Dualisme Ekonomi Global: China–AS, Eropa Terhimpit
Struktur ketidakseimbangan global saat ini bukan membaik, melainkan bergeser ke pola yang justru lebih berisiko secara geopolitik. Surplus eksternal China kembali mengembang, sementara ruang gerak Jerman dan kawasan euro menyempit, dan di saat yang sama defisit transaksi berjalan Amerika Serikat melebar lagi. Konfigurasi ini menciptakan kombinasi yang mudah meledak: ketidakseimbangan tabungan global mengeras menjadi sumber konflik ekonomi dan politik, bukan sekadar persoalan teknis neraca pembayaran. Selama lebih dari satu dekade, Jerman dan China berfungsi sebagai dua “mesin surplus” utama dunia, dengan model pertumbuhan yang bertumpu pada ekspor, tabungan tinggi, dan permintaan dari luar negeri.
Di sisi lain, AS memainkan peran sebagai konsumen global terakhir, menyerap produksi berlebih dari negara-negara surplus melalui defisit transaksi berjalannya. Namun pasca-pandemi, pola ini bergeser. Surplus China kembali menggelembung seiring agresivitas industrial dan ekspornya, sementara surplus Jerman dan kawasan euro justru menyempit. Secara kasat mata, menyusutnya surplus Eropa bisa dibaca sebagai langkah menuju dunia yang lebih seimbang. Tetapi cara proses ini berlangsung justru memunculkan alarm baru: ketidakseimbangan bukannya hilang, melainkan terkonsentrasi pada dua kutub besar – China sebagai eksportir bersurplus besar dan AS sebagai ekonomi dengan defisit kronis – sementara Eropa perlahan terjepit di tengah.
Saat Ekspor Murah China Menggerus Industri Jerman
Di balik pergeseran ini, China memperkuat ambisi jangka panjangnya di sektor industri. Menghadapi tekanan dari Washington terkait teknologi, sanksi, dan pembatasan ekspor komponen strategis, Beijing justru merespons dengan mengakselerasi agenda swasembada industri dan ekspansi kapasitas manufaktur. Negara ini kian agresif menempatkan dirinya sebagai pemain utama di rantai pasok global, khususnya pada sektor kendaraan listrik, baterai, panel surya, dan produk berteknologi menengah hingga tinggi lainnya.
Masalahnya, konsumsi domestik China tidak tumbuh secepat kapasitas produksinya. Kelebihan output ini akhirnya mengalir ke luar negeri dalam bentuk ekspor murah yang mendorong surplus perdagangan kembali melebar. Bagi banyak negara, termasuk Eropa, banjir produk murah China ini menjadi sumber tekanan langsung terhadap industri lokal.
Di Eropa, terutama Jerman, situasinya bergerak ke arah sebaliknya. Selama bertahun-tahun, Jerman menjadi simbol kekuatan industri dan ekspor Uni Eropa, dengan surplus eksternal yang besar dan berkelanjutan. Model ini sempat “membantu” kawasan euro setelah krisis utang, ketika penghematan fiskal dan lemahnya permintaan domestik di negara-negara periferi diimbangi oleh ekspansi ekspor ke seluruh dunia. Namun, seiring melemahnya permintaan global dan meningkatnya kompetisi dari China di segmen yang sama mulai dari otomotif hingga mesin industri, keunggulan tradisional Jerman mengalami erosi. Surplus eksternal Jerman menyempit, dan secara keseluruhan kawasan euro kehilangan bantalan eksternal yang semula bisa mengkompensasi lemahnya permintaan domestik.
Di satu sisi, proses ini bisa membantu mengurangi ketidakseimbangan global. Di sisi lain, hal ini terjadi bukan karena penguatan fundamental domestik di Eropa, melainkan karena tekanan eksternal: produk China yang semakin kompetitif dan lingkungan dagang yang kian proteksionis, terutama dari Amerika Serikat. Dengan kata lain, yang berubah bukan hanya besaran surplus dan defisit, tetapi juga struktur kekuatan ekonomi global yang menopang geopolitik.
