Rupiah, Harga Minyak Dan Wajah Ekonomi Global

945

Fluktuasi harga minyak sangat mempengaruhi wajah ekonomi global, bila melonjak terlalu tinggi maka akan menjadi pemicu resesi global, namun bila jatuh terlalu rendah menjadi masalah besar bagi negara-negara penghasil minyak.

Namun harga minyak sering berfluktuasi di luar prediksi para pelaku ekonomi, seperti yang terjadi pada saat ekonomi Tiongkok mengalami booming sehingga mendorong harga minyak pada tahun 2003 dari $30 per barrel melejit hingga $140 pada tahun 2008, namun ketika ekonomi Tiongkok melambat maka harga minyak mulai jatuh sejak tahun 2014 menjadi hanya berkisar $40 per barrel pada tahun ini.

rupiah-minyak

Source : Baumeister and Kilian, 2016

Beberapa hal yang membuat pergerakan harga minyak selalu mengejutkan adalah :

  1. Banyak pengamat ekonomi meleset dalam memprediksi pertumbuhan ekonomi global. Seperti melonjaknya harga minyak pada periode tahun 2003-2008, para ekonom meleset memprediksi pertumbuhan ekonomi Tiongkok, dimana faktor pertumbuhan ekonomi Tiongkok menjadi pendorong kenaikan harga minyak, namun para ekonom beranggapan bahwa pertumbuhan ekonomi Tiongkok tidaklah akan berlangsung secara berkelanjutan, anggapan bahwa pertumbuhan hanya sesaat akibat stimulus kebijakan ekonomi semata, hal ini yang membuat permintaan minyak melebihi supply-nya sehingga harga minyak melonjak.

  2. Ditemukannya tehnologi yang seringkali tidak bisa diprediksi oleh para ekonom. Ketika harga minyak tinggi maka banyak orang mencari tehnologi transportasi yang semakin hemat konsumsi minyak, demikian halnya orang berpikir untuk mencari sumber-sumber energy pengganti minyak mentah. Sebagai contoh pada tahun 2000-an ketika harga minyak melejit maka ada sebuah perusahaan minyak EOG yang dengan gigih mencari sumber minyak dari shale di Amerika Serikat, yang ketika itu para ahli minyak menganggap tidak ekonomis mengeksplorasi minyak shale ini, namun pada tahun 2014 terbukti minyak shale ini mampu menggoncang pasar dan mengalami booming yang mengakibatkan harga minyak dunia jatuh hingga di bawah $50 pada tahun 2014 yang berkelanjutan hingga tahun ini.

  3. Harga minyak juga sangat dipengaruhi oleh faktor geopolitic, namun sering di luar prediksi. Sebagai contoh pada tahun 1979 terjadi krisis keamanan di kawasan Timur Tengah akibat Revolusi Iran, dimana akibat krisis geopolitic ini sebenarnya tidak mempengaruhi produksi minyak dan jumlah sumur minyak, tetapi ekspektasi bahwa akan terjadi kesulitan supply minyak menyebabkan spekulasi permintaan yang melonjak karena upaya penumpukan cadangan bagi negara-negara konsumen, tentunya tindakan ini berakibat mendorong harga minyak melejit. Perubahan geopolitic dan akibatnya sangat sulit untuk diprediksi.

  4. Pengelolaan budget baik pemerintah maupun swasta sering menyederhanakan faktor harga minyak yang dianggap seperti tidak banyak mengalami perubahan. Pemerintah Arab Saudi dan Russia membuat proyek-proyek yang dibiayai dari hasil minyak dengan asumsi harga minyak tidak akan pernah jatuh seperti yang terjadi sekarang ini, ketika harga minyak anjlok maka terjadilah defisit anggaran yang sangat lebar. Demikian juga swasta dan rumah tangga sering tidak memasukkan faktor resiko bahwa harga minyak bisa melejit dari harga yang sekarang ini dalam menyusun anggarannya.

IMF-GDP-REV

 

Rupiah dan Gejolak Ekonomi Global

Sekitar lima bulan yang lalu rupiah mengalami kemerosotan terendah sejak 17 tahun terakhir, melemahnya rupiah terjadi karena tekanan dari kondisi global yang datang dari dua arah penyebab utama, yaitu melemahnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok dan kemungkinan AS akan meningkatkan suku bunga sebagai stimulus ekonominya yang terus melemah juga.

