Menakar Langkah Bank Indonesia: Menahan Suku Bunga di Tengah Tekanan Nilai Tukar dan Ketidakpastian Global

1167
Bank Indonesia Perkuat Stabilisasi Nilai Tukar Rupiah dari Tingginya Tekanan Global
Sumber: Bank Indonesia

(Vibiznews – Banking) Bank Indonesia (BI) diperkirakan akan mempertahankan suku bunga acuan pada level 5,75% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang dijadwalkan berlangsung pada 23 April 2025. Keputusan ini diprediksi sebagai respons atas melemahnya nilai tukar rupiah yang telah terdepresiasi lebih dari 4% sepanjang tahun ini. Meski tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi semakin terasa akibat kebijakan perdagangan global yang ketat, BI tampaknya lebih mengutamakan stabilitas nilai tukar dalam jangka pendek.

Sejalan dengan itu, mayoritas ekonom yang disurvei oleh Reuters dalam periode 14–21 April juga memperkirakan bahwa suku bunga fasilitas simpanan (deposit facility) akan tetap di angka 5,00%, dan suku bunga fasilitas pinjaman (lending facility) tetap di 6,50%.

Namun, langkah BI ini bukan tanpa tantangan. Dalam konteks ekonomi yang tengah berupaya bangkit dari tekanan pandemi dan ketidakpastian global, pilihan antara menjaga stabilitas moneter dan mendorong pertumbuhan menjadi dilema tersendiri.

Melemahnya Rupiah dan Ketidakpastian Eksternal

Mata uang rupiah sejak awal 2025 menunjukkan pelemahan yang konsisten terhadap dolar AS. Sejumlah analis mencatat bahwa pelemahan tersebut sebagian besar disebabkan oleh dua faktor utama yakni :

  1. Rencana fiskal Presiden Prabowo Subianto
  2. Perkembangan kebijakan perdagangan Amerika Serikat.

Rencana fiskal Prabowo, yang mengindikasikan adanya lonjakan belanja negara dalam sektor pertahanan dan bantuan sosial, sempat menimbulkan kekhawatiran pasar atas pelebaran defisit dan potensi peningkatan utang. Meskipun stimulus fiskal umumnya berdampak positif terhadap pertumbuhan dalam jangka pendek, ekspektasi pasar terhadap pembiayaan yang ekspansif turut menekan kepercayaan terhadap stabilitas nilai tukar.

Kondisi ini diperburuk dengan kebijakan proteksionis terbaru dari Amerika Serikat, yakni pemberlakuan tarif sebesar 32% terhadap seluruh barang impor asal Indonesia. Meski tarif ini saat ini sedang ditangguhkan selama 90 hari, langkah tersebut telah memicu ketidakpastian dan kekhawatiran akan dampaknya terhadap ekspor Indonesia. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut bahwa tarif ini berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 0,3% hingga 0,5%.

Prioritas BI: Stabilitas Makro Lebih Dulu

Bank sentral berada di posisi yang sulit. Di satu sisi, tekanan terhadap pertumbuhan mendorong perlunya pelonggaran kebijakan moneter untuk mendukung konsumsi dan investasi. Namun di sisi lain, pelemahan rupiah dan potensi capital outflow jika suku bunga terlalu rendah menjadi risiko besar bagi stabilitas makroekonomi.

Brian Tan, ekonom regional senior di Barclays, menyampaikan bahwa lonjakan USD/IDR pasca-libur Idulfitri telah memupus harapan akan pemangkasan suku bunga pada April. Dengan volatilitas nilai tukar yang tinggi, penurunan suku bunga justru dapat memperburuk posisi rupiah dan memicu larinya modal asing ke aset-aset yang lebih menarik di negara lain, terutama Amerika Serikat yang saat ini masih mempertahankan suku bunga tinggi.

Dalam konteks ini, langkah BI untuk menahan suku bunga dapat dimaknai sebagai bentuk kebijakan “wait and see” yang bertujuan menenangkan pasar dan memberikan waktu bagi kondisi global untuk membaik.

Outlook Kebijakan Suku Bunga di Sisa Tahun 2025

Meski suku bunga dipertahankan saat ini, mayoritas ekonom dalam survei Reuters memperkirakan bahwa Bank Indonesia akan mulai melonggarkan kebijakan moneternya pada kuartal kedua atau ketiga tahun ini, dengan proyeksi pemangkasan sebesar 25 basis poin hingga akhir 2025.

Jeemin Bang, ekonom dari Moody’s Analytics, menyebutkan bahwa pihaknya masih memproyeksikan BI akan melakukan pemangkasan sebesar 25 basis poin menjadi 5,50%, dan selanjutnya ke 5,25% pada kuartal ketiga. Namun, ia menekankan bahwa “timing” atau waktu pelaksanaan pemangkasan tersebut menjadi semakin tidak pasti, tergantung pada dinamika global dan domestik.

Perkiraan inflasi tahun ini juga relatif terkendali. Para analis memperkirakan inflasi akan berada pada level rata-rata 2,1% untuk tahun 2025 dan naik sedikit menjadi 2,7% pada tahun 2026. Angka tersebut masih berada dalam kisaran target BI sebesar 2–4%, yang memberikan ruang bagi pelonggaran kebijakan moneter jika diperlukan.

Proyeksi Pertumbuhan dan Risiko yang Muncul

Dalam jangka menengah, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami sedikit koreksi. Pertumbuhan tahun 2025 diperkirakan hanya mencapai 4,8%, dan 4,9% pada 2026, sedikit di bawah estimasi sebelumnya dan target resmi pemerintah.

Tantangan terhadap pertumbuhan datang dari dua arah: eksternal dan internal.

Dari sisi eksternal, kebijakan perdagangan global yang cenderung proteksionis serta kemungkinan tertundanya pelonggaran suku bunga oleh The Fed memberikan tekanan terhadap kinerja ekspor dan nilai tukar.

Dari sisi internal, keterbatasan ruang fiskal dan efektivitas belanja pemerintah juga menjadi sorotan.

Upaya pemerintah Indonesia dalam menjalin kesepakatan dagang baru dengan Amerika Serikat menjadi sangat krusial. Jika berhasil, hal ini dapat meredakan ketegangan dagang dan memulihkan kepercayaan pasar terhadap prospek jangka menengah Indonesia.

Jalan Tengah yang Berisiko namun Rasional

Keputusan Bank Indonesia untuk mempertahankan suku bunga pada bulan April merupakan pilihan yang dapat dimengerti di tengah tekanan eksternal yang tinggi dan ketidakpastian kebijakan global. Dengan risiko pelemahan rupiah dan lonjakan arus keluar modal, BI tampaknya memilih langkah konservatif demi stabilitas makro yang lebih luas.

Namun demikian, tantangan ke depan tidak kecil. Ketika tekanan terhadap pertumbuhan meningkat, dan permintaan domestik belum sepenuhnya pulih, pelonggaran kebijakan moneter tetap dibutuhkan. Oleh karena itu, keseimbangan antara stabilitas dan stimulus akan menjadi tema utama kebijakan BI sepanjang tahun ini.