Pertemuan Trump–Xi di Korea Selatan : Dongkrak Bursa Global, Tekan Harga Emas

230

(Vibiznews – Economy) – Pasar keuangan global tengah menaruh perhatian besar pada pertemuan antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Tiongkok Xi Jinping yang dijadwalkan berlangsung Kamis ini di Korea Selatan.

Pertemuan tersebut berpotensi menjadi titik balik penting dalam upaya meredakan perang dagang berkepanjangan antara dua ekonomi terbesar dunia.

Menurut laporan resmi dari Washington, kedua negara telah menyepakati kerangka awal kesepakatan dagang yang akan mengurangi ancaman kenaikan tarif impor dan pembatasan ekspor yang selama ini menjadi sumber ketegangan utama.

Jika terealisasi, perjanjian ini dipandang sebagai langkah signifikan menuju de-eskalasi konflik perdagangan, meski belum akan menyelesaikan semua isu mendasar yang memicu perang dagang sejak 2018.

Menuju Kesepakatan yang Menenangkan Pasar

Menteri Keuangan AS Scott Bessent dalam wawancara televisi akhir pekan lalu menyampaikan bahwa pembahasan antara Trump dan Xi akan mencakup isu-isu utama, seperti tarif perdagangan, ekspor kedelai, mineral tanah jarang (rare earths), dan fentanyl. Ia optimistis bahwa kedua pemimpin akan mencapai hasil konkret yang menguntungkan bagi kedua pihak.

“Kami sudah memiliki kerangka untuk pertemuan yang sangat produktif bagi kedua negara,” ujar Bessent dalam program Meet The Press. “Kesepakatan ini akan membawa manfaat besar bagi warga Amerika, terutama bagi para petani dan sektor manufaktur.”

Pernyataan Bessent tersebut menjadi sinyal positif bagi pasar. Indeks saham global menguat pada perdagangan Senin, didorong optimisme bahwa tensi dagang yang selama ini membebani sentimen investor akan mulai mereda. Di Wall Street, sektor industri dan pertanian memimpin penguatan karena diharapkan menjadi penerima manfaat langsung dari normalisasi hubungan dagang kedua negara.

Isu Strategis: Dari Rare Earths hingga Fentanyl

Dalam beberapa bulan terakhir, perang dagang AS–Tiongkok kembali memanas setelah Beijing mengancam untuk membatasi ekspor mineral tanah jarang, bahan penting dalam pembuatan baterai, chip komputer, dan sistem persenjataan. Langkah ini dianggap sebagai “pukulan strategis” karena Tiongkok menguasai lebih dari 80% pasokan global rare earths.

Sebagai respons, Trump sempat mengancam penerapan tarif hingga tiga digit terhadap impor dari Tiongkok, di luar beban pajak yang sudah ada. Ancaman itu memicu kekhawatiran akan kenaikan biaya produksi dan harga konsumen di AS, serta potensi kekurangan pasokan bagi industri teknologi tinggi.

Namun, Bessent menegaskan dalam wawancara terpisah di program Face The Nation bahwa ancaman tarif tambahan kini “sudah tidak lagi ada di meja negosiasi.” Ia juga mengisyaratkan bahwa Beijing kemungkinan akan memberikan kelonggaran ekspor mineral tanah jarang, langkah yang dapat membantu menstabilkan pasokan global dan menenangkan pelaku industri.

Selain itu, Tiongkok juga dikabarkan siap untuk melanjutkan pembelian kedelai dari Amerika Serikat, setelah sempat menghentikan seluruh impor sejak awal tahun. Langkah ini berpotensi menghidupkan kembali pasar ekspor utama bagi petani Amerika, yang sempat terpukul oleh kebijakan balasan Beijing selama perang tarif.

Tak hanya itu, Bessent juga menyebut bahwa Tiongkok mungkin akan mengambil tindakan lebih tegas untuk menekan penyelundupan fentanyl, zat sintetis penyebab krisis narkotika di AS  yang dapat membuka peluang bagi Trump untuk mencabut tarif 20% yang dikenakan untuk menekan perdagangan ilegal tersebut.

Dampak Ekonomi: Dari Optimisme ke Kewaspadaan

Para analis menilai bahwa hasil pertemuan Kamis ini akan sangat menentukan arah ekonomi global di kuartal terakhir tahun ini. Jika kesepakatan berhasil tercapai, tekanan inflasi global yang selama ini dipicu oleh gangguan rantai pasok dapat berkurang, sementara risiko perlambatan pertumbuhan di Asia dan Amerika Serikat juga bisa mereda.

Namun, sejumlah pengamat memperingatkan agar pasar tidak terlalu euforia. Meskipun negosiasi terbaru tampak menjanjikan, akar perbedaan antara AS dan Tiongkok tetap mendalam  mencakup isu defisit perdagangan AS, ketergantungan Amerika terhadap pasokan industri Tiongkok, hingga dominasi Beijing di sektor strategis seperti teknologi dan mineral penting.

“Negosiasi kali ini kemungkinan akan menghasilkan kesepakatan sementara yang rapuh,” tulis Dan Alamariu, Kepala Strategi Geopolitik di Alpine Macro, dalam laporannya pekan lalu. “Siklus yang berulang antara ketegangan dan gencatan akan terus terjadi, karena kedua negara saling menekan namun juga terlalu bergantung secara ekonomi untuk benar-benar berpisah.”

Sinyal Bagi Pasar Keuangan

Reaksi pasar menjelang pertemuan terlihat hati-hati namun positif. Dolar AS cenderung melemah tipis, sementara harga emas turun mendekati $4.000 per ons seiring berkurangnya permintaan terhadap aset safe haven. Sebaliknya, indeks saham Asia dan kontrak berjangka AS mencatat penguatan, mencerminkan keyakinan bahwa risiko geopolitik akan menurun dalam jangka pendek.

Investor kini menantikan dua agenda penting minggu ini: keputusan suku bunga The Federal Reserve pada Rabu, di mana pasar memperkirakan pemangkasan sebesar 25 basis poin, dan hasil konkret dari pertemuan Trump–Xi pada Kamis. Kombinasi antara kebijakan moneter longgar dan stabilisasi hubungan dagang bisa menjadi katalis positif bagi aset berisiko menjelang akhir tahun.

Namun, jika pertemuan berakhir tanpa kesepakatan yang jelas, risiko pembalikan pasar tetap tinggi. Ketidakpastian baru dapat muncul, terutama jika Trump kembali mengancam langkah proteksionis tambahan atau jika Tiongkok menunda implementasi komitmennya.

Menuju Babak Baru Hubungan Dagang

Apapun hasil pertemuan nanti, satu hal pasti: dunia tengah menyaksikan fase baru dalam hubungan ekonomi AS–Tiongkok. Setelah bertahun-tahun perang tarif dan saling ancam, kedua pihak tampaknya menyadari perlunya kompromi demi menjaga stabilitas ekonomi global.

Kesepakatan parsial yang diharapkan pada Kamis nanti mungkin tidak akan menjadi “akhir dari perang dagang,” namun bisa menjadi awal dari pendekatan yang lebih pragmatis antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia.

Seperti yang dikatakan Bessent, “ini bukan hanya tentang perdagangan, tapi tentang menciptakan dasar yang stabil bagi kerja sama ekonomi di masa depan.”

Bagi pasar global yang telah lama lelah dengan ketegangan geopolitik, stabilitas, pertemuan ini  tetap merupakan kabar baik.