Bank Sentral Mana Saja yang Pangkas Suku Bunga Desember Ini?

145

Menjelang akhir tahun, nada kebijakan moneter global kembali berubah. Setelah dua tahun penuh tekanan inflasi dan kenaikan suku bunga agresif, kini “mood music” pasar semakin mengarah pada pelonggaran. Namun, yang membuat menarik: beberapa bank sentral tampak tergoda memangkas suku bunga justru ketika inflasi kembali merangkak naik dan pertumbuhan ekonomi belum sepenuhnya jelas arahnya.

Pertanyaannya: seberapa banyak bank sentral yang akan berani memotong suku bunga di bulan Desember – dan apakah pasar terlalu cepat berpesta?

RBNZ: Pemangkasan di Tengah Inflasi yang Menghangat

Sinyal paling eksplisit datang dari ujung Pasifik Selatan. Reserve Bank of New Zealand (RBNZ) resmi memangkas suku bunga acuan (OCR) sebesar 25 basis poin menjadi 2,25%. Di atas kertas, alasan mereka terdengar familiar: mendorong pertumbuhan, menstabilkan pasar tenaga kerja, dan mendukung daya beli rumah tangga.

RBNZ menyatakan bahwa aktivitas ekonomi yang sempat melemah di pertengahan 2025 kini mulai pulih. Suku bunga yang lebih rendah diharapkan mendorong belanja rumah tangga, sementara pelemahan kurs membantu pendapatan eksportir. Namun di saat yang sama, inflasi justru menunjukkan tren naik, bukan turun.

Secara logika tradisional kebijakan moneter, langkah ini tampak berlawanan arah:

  • Ekonomi membaik → seharusnya ruang pelonggaran sempit
  • Inflasi naik → seharusnya bank sentral berhati-hati, bukan menambah stimulus

Namun RBNZ memilih jalur sebaliknya. Mereka bertumpu pada narasi “spare capacity” dalam perekonomian, mengklaim bahwa masih ada kapasitas menganggur sehingga inflasi akan kembali turun menuju 2% pada pertengahan 2026. Ini menghidupkan kembali cara berpikir berbasis output gap yang sejatinya telah banyak dikritik dalam satu dekade terakhir – karena sering kali meleset ketika berhadapan dengan dinamika inflasi pasca-pandemi.

Sinyal Risiko dari Australia: Inflasi Belum Selesai

Di saat RBNZ melonggarkan, data dari Australia justru menunjukkan inflasi belum benar-benar jinak. CPI Australia naik 3,8% year-on-year hingga Oktober 2025, meningkat dari 3,6% di bulan sebelumnya. Kenaikan harga perumahan, makanan, dan rekreasi menjadi pendorong utama. Secara bulanan, inflasi musiman mencapai 0,3%.

Yang lebih mengkhawatirkan, laju inflasi tahunan di Australia telah dua kali lipat dibandingkan level 1,9% pada Juni. Dengan kata lain, tekanan harga kembali berakselerasi, bukan melambat. Dalam konteks itu, pemangkasan suku bunga oleh RBNZ tampak semakin berisiko – apalagi jika tren kenaikan inflasi ini ternyata bersifat regional, bukan kasus terisolasi.

Dari sudut pandang pasar, ini menimbulkan pertanyaan penting:

  • Apakah bank-bank sentral di kawasan ini terlalu agresif dalam mengantisipasi perlambatan ekonomi?
  • Atau justru mereka mulai kembali pada pola lama: mendukung pertumbuhan dan pasar aset, dengan harapan inflasi akan “beres dengan sendirinya” di kemudian hari?

Indikator Lain: Harga Rumah dan Uang Beredar

Jika menengok dinamika domestik Selandia Baru, kita menemukan dua potongan puzzle tambahan yang ikut menjelaskan dorongan pemangkasan suku bunga.

Pertama, pasar perumahan:
Indeks harga rumah QV menunjukkan rata-rata nilai rumah di Aotearoa turun 0,8% dalam kuartal hingga akhir Oktober. Secara tahunan, harga stagnan, dan masih 13,9% di bawah puncak pada Januari 2022. Dengan kata lain, pasar properti sebagai salah satu pilar kekayaan rumah tangga  masih berada dalam fase penyesuaian menyakitkan. Dalam banyak episode sebelumnya, bank sentral cenderung melonggarkan ketika pasar rumah melemah terlalu dalam.

Kedua, pertumbuhan uang beredar:
Broad money Selandia Baru sebelumnya tumbuh di kisaran 3–4% tahun lalu, dengan titik terlemah 2,9% pada Agustus 2024. Namun per September tahun ini, pertumbuhannya melonjak ke 5,5%. Secara teori moneter, akselerasi ini seharusnya menjadi sinyal bahwa tekanan inflasi ke depan akan menguat  akan memperkecil ruang untuk pemangkasan suku bunga.

Kombinasi keduanya menunjukkan paradoks: tekanan di sektor real (harga rumah) mendorong pelonggaran, sementara dinamika moneter (pertumbuhan uang beredar) justru menuntut kehati-hatian. RBNZ memilih berpihak pada stabilitas pasar aset dan aktivitas ekonomi jangka pendek.

