dari perspektif pasar, absennya data resmi akan memperbesar volatilitas karena pelaku pasar kehilangan acuan fundamental. Hal ini juga dapat menekan kepercayaan investor terhadap stabilitas fiskal AS.
Bank of Japan: Siap ke Arah Hawkish?
Jepang menjadi sorotan lain pekan ini dengan dirilisnya survei Tankan pada hari Rabu. Survei ini dianggap sangat penting setelah anggota dewan kebijakan BOJ, Junko Nakagawa, menyebut edisi kali ini sebagai penentu arah kebijakan.
Pasar sudah memperkirakan kemungkinan kenaikan suku bunga pada Oktober setelah sinyal hawkish bulan lalu. Waktu pidato Wakil Gubernur Shinichi Uchida dan Gubernur Kazuo Ueda pasca-rilis survei semakin memperkuat spekulasi tersebut.
Jika hasil Tankan menunjukkan optimisme kuat dari sektor korporasi, BOJ bisa terdorong mempercepat normalisasi kebijakan. Namun, bank sentral harus berhati-hati dalam menyampaikan pesan, mengingat pasar saham Jepang berada di level tertinggi sepanjang masa dan imbal hasil obligasi pemerintah telah mencapai titik tertinggi sejak 2008.
Kesalahan komunikasi dapat memicu lonjakan volatilitas di pasar obligasi sekaligus menekan kepercayaan terhadap stabilitas keuangan Jepang.
India: Dilema Antara Menahan atau Memotong Suku Bunga
Di Asia Selatan, fokus tertuju pada keputusan suku bunga Reserve Bank of India (RBI) pada hari Rabu. Pertemuan ini menjadi yang pertama sejak AS memberlakukan tarif tinggi dan menaikkan biaya visa H-1B, yang memukul sektor IT — salah satu mesin utama pertumbuhan India.
Meskipun sebagian ekonom memperkirakan RBI akan menahan suku bunga, ada juga yang melihat ruang pemangkasan 25 basis poin. Situasi ini terjadi di tengah tekanan eksternal berupa tarif ekspor, serta tekanan internal akibat melemahnya rupee yang sudah turun 3,5% sejak awal tahun.
Bagi RBI, keputusan ini adalah pilihan sulit: apakah memberikan “asuransi” dengan menurunkan suku bunga untuk menopang pertumbuhan, atau mempertahankan amunisi guna menghadapi potensi gejolak lebih lanjut.
Apapun hasilnya, pasar India kemungkinan tetap menghadapi volatilitas tinggi mengingat kebijakan moneter harus berjalan di garis tipis antara menjaga stabilitas nilai tukar dan mendorong ekspansi ekonomi.
Afrika: Ketidakpastian Masa Depan AGOA
Di Afrika, sorotan tertuju pada masa depan African Growth and Opportunity Act (AGOA) yang akan berakhir pada 30 September. Program ini memberikan lebih dari 30 negara Afrika akses bebas bea ke pasar AS, mendorong investasi dan penciptaan lapangan kerja.
Namun, hingga kini belum ada kepastian dari Washington mengenai perpanjangan perjanjian. Negara-negara seperti Kenya dan Afrika Selatan sangat bergantung pada skema ini untuk menopang ekspor mereka. Tanpa perpanjangan, banyak sektor bisa terpukul, memperparah dampak tarif global yang sudah diberlakukan pemerintahan Trump.
Beberapa laporan menyebutkan kemungkinan adanya perpanjangan jangka pendek, namun tanpa kepastian resmi, risiko ekonomi di kawasan tetap tinggi. Bagi Afrika, keputusan ini bukan hanya soal perdagangan, tetapi juga terkait stabilitas sosial dan pembangunan ekonomi jangka panjang.
Q4 2025: Momentum Pertumbuhan atau Awal Volatilitas Baru?
Memasuki kuartal terakhir 2025, pasar global menghadapi kombinasi faktor yang saling bertentangan. Optimisme dari kenaikan pasar saham dan ekspektasi pelonggaran moneter harus diimbangi dengan risiko politik, tarif perdagangan, dan ketidakpastian kebijakan fiskal.
Bagi investor, periode ini menuntut kewaspadaan ekstra. Data tenaga kerja AS, arah kebijakan BOJ, keputusan RBI, serta masa depan AGOA akan menjadi penentu utama arah pasar. Di tengah ketidakpastian tersebut, diversifikasi portofolio dan fokus pada aset lindung nilai seperti emas tetap menjadi strategi defensif yang rasional.
Kuartal terakhir 2025 bukan sekadar penutup tahun, melainkan ujian besar bagi daya tahan ekonomi global. Bagaimana pelaku pasar merespons dinamika ini akan menentukan apakah 2025 berakhir sebagai tahun penuh keberhasilan atau awal dari periode volatilitas baru.



