SE 24 Dirilis oleh Dirjen Pajak Untuk Mengungkapkan Harta Sukarela

752

(Vibiznews – Economy) – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akhirnya menerbitkan PMK Nomor 165/PMK.03/2017  pada tanggal 17 November 2017 yang merupakan revisi atas Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 118/PMK.03/2016.  Revisi PMK ini dibuat untuk memberi kesempatan lagi bagi wajib pajak (WP) yang tidak ikut amnesti pajak dan bagi peserta amnesti pajak yang belum melaporkan seluruh hartanya untuk segera melaporkannya.

Mereka tidak akan dikenai sanksi asalkan mengungkapkan sendiri harta bersih yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan (2015) bagi yang bukan peserta amnesti pajak, atau belum diungkapkan dalam surat pernyataan harta (SPH) bagi peserta amnesti pajak.

Dengan terbitnya PMK ini, Ditjen Pajak mengeluarkan aturan turunannya, yakni Peraturan Direktorat Jenderal (Perdirjen) Nomor 23 tanggal 20 November 2017.  Direktur Peraturan Perpajakan II Yunirwansyah menyatakan, yang diatur dalam Perdirjen ini adalah tentang SPT Masa PPh Final bagi wajib pajak yang akan memanfaatkan kebijakan pengungkapan aset sukarela dengan tarif final (Pasfinal) ini.

“WP akan menyampaikan dalam bentuk SPT Masa PPh Final itu. Jenis hartanya apa, nilainya berapa,” katanya pada acara Media Gathering di Manado, Sulawesi Utara, Rabu (22/11).

Ia menerangkan, soal penilaian sendiri atas harta yang dilaporkan, aturan acuannya adalah Surat Edaran (SE) 24 yang merupakan aturan pelaksanaan dari PP 36. SE ini mengatur bahwa penilaian harta selain kas dilakukan sesuai kondisi dan keadaan harta pada 31 Desember 2015 (atau akhir periode yang berbeda untuk WP yang memiliki akhir tahun buku berbeda) sesuai dengan beberapa pedoman nilai.

“Untuk tanah dan bangungan , nilainya menggunakan  NJOP (Nilai Jual Objek Pajak).  Sedangkan NJKB (Nilai Jual Kendaraan Bermotor) digunakan untuk kendaraan bermotor. Kalau atas harta terdapat utang, maka utang dikurangi dulu dari harta jadi nilai bersih yang digunakan,” jelasnya.

Apabila WP tidak mau, WP juga boleh memilih memakai nilai dari penilai publik, atau WP juga bisa minta Ditjen Pajak untuk menilai.

“Kalau dia minta Ditjen Pajak untuk menilai, maka atas harta itu, tidak boleh oleh teman-teman di KPP untuk dijadikan objek PP 36 yang ditambah dengan sanksi Pasal 18 UU Tax Amnesty,” kata dia.

“Jadi, selama proses penilaian itu, Ditjen Pajak tidak boleh jalankan pemeriksaan, tidak boleh terbitkan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2),” lanjutnya.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (Humas) Ditjen Pajak, Hestu Yoga Saksama juga menegaskan, saat WP mengajukan ke Ditjen Pajak untuk dilakukan penilaian atas asetnya, maka atas aset tersebut tidak bisa dilakukan pemeriksaan. Kecuali ditemukan aset lainnya yang tidak dilaporkan.

“Waktu WP ajukan ke Ditjen Pajak untuk lakukan penilaian, akan muncul notifikasi bahwa dia sudah niat baik. Jadi tidak ada SP2,” ucapnya.

 

Bella Donna/VMN/VBN/Senior Analyst Vibiz Research Center
Editor : Asido Situmorang

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here