Saat Pernyataan The Fed Menggerakkan Pasar

Jika RBNZ memberi contoh pemangkasan nyata, Federal Reserve memberi contoh bagaimana narasi bisa menggerakkan ekspektasi.

Pernyataan terbaru Gubernur The Fed, Stephen Miran, menghubungkan kenaikan tingkat pengangguran dengan kebijakan moneter yang terlalu ketat. Ketika seorang pejabat Fed secara terbuka mengatakan bahwa tingkat pengangguran “bergantung” pada sikap suku bunga, pasar akan segera membaca itu sebagai sinyal kesiapan pemangkasan lanjutan.

Miran bahkan menegaskan kekhawatirannya bahwa jika The Fed tidak terus memangkas suku bunga dengan tempo yang cukup cepat, tingkat pengangguran akan terus meningkat. Di saat yang sama, data ekonomi AS masih memberikan gambaran campuran:

  • Penjualan ritel melambat dan di bawah ekspektasi
  • Kepercayaan konsumen melemah
  • Namun estimasi pertumbuhan PDB kuartal III versi GDPNow masih berada di sekitar 4% secara tahunan

Dengan inflasi yang masih di atas target dan pertumbuhan yang relatif solid, argumen untuk pemangkasan agresif sebenarnya tidak terlalu kuat jika kita memakai kerangka lama “mandat ganda” The Fed. Namun, pengaruh retorika pejabat Fed sudah cukup untuk mendorong imbal hasil obligasi 10 tahun turun ke 4%, mencerminkan keyakinan pasar bahwa siklus pelonggaran akan berlanjut.

Bank of England: Inflasi Masih Tinggi, Godaan Pelonggaran Menguat

Di Inggris, situasinya tidak kalah paradoksal. Gubernur Bank of England Andrew Bailey memberi sinyal yang dibaca pasar sebagai persiapan menuju pemangkasan suku bunga, meski inflasi CPI masih bertahan di sekitar 3,6% , jauh di atas target 2%.

Bailey sendiri memikul rekam jejak inflasi yang buruk dibanding para pendahulunya. Namun tekanan politik dan sosial akibat biaya hidup yang tinggi, ditambah ketidakpastian fiskal jelang pengumuman Budget, membuat ruang manuver BoE menjadi semakin rumit. Di satu sisi, inflasi belum benar-benar jinak. Di sisi lain, pertumbuhan melemah dan beban bunga rumah tangga meningkat tajam.

Potret mikro inflasi bahkan muncul dalam contoh sederhana: harga donat caramel custard Greggs yang naik dari £1 menjadi £1,60 hanya dalam setahun. Bagi rumah tangga, itu bukan sekadar angka; itu simbol inflasi yang masih menggigit.

ECB dan “Bahasa Kode” Bank Sentral

Di Eropa, ECB secara resmi menyatakan bahwa pemangkasan suku bunga tambahan “tidak lagi diperlukan”. Namun bagi pengamat yang telah lama membaca pola komunikasi bank sentral, pernyataan seperti ini justru sering menjadi langkah pertama menuju pelonggaran berikutnya.

Logikanya sederhana:

  1. Bank sentral menegaskan bahwa tidak ada kebutuhan untuk memangkas.
  2. Data kemudian “memburuk” atau narasi diubah.
  3. Pemangkasan akhirnya dilakukan dan dipresentasikan sebagai respons terpaksa terhadap kondisi baru, bukan sebagai keinginan bawaan.

Inilah “bahasa kode” bank sentral modern: selalu berusaha menjaga aura reaktif dan data-dependent, meski sering kali preferensi dasarnya condong pada pelonggaran ketika tekanan politik, pasar, dan pertumbuhan mulai menumpuk.

Desember sebagai Ujian Kredibilitas

Jika tren ini berlanjut, Desember berpotensi menjadi bulan ujian kredibilitas bank sentral global. RBNZ sudah mengambil langkah lebih dulu, The Fed dan Bank of England memberi sinyal, sementara ECB berada di posisi “siap berputar arah” jika narasi mengizinkan.

Pada akhirnya, “musim pemangkasan suku bunga” tahun ini bukan sekadar soal berapa basis poin yang hilang dari angka di layar terminal, tetapi soal arah besar arsitektur moneter pasca-pandemi. Bank sentral sedang berjalan di atas garis tipis: di satu sisi ingin terlihat responsif terhadap sinyal perlambatan dan tekanan politik, di sisi lain masih dibayangi jejak inflasi yang belum sepenuhnya tuntas. Desember bisa saja menjadi awal babak baru pelonggaran global—atau justru titik di mana pasar sadar bahwa euforia “rate cut rally” sudah berlari lebih cepat daripada realitas fundamental.

Bagi pelaku pasar yang berpikir panjang, ini saatnya mengurangi ketergantungan pada slogan dan headline, lalu kembali ke disiplin klasik: membaca data, menimbang sikap bank sentral, dan mengelola risiko dengan asumsi bahwa kebijakan moneter, sekali lagi, mungkin lebih pro-pasar daripada pro-kestabilan harga.