Penyebab pertama menjadi pukulan tajam bagi ekonomi Indonesia sehubungan dengan karakter perdagangan Indonesia sebagai negara pengekspor komoditi, dengan melemahnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok maka ekspor komoditi termasuk di dalamnya adalah ekspor batu-bara mengalami kemerosotan yang sangat tajam.

Di sisi penyebab kedua, kemungkinan AS akan meningkatkan suku bunga menjadi momok bagi moneter Indonesia, karena larinya dana-dana asing yang kembali ke AS.

Namun pada Oktober 2015 Rupiah mengalami penguatan kembali karena data ekonomi AS menunjukkan perbaikan sehingga dianggap belum saatnya untuk menaikkan suku bunga lagi, hal ini menyelamatkan larinya hot money dari Indonesia. Selain itu pada September 2015 juga diluncurkan berbagai kebijakan stimulus dari pemerintah Indonesia yang membuat rupiah semakin terdepresiasi.

Optimisme terhadap ekonomi Indonesia semakin kuat setelah laporan pertumbuhan ekonomi kwartal empat tahun 2015 ternyata di atas ekspektasi, yaitu mampu tumbuh di atas 5%. Arus modal asing kembali mengalir masuk sehingga FDI (Foreign Direct Investment) meningkat menjadi $29.27 miliar pada akhir tahun 2015, dibanding $28.53 pada tahun sebelumnya. Hal ini mendorong indeks bursa saham bergerak naik dan memperkuat posisi rupiah.

 

Bagaimana Wajah Ekonomi Global Selanjutnya ?

Para analist masih terus memprediksi kemana larinya harga minyak, apakah kenaikan harga minyak belakang ini mendorong harga lebih tinggi atau harga minyak tak akan kunjung meningkat lagi ?

Efek ditemukannya shale oil masih menjadi alasan mengapa supply minyak tidak menunjukkan pengurangan, sekalipun penurunan harga minyak dunia membuat para produsen shale oil juga tidak sanggup mengeksplorasi sumur-sumur baru karena margin keuntungan yang sangat tipis. Demikian juga dilepasnya embargo minyak Iran akan membuat supply minyak terus meningkat. Para analist masih yakin bahwa dalam jangka menengah masih terlalu sulit untuk harga minyak bisa tembus di atas $50 per barrel.

Namun bila harga minyak naik dari $35 ke kisaran $40-50 sudah cukup menolong peningkatan harga komoditi seperti minyak sawit dan batu bara yang cukup dominan sebagai dagangan komoditi Indonesia.

Di sisi moneter, selama Eurozone dan Jepang masih mempertahankan suku bunga negatif, maka Indonesia memiliki potensi yang menarik untuk investasi secara global dengan suku bunga berkisar 7%, sekalipun masih lebih rendah dibanding Turkey 7.5% dan Brazil 14.25%, dengan catatan AS masih tidak meningkatkan suku bunganya.

 

Optimisme dan Resiko

Optimisme sangat kuat terlihat pada ekonomi Indonesia dimana permintaan dalam negeri juga sangat kuat terbukti bahwa terjangan goncangan ekonomi global cukup mampu diredam dari sejak 2014 hingga 2016 ini, dimana pertumbuhan ekonomi juga masih bisa dipertahankan 4,67% pada tahun 2015.

Stimulus pemerintah Indonesia untuk mengundang investor asing disertai upaya pembangunan infrastructure dalam rangka mengefisienkan ekonomi, ditambah kebijakan-kebijakan deregulasi dan pemberantasan korupsi mampu memberi kontribusi bagi optimisme para pelaku bisnis pada ekonomi Indonesia.

Namun sebagaimana harga minyak yang sangat kompleks untuk diprediksi, demikian halnya wajah ekonomi global juga sangat kompleks, sehingga resiko gejolak ekonomi global masih tetap mengancam terutama perkembangan ekonomi Tiongkok, demikian juga kelanjutan Eurozone yang sangat terdampak oleh geopolitic Timur Tengah akibat mengalirnya imigran ke Eropa. Faktor yang masih perlu terus dimonitor adalah perkembangan pemulihan ekonomi AS dan kebijakan stimulus The Fed yang sangat mempengaruhi arus modal secara global.

Rupanya wajah ekonomi global mengindikasikan bahwa kita tidak sedang tancap gas di jalan tol, tetapi masih di area yang cukup berkelok dan kadang ada pada tikungan tajam, jadi tetap optimis tetapi perlu berhati-hati.

 

 

Kristanto Nugroho
Deputy Chairman of Vibiz Consulting
Vibiz Consulting Group
 
 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here