Defisit AS, Lonjakan Proteksionisme, dan Dilema Kebijakan Perdagangan
Sementara itu, Amerika Serikat kembali tampil sebagai pusat defisit global. Pemerintah dan rumah tangga di AS terus mengonsumsi jauh di atas kapasitas tabungan domestik, dengan defisit fiskal yang tinggi dan kebijakan yang cenderung longgar dalam jangka panjang. Permintaan domestik yang kuat menjadi magnet bagi ekspor negara-negara surplus, terutama China, sekaligus memicu kembali narasi proteksionisme di dalam negeri. Bagi banyak politisi di Washington, defisit perdagangan bukan hanya angka di laporan statistik, tetapi simbol hilangnya lapangan kerja manufaktur, melemahnya kelas menengah, dan menguatnya pengaruh ekonomi asing. Dalam narasi ini, China diposisikan sebagai pesaing strategis yang bermain dengan “aturan berbeda”: intervensi negara yang besar, subsidi industri, praktik dumping, dan hambatan pasar domestik yang tidak simetris.
Kondisi tersebut membuat kebijakan tarif tinggi dan ancaman perang dagang kembali menjadi alat politik yang efektif. Namun, dari perspektif ketidakseimbangan global, pendekatan berbasis tarif saja hanya menyentuh permukaan masalah. Selama akar persoalan tidak disentuh – yaitu defisit fiskal kronis di AS dan konsumsi domestik yang terlalu lemah di China – setiap kesepakatan dagang hanya akan menjadi jeda sementara dalam konflik yang lebih panjang. Tarif bisa mengalihkan arus perdagangan, misalnya dari China ke negara Asia lain atau Meksiko, tetapi tidak serta merta mengurangi surplus tabungan global ataupun defisit struktural yang menopang ketidakseimbangan tersebut. Dalam konteks inilah, ketidakseimbangan global berubah menjadi instrumen tawar-menawar geopolitik: dari tarif impor, subsidi hijau, hingga pengaturan ulang rantai pasok strategis di sektor energi bersih, semikonduktor, dan pertahanan.
Eropa Berpacu dengan Waktu di Antara Dua Kutub Besar
Di tengah tarik-menarik antara AS dan China, Eropa berada di posisi yang kian rapuh. Secara politik dan keamanan, Uni Eropa cenderung selaras dengan Washington, terutama terkait pembatasan alih teknologi sensitif dan penguatan blok demokrasi liberal. Namun, secara ekonomi, banyak sektor industri Eropa , mulai dari otomotif, mesin, hingga energi terbarukan sangat bergantung pada pasar China dan rantai pasok yang terkait dengannya. Hal ini menciptakan dilema strategis yang sulit: memperkeras sikap terhadap China berisiko memicu pembalasan dagang, sementara sikap terlalu lunak bisa mengundang tekanan tambahan dari AS berupa tarif, regulasi ekstra-teritorial, atau pembatasan akses pasar. Dalam skenario ekstrem, industri Eropa dapat mengalami “double squeeze”: kehilangan daya saing dan pangsa pasar di China, sekaligus menghadapi hambatan ekspor ke Amerika Serikat.
Jerman, sebagai jantung industri kawasan euro, merasakan tekanan ini paling kuat. Dorongan untuk mengubah model pertumbuhan dari terlalu bergantung pada ekspor menuju perekonomian yang lebih bertumpu pada permintaan domestik dan investasi hijau yang semakin mendesak. Ekspansi fiskal yang mulai dilakukan Berlin, baik melalui peningkatan belanja infrastruktur, pertahanan, maupun transisi energi, sebenarnya berpotensi membantu mengurangi surplus eksternal Jerman dan, pada saat yang sama, sedikit meredakan ketidakseimbangan global. Namun langkah ini ditempuh bukan dari posisi nyaman, melainkan dalam situasi terdesak akibat tekanan geopolitik dan hilangnya sebagian pangsa pasar global. Dengan waktu emas penyesuaian yang sudah banyak terbuang, Eropa kini dipaksa berpacu dengan waktu. Jika China tidak segera mendorong konsumsi domestik yang lebih kuat, dan AS tidak menunjukkan disiplin fiskal yang kredibel, dunia berisiko terkunci dalam struktur ketidakseimbangan yang makin bipolar: China sebagai kutub surplus, AS sebagai kutub defisit, dan Eropa terjepit di tengah. Bagi pelaku pasar dan pembuat kebijakan, pesan utamanya jelas: ketidakseimbangan global kini bukan sekadar isu makro ekonomi, melainkan salah satu garis depan utama dalam persaingan geopolitik abad ke-